Chapter 2 - 02

Seperti rencana, aku mengunjungi ibu almarhumah Suyani. Ketika bertemu dengan ku pun, ia masih nampak begitu sedih. Ya wajar saja, pasti sangat sulit menerima kenyataan untuknya, jika aku jadi beliau pun pastinya begitu.

"maaf baru datang berkunjung". ujarku.

Beliau tersenyum kecil. Tapi ya senyumannya terkesan dipaksa.

"tak apa. Suyani pasti senang kamu datang".

"Ua kemana bi?".

"Oh. sedang ke kantor polisi".

Aku hanya mengangguk. Kami terlibat obrolan ringan, sampai aku meminta izin pada beliau untuk mengambil barang yang kebetulan saat itu tengah Suyani pinjam. Meskipun aku dan dia tak begitu akrab, tapi kami sekampus dan satu jurusan pula, jadi tak jarang ia meminjam beberapa buku catatan atau hal lainnya, begitu juga sebaliknya.

Beliau memberi izin. Kamar berpintu kayu jati dengan ukiran khas Bali itu masih dipasangi garis polisi, sepertinya belum dicopot. Aku membuka pintu dan melihat banyak barang milik Suyani yang masih tersusun rapi. Aku berjalan mendekati meja belajarnya dan menemukan buku ku. Tanpa buang waktu aku langsung mengambilnya dan berpamitan dengan bi Ayum.

Ketika tiba di kost. Aku melihat Jaya tengah mematung di depan kamar kos ku. Wajah pemuda itu terlihat masam dan agak babak belur. Bisa dipastikan jika dia baru saja berkelahi.

"Gelud sama anak mana lagi sekarang?".

Dia menoleh, lalu memalingkan wajahnya. Aku mendekat dan meneliti wajahnya lebih seksama. Luka di dahi dan bibir yang sedikit robek di ujung dan memar sana-sini. Sepertinya dia baru berkelahi dengan cukup parah.

"Duduk dulu sana. Gue obatin".

"thanks".

Aneh.

Hal itu yang tengah mengganggu pikiran ku. Jaya yang biasanya berisik dan super ceria itu mendadak menjadi pendiam. Ia bahkan tak merengek-rengek atau menggerutu saat aku mengobatinya. Wajahnya datar dan lebih sering merunduk, benar-benar tak seperti dirinya.

"kali ini lu gelud sama anak mana hah?".

"gue jawab pun, lu pasti gak bakalan percaya".

"lu tinggal bilang doang apa susahnya?".

"Satya".

Dalam sekali ucapan, aku sontak terdiam. Satu nama dengan jutaan status. Maksudku, apa anak ini sudah kehilangan akal? Berkelahi dengan anak Direktorat Kampus?! dia mau lulus via drop out? Gila kali. Kesal. Tanpa sadar aku menekan luka sobek di bibirnya cukup keras, membuat ia meringis.

"Lu kalo ada dendam ngomong jir". Aku menghela nafas lalu lanjut mengobati. Abaikan ucapannya.

TV total kena kacang. Jaya masih merajuk perkara tadi. Ia duduk di pojok ruangan dengan wajah masamnya yang semakin masam. Sudah hampir sejam pemuda itu menggerutu dan sesekali mengumpat tidak jelas.

Perkara nasihat berujung adu argumen. Aku menghela nafas lelah lagi, entah sudah yang keberapa. Mie diletakan diatas meja. Channel diganti acak, nggak ada yang menarik Btw.

"lu mau sampe kapan mojok kek gitu hah?".

"Bodo. Males gue, lu galak banget. Awas nanti jadi perawan tua lho".

Bantal sofa melayang dan sukses mengenai wajahnya. Jaya kembali meringis dan melemparkan kembali bantal yang tadi.

"ngomong begitu lagi, mangkok mie ini yang bakal gue lempar".

"Galak bangat elah".

Jaya pun akhirnya ikut duduk di sofa dan menyantap mie yang tadi sempat terabaikan. Jangan aneh jika anak ini bisa dengan leluasa keluar masuk kosanku, tenang kami tak melakukan hal aneh. Hanya paling mengerjakan tugas atau mengobrol ketika gabut. Kosan ini milik adiknya ibunya Jaya yang kebetulan merupakan kolega bisnis Bapak.

Hening lagi, hanya ocehan pembawa berita di TV yang meriuh. Mangkuk sudah selesai di Cuci dan aku bersiap untuk mengerjakan tugas lagi. Omong-omong ini sudah lewat magrib. Jaya masih berada disini, mager pulang katanya.

"rajin amat sih lu". komentarnya.

"Maaf ya. Gue bukan anak yang terlahir jenius. Kalo nggak belajar ya nggak mungkin lulus".

Dia tertawa dan obrolan pun berlanjut sampai ia ku usir pulang di jam delapan. Setengah jam kemudian, aku juga telah selesai dan bersiap untuk pergi tidur. Tapi ketika tengah membereskan buku, aku menemukan secarik kertas terjatuh dan segera melihatnya, siapa tau penting.

Itu sebuah note.

Selamatkan Juli dan Mayang.

Aku tercengang. Itu tulisan Suyani, tapi apa-apa kata itu?. Selamatkan katanya? Selamatkan dari apa?. Belum juga aku selesai memikirkan hal itu, secara tiba-tiba telepon berdering.

dari Jaya.

"halo?".

Belum sempat aku menetralkan nafas. Rasanya genggaman pada ponsel nyaris terlepas. Aku menganga Jaya terdengar frustasi di sebrang sana. Oh aku tahu sekarang. Sepertinya ia tak dibukakan pintu oleh orangtuanya.

"nggak ada kata nginep". ujarku.