Esok Rosie berencana untuk melepaskan balutan selimut, dan menggantinya dengan pakaian biasa. Sungguh, gadis ini belum ada niatan membeli baju baru untuk laki-laki itu. Menandakan bahwa dirinya masih ragu. Keraguan memang menyulitkan bahkan membuat perasaan terasa berat.
Mungkin, Rosie akan memberikan laki-laki itu pakaiannya yang oversize. Ia punya beberapa, yang paling lebar adalah baju pemberian teman lamanya satu tahun lalu, hadiah waktu dirinya berulang tahun.
Kening Rosie seketika berkerut, merasa ada sesuatu yang terlupakan.
Apa laki-laki itu bisa berpakaian sendiri?! Pertanyaan gampang. Jawabannya, makan saja tidak bisa, apalagi berpakaian.
Rosie berdecak kecil. Apa yang direncanakannya akan membutuhkan waktu yang lama, belum berfikir untuk mencari teori, belum praktek.
"Hadeh!"ucapnya sambil menepuk jidatnya pelan.
"Non, sudah sampai."
Perkataan Mang Kirman membuat Rosie sadar dari lamunan. Terlalu larut menjadi alasan mengapa ia tidak merasakan mobil yang ditumpangi berhenti sedari tadi.
Pikirannya cukup terbelah ketika melihat siswa dan siswi berlalu lalang memasuki gerbang dari jendela kaca. Di sana terlihat perawakan macam Tami, dan ia yakin itu Tami.
"Pak majuin sedikit."pinta Rosie yang langsung dipenuhi sang supir.
Setelah keluar dari mobil dan berpamitan meskipun tanpa cium tangan, Rosie segera menghampiri Tami.
Sesuai menyapa, tanpa aba-aba gadis itu langsung mengeluarkan sesuatu dari tas nya.
"Ini pena Lo kan?!"tanya Rosie sembari memperlihatkan pena bertinta emas. Di olshop harganya sekitar dua ratus ribuan.
"Astaga. Gue kira Si Aurora yang ngambil."Tami menghela nafas lega, dengan cepat mengambil alih benda itu.
"Itu ketinggalan waktu Lo ke bangku gue pinjem tipe X."Rosie segera memberi penjelasan agar tidak salah paham, karena takut di cap buruk.
"Thanks ya. Bukan karena harganya, tapi pena ini benar-benar berharga bagi gue!"lanjut Tami memeluk drama pena itu.
Rosie mengatupkan bibir rapat-rapat. Berpikir, apakah ia juga punya barang yang berharga? Ini akan menjadi pr lain di otaknya. Maksudnya adalah seseorang yang menjadikan barang itu berharga, tanpa melihat nominal uang.
Tiba-tiba Rosie teringat sang papa. Kemana pria paruh baya itu?!
"Kembaran lo yang beliin?"tanya Rosie sedikit kepo.
Tami memang berdiam didepan gerbang hanya untuk menunggu Aurora. Tidak ada kepentingan selain itu.
"Mmm, nggak sih. Mama yang beliin waktu gue berhasil dapat juara satu."
Merasa menyesal telah bertanya, Rosie hanya bisa meneguk ludah karena merasa ter-ingin juga. Ia hampir berlinang air mata, tapi berusaha untuk ditahan. Mengingat ini bukan tempat yang tepat.
"But, gue bikin kesalahan."gadis disampingnya hanya hanya bergumam sebagai reaksi, dengan kepala yang masih tertunduk. Tami tidak menyadari itu, karena pandangannya fokus ke depan.
"Gue kehilangan pena yang asli. Dan, seseorang membelikan pena baru yang persis."
Seketika pikiran Rosie hancur setelah mendengarnya dan refleks mengangkat kepala dan menatap tanya Tami dengan ekspresi yang jauh dari kata santai.
Langkah mereka berdua secara otomatis melambat.
"Emang sih salah. Gue teledor soalnya."ucap Tami kemudian melangkah dengan kecepatan normal kembali. Ia dapat menangkap mimik wajah yang dilemparkan gadis ini kepadanya.
"I think, gak perlu bawa kemanapun lo pergi. Itu bakal lebih aman kayaknya."saran Rosie.
"Iya, ya. Kok gue gak kepikiran. Thanks ya."