Berlin yang mendengar jika sekarang sudah tidak punya waktu untuk bersantai segera membuang ke sembarang arah selimutnya dan karena tidak melihat Berlin malah tanpa sengaja menutupi wajah Kala dengan selimut berwarna merah. Dengan kaki panjang Berlin
segera berlari masuk kedalam kamar mandi tanpa perduli dengan ocehan Kala. Berlin bergegas membersihkan tubuhnya, Berlin
pasti lupa membawa baju ganti padahal dia sudah membuka semua helai benang yang
menempel di tubuhnya akhirnya hanya bisa mengeluarkan kepalanya lalu menatap
Kala yang kini sedang membersihkan tempat tidur ini.
"Ma, bisakah ambilkan Berlin seragam sekolah?" tanya Berlin dengan tersenyum manis menunjukkan wajah tanpa dosanya. Gadis ini benar-benar ceroboh sekali dan suka bertidak sesuka hati contohnya sekarang masuk ke kamar mandi begitu saja tanpa membawa baju ganti.
Kala menghela nafas pelan lalu berkata, "Kamu sudah biasa melakukan hal ini, tidak tahu jika nanti menikah apakah lelaki yang menjadi pendamping kamu itu akan tahan dengan sikap kamu yang kekanakan seperti ini," ujar Kala sembari melangkah menuju ke almari yang berada di sudut ruangan ini.
"Makasih, Mama cantik," puji Berlin untuk meluluhkan emosi Mamanya. Ia memberikan kecupan di udara lalu segera menutup pintu ruangan kamar ini dengan segera.
"Dasar bocah ini, entah kapan dia akan dewasa," gumam Kala lirih sembari merapikan tempat tidur putrinya.
Tanpa menyisir rambutnya Berlin keluar dari kamar dengan terburu-buru sebab kurang dari 20 menit lagi sudah waktunya jam masuk sekolah, kota A di kenal akan kemacetannya di pagi hari dan akan sangat mustahil
sekali jika Berlin bisa sampai di sekolah tempat waktu. Berlin berlari menuruni
anak tangga rumahnya dengan kedua tangan bergantian menyisir rambutnya yang
masih basah. Kala dan juga Bastian-papa Berlin duduk di meja makan sembari
menatap tingkah putrinya yang sungguh mengganggu mata di pagi hari ini.
Berlin menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya menghadap meja makan, ia berlari kecil menghampiri Papa dan juga Mama.
"Sayang, kamu tidak sarapan dahulu?" tanya Bastian sembari menatap kearah putrinya.
Berlin tanpa basa-basi segera mendaratkan kecupan sayang di kedua pipi orangtuanya, kini tangan Berlin merayap mengambil roti gandum yang ada di atas meja kemudian melahapnya tanpa mengunakan selai coklat kesukaannya.
"Berlin sarapan pakai roti gandum saya, Pa, Ma. Sudah terlambat," ucap Berlin sembari melambaikan tanganya berlari menjauhi meja
makan.
"Kapan anak itu mau bangun pagi, dia itu sudah dewasa tapi tingkahnya masih seperti bocah SD," ucap Mama Kala sembari menggelengkan kepalanya melihat sikap putri semata wayangnya ini.
"Bukankah itu semua karena, Mama yang selalu memanjakan,.Berlin selama ini," tegur Bastian sembari menatap wajah istrinya sekilas. Selesai bicara lelaki itu langsung mengambil nasi goreng dan memasukannya kedalam mulut kemudian mengunyahnya.
Kala langsung menatap suaminya tajam sembari berkata, "Papa, menyalahkan Mama?" tanya Kala sembari menunjuk wajahnya sendiri. "Bukankah.selama ini, Papa juga ikut adil dalam menuruti semua permintaan Berlin." Sembur Kala tidak terima jika hanya dia saja yang disalahkan.
"Kita berdua salah, jadi sudah jangan di bahas lagi."
***
Di sisi lain Berlin. Sedang sibuk membaca pesan dari layar ponselnya, bibir gadis itu tidak berhenti bergerak membaca pesan yang ada. Selang beberapa waktu kemudian Berlin mulai menaruh ponselnya di tas ransel,
dia tipe wanita yang tidak suka feminim jadi lebih suka memilih tas ransel dan hal itu juga sangat berguna untuknya. Berlin tidak hentinya menyuruh Pak Galih untuk mempercepat laju kendaraanya akan tetapi tidak bisa sebab jalanan macet sekali, Pak Galih hanya bisa diam ketika melihat Nona
Berlin mengoceh seperti ini sebab hal ini sudah biasa untuknya.
Setiap pagi Pak Galih akan selalu mendapatkan siraman rohani dari Berlin karena lelaki paruh baya itu tidak bisa menerobos padatnya lalu lintas. Dan setiap hari juga Berlin tidak mau bangun lebih pagi dan suka berangkat sekolah dengan terburu-buru seperti sekarang ini.
"Pak Galih, nanti tolong minta pada, Mama agar membangun jalan tol khusus untuk kita agar tidak perlu ada drama macet kalau Berlin
berangkat ke sekolan." Usai bicara Berlin langsung membuka pintu mobil dan berlalu
pergi.
"Nona Berlin, bisa saja kalau ngomong," ucap Pak Galih sembari menggleng-nggelengkan pelan kepalanya. Ia memutar mobilnya lalu
berbalik arah untuk pulang ke rumah.
Berlin melihat satpam yang baru saja mengunci gerbang sekolahnya melangkah menjauh dari gerbang. Berlin tidak bisa memohon pada satpam paruh baya itu sebab ini bukan kali pertama Berlin terlambat masuk
kedalam sekolah. Ya, benar Berlin setiap hari terlambat masuk sekolah jadi mana mungkin satpam itu mau membukakan gerbang yang menjulang tinggi ini untuknya. Sangat-sangat tidak mungkin.
Berlin tidak kehabisan akal, dia berlari menuju ke belakang sekolah dan di sinilah dia berakhir jika sudah melihat gerbang utama sekolah di kunci. Berlin celingukan kesana kemari mengamati situasi aman, senyuman di
bibirnya menandakan jika tidak ada guru ataupun satpam yang melihatnya. Berlin
melempar tas ranselnya lebih dahulu melewati gerbang dan sukses bunyi suara
benda jatuh itu membuat Berlin mengganggukkan kepalanya dengan senyuman puas, kini tasnya sudah berada di dalam sekolah dan sekarang giliran dia masuk
memanjat dinding belakang sekolah.
"Hahaha! Tembok seperti ini mana bisa menghalangi aku, Berlin si gadis dengan otak yang cerdik," ucapnya membanggakan dirinya sendiri.
Berlin celingukan kesana-kemari melihat kearah tumpukan kayu yang biasanya teronggok di sini akan tetapi kayu yang biasanya ia buat pijakan agar bisa menaiki dinding ini tidak ada lagi, Berlin menggaruk kepalanya dan satu tangan yang lain berada di pinggang seperti sedang mencari ide.
Di tempat lain.
Asisten Finn sedang sibuk memusatkan pandangannya kearah jalanan, tanpa sengaja ia melihat gadis sekolah dengan rambut sedikit.acak-acakan sedang celingukan kesana-kemari seperti orang yang sedang bingung. Finn memiliki ingatan yang tajam hingga satu kali pandang saja ia bisa tahu jika
gadis itu adalah orang yang Tuan Darius cari kemarin siang.
"Tuan Darius, itu adalah wanita yang Anda cari kemarin," ucap Finn sembari menatap kearah belakang dari kaca spion di atas kepalanya. "Namanya, Berliana Fransiska Nelson," sambut Asisten Finn lagi. Benarkan apa yang aku bilang kemarin mencari identitas orang lain bukanlah masalah yang sulit bagi Asisten handal ini.
Darius yang tadinya sibuk memusatkan perhatiannya pada layar ponsel segera mengalihkan tatapannya kearah Berlin yang kini sedang meloncat hendak memasuki tembok belakang sekolah namun gagal karena terlalu tinggi ditambah lagi tidak ada pijakan di sekitarnya. Darius menyunggingkan senyuman disebelah bibirnya, senyuman licik dan juga penuh sejuta arti. Entah apa yang akan dilakukan oleh lelaki ini pada gadis Bar-bar itu.