Tulip melipat tangannya di dada. Hujan di luar terlihat sangat deras. Ia tak mengerti kenapa tiba-tiba hujan turun. Langit-langit menampilkan kilat dan bunyi gemuru terdengar seperti bom. Tulip merasa berbeda.
Tulip terjebak bersama Heros di perpustakaan istana.
"Apakah hujan di sini semenyeramkan ini?"
Heros menatap ke luar dengan pandangan serius.
"Jika hati seorang demons merasa sedih maka hujan mengerikan ini akan terjadi."
Tulip mengerutkan keningnya. Demons mana yang dia maksud?
"Raja pasti sedang bersedih."
Tulip langsung menoleh ke arah Heros.
"Maksudmu?"
Heros masih setia menatap ke depan, seakan mengingat kenangan yang terjadi.
"500 tahun yang lalu, Ratu negeri ini mati terbunuh."
Tulip ikut menatap langit di luar. Walaupun sudah lama, mungkin Raja sangat mencintai Ratu itu. Ia baru ingat jika Draco pasti bersedih.
"Apa Draco sudah pulang?"
Tulip menatap keluar. Hujan begitu deras. Angin masih bertiup kencang.
"Dia selalu baik-baik saja. Aku bahkan tak tahu kapan terakhir kali ia bersedih."
Tulip merasa aneh, tapi hanya diam saja. Buku kuno di atas meja terbuka karena tertiup angin.
Tulip menatap pria yang sama dengan lembar pertama. Gambar pria itu lagi.
"Apa kau tahu siapa orang dalam gambar ini."
Tulip menunjukkan pada Heros. Tapi pria itu sudah menghilang. Lampu perpustakaan menjadi padam. Tulip merasakan aurah aneh. Seperti kejadian semalam.
"Heros, jangan bercanda."
Tulip memutari tubuhnya menatap sekitar. Di ujung perpustakaan Tulip mendengar suara benda terjatuh. Berjalan pelan dengan ketakutan.
"Heros kaukah itu?" Tulip terus melangkahkan kakinya menuju ujung sana. Nihil, Heros bahkan tak bersuara sama sekali.
Kupu-kupu biru terbang mendekati Tulip. Cahayanya sedikit menerangi arah depan. Tulip merasa sedikit tenang.
Ini pertama kalinya ia mengelilingi perpustakaan yang begitu besar. Tulip menatap sebuah buku yang jatuh.
"Satu buku yang sama dengan buku di atas meja tadi, hanya saja sampul depannya ada kepala kelelawar.
Tulip membuka perlahan lalu sebuah ruangan terbuka.
"Masuklah." Tulip menatap kupu-kupu tak yakin. Tapi rasa penasaran menepis ketakutannya.
"Apa kau akan bersamaku?"
"Tentu aku selalu bersamamu."
Tulip masuk dengan langkah berat. Seperti ruang bawah tanah. Terlihat banyak debuh. Tulip tak menyangka ada tempat rahasia seperti ini. Lorong bawa tahan ini semakin panjang. Tulip rasa mereka sudah nyasar.
Tulip menatap ukiran-ukiran di dinding lorong.
"Ukiran apa ini?" Tulip berhenti pada bagian ujung yang menampilkan ukiran dengan pahatan tangan.
"Jiwa yang terkurung." Tulip menatap kupu-kupu biru itu yang mengitari.
"Jika kau bisa membaca tulisan ini, maka bantulah aku menerjemahkan buku ini." Tulip rasa ada titik terang untuknya. Ia tidak bisa mengharapkan pangeran Heros. Pria itu meninggalkannya sendirian.
"Apa maksud dari jiwa yang terkurung."
"Entahlah." Jawaban kupu-kupu biru itu tak memuaskan, tapi Tulip sedikit legah.
Tulip merasakan aurah gelap di belakang tubuhnya.
"Kau harus keluar dari sini. Cepat."
Tulip tak mengerti tapi tetap berlari.
"Kembalikan jiwaku." Tulip merasakan udara sekitar habis. Sebuah bayangan hitam mencekik kuat lehernya. Ia tak mengerti sama sekali. Ia bahkan tak bisa menyentuh bayangan hitam itu.
"KEMBALIKAN JIWAKU."
Tulip membuka mata, nafasnya memburu. Cahaya lampu yang terang menyinari ruangan. Mata Tulip terasa silau.
"Apa yang kau lakukan di tempat itu?" Draco menatap Tulip tajam.
Tulip sadar jika ia sudah berada di kastil. Ia pikir hanya mimpi.
"Ruangan itu-"
"Ku peringatkan untuk tak melakukan apapun di istana ini." Wajah Draco benar-benar dingin. Tulip merasa Draco begitu marah padanya.
Draco pergi begitu saja. Tulip merasa kesal. Apa yang mereka sembunyikan darinya?
Lalu apa maksud 'kembalikan jiwaku?'
Tulip menatap jendela. Tak ada kupu-kupu itu. Disaat seperti ini ia harus bertanya apa yang telah terjadi.
….
Tulip menatap pantulan wajahnya di cermin. Ada bekas luka kuku yang menancap di lehernya. Aneh, semua luka parah di tubuhnya langsung hilang saat ia bangun. Tapi, kali ini bekas luka itu masih ada namun tak sakit.
Tulip turun ke kastil menatap semuanya terasa sepih. Bahkan tak ada makanan sama sekali. Sedangkan ini sudah siang.
Tulip menatap Draco yang baru saja datang.
"Makan siangnya mana? Apa para pelayan tak datang?"
Draco sontak langsung berbalik dan menatapnya datar.
"Kau pikir kau seorang puteri? Kau berkeliaran tak jelas dan membuat masalah. Mulai sekarang tak ada namanya pelayan. Lakukan semuanya di sini, seperti yang kau lakukan di istana Wizard."
Tulip mendesis kesal. Kalimat panjang lebar itu menjelaskan agar ia tau posisinya. Menikah dengannya bukan berarti ia menjadi seorang puteri. Tulip memaki kesialannya menikah dengan Draco.
Menahan kekesalan, Tulip menuju ke arah dapur. Menatap bahan-bahan yang ada. Membuka mulut tak percaya. Ia harus masak di tungku. Tulip merasa kesal meniup api yang tak kunjung menyala. Beberapa kali ia terbatuk. Bahkan wajahnya sudah berwarna hitam.
Ia menatap kesal Draco yang berdiri tidak jauh dari dapur, hanya mengamati setiap gerak-geriknya.
Draco beberapa kali berusaha membaca pikiran Tulip, tapi nihil ia sama sekali tak bisa.
Draco melangkah kesal ke luar menuju istana. Ia harus melakukan tugasnya. Tulip memekik bahagia saat api menyala dengan baik. Sambil bersenandung ia mulai memasak. Ia merasa aneh, Draco tak pernah makan bersamanya. Entah makan apa pria itu.
….
Tulip menata makan di atas meja makan. Perutnya sudah terasa keroncongan.
Tulip beberapa kali menatap keluar pintu depan. Berharap melihat Draco datang. Dengan perasaan kesal Tulip makan sendirian. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi, tapi pria itu tetap tak datang.
*
Draco dan Dimitri ditugaskan ke desa bagian Timur di mana para Elf hidup. Raja Elf memberi kabar masyarakatnya terkena penyakit aneh. Bahkan sampai mengalami kematian. Kerajaan mereka sedang kesusahan.
"Ku pikir ini adalah sihir." Dimitri menatap Draco, mencari jawaban.
Draco masih menatapi tubuh para Elf yang telah mati di tengah hutan Amras, tempat para Elf berburu makanan.
"Aku mencium bau Lamina di tubuh mayat-mayat ini."
"Bukankah para Lamina sudah dimusnahkan 500 ratus tahun yang lalu."
Dimitri menatap Draco. Wajah Draco terlihat tenang. Perang besar 500 tahun yang lalu itu membunuh semua para pemberontak. Termasuk Lumina, bangsa ular.
"Mereka pasti bersembunyi di suatu tempat."
Mata Draco berubah menjadi merah darah. Ia mencium bau traitor. Penciuman seorang Demons memang tajam.
"Vampir."
Kuku-kuku Dimitri berubah panjang. Mata cokelatnya berubah menjadi merah. Gigi-giginya mengeluarkan taring.
Keduanya melawan para traitor dalam wujud vampir. Para traitor memiliki bau berbeda karena mereka bersekutu dengan kerajaan iblis bawah tanah yang sudah kerajaan Demons musnahkan.
Dengan cepat Dimitri menyilihkan tubuh saat dua vampir datang menyerangnya.
Draco memutuskan leher salah satu vampir lalu menatap mengerikan satu vampir yang tergeletak di tanah.
Tak memberi kesempatan dengan cepat ia menghalau vampir yang mencoba kabur. Dengan mengerikan Draco mencabik-cabik dengan kuku panjangnya.
"Darah busuk ini, membuat ku mual." Dimitri merasa muak.
Wajah Draco penuh darah dua traitor yang ia bunuh. Draco tahu ini semakin tak beres. Para pemberontak satu-persatu muncul.