Di tengah terik matahari, kota Riyadh seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Matahari itu seumpama lidah api yang menjulur, seolah bergejolak dan seperti sedang menjilat-jilati bumi. Tanah, pasir dan aspal di kota itu seperti menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara yang disertai debu yang menyebar berterbangan menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik. Orang-orang yang ada di kota itu, banyak yang berlindung di dalam apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu-pintu, jendela dan tirai-tirai yang tertutup rapat. Tentu saja, istirahat di dalam flat yang berada di dalam apartemen-apartemen tersebut sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski hanya sekadar untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan zhuhur dari ribuan menara-menara mesjid yang bertebaran di segenap kota hanya mampu membangunkan dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar tebal imannya dan yang benar-benar selalu tetap istiqamah. Mereka-mereka yang memiliki keimanan dan tekad yang kuat dalam beribadah akan tetap melaksanakannya sesempurna mungkin dalam segala bentuk musim dan cuaca. Mereka seumpama karang yang tegak berdiri dalam deburan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari, namun ia tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Allah. Mereka bertasbih tak kenal gelisah. Atau, seperti matahari yang telah jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan segenap semesta, akan tetapi Ia tiada pernah mengeluh, tiada pernah merintih kesakitan sedetikpun menjalankan dan mentaati perintah Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Awal-awal Sebtember memang puncak musim panas. Di dalam kondisi cuaca yang sangat tidak nyaman seperti ini, aku pribadi sebenarnya juga sangat malas untuk keluar rumah. Ramalan cuaca memberitakan: suhu cuaca saat ini empat puluh dua derajat celcius! Apa ini tidak exstrim!? Mahasiswa Asia yang tidak tahan panas, kebanyakan dari mereka biasanya sudah mimisan bila kedatangan cuaca seperti ini, hidung mereka sering mengeluarkan darah. Teman satu flat yang sering langganan mimisan di puncak musim panas seperti ini adalah Marfuad. Sudah emapat hari ini, ketika waktu mulai memasuki pukul sebelas siang sampai pukul tujuh sore, darah selalu keluar dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalakan kipas angin. Bahkan sesekali ia berendam untuk mendinginkan badan di dalam kamar mandi.
Dengan tekad yang kuat, setelah berjuang mengusir segala rasa malas, aku lalu bersiap untuk keluar. Tepat pada pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid dimana aku harus menggali ilmu disana, dengan para ulama-ulama besar di sana. Pada ulama-ulama besar ini aku belajar qiraah
sab'ah dan ushul fiqih.
Jadwalku mengaji pada para Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu tiga kali. Setiap Senin, Kamis dan Jum'at. Para Syaikh itu selalu datang tepat waktu. Mereka tidak kenal yang namanya absen. Tidak kenal cuaca dan musim. Selama mereka tidak dalam kondisi sakit dan tidak ada uzur yang teramat penting, Mereka pasti datang. Tentu saja, sangat tidak enak rasanya jika aku absen hanya karena beralasan panasnya suhu udara. Sebab para Syaikh di sini tidak sembarang menerima murid. Siapa saja yang ingin belajar akan mereka uji hafalan Al-Qur'an tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Tahun ini tiap-tiap mereka hanya menerima sepuluh orang murid. Dan Alhamdulillah Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lalu yang lebih beruntung lagi, Syaikh yang menjadi guruku sangat mengenalku. Itu karena, di samping sejak tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Al-Qur'an pada beliau di serambi masjid Abu Bakar Asyiddiq, juga karena di antara sepuluh orang yang terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Arab. Aku satu-satunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak heran jika beliau menjadikanku anak emas. Dan teman-teman dari Arab tidak ada yang merasa iri dalam masalah ini. Bahkan mereka semua simpati padaku. Itulah sebabnya, jika aku absen pasti akan langsung ditelpon oleh Syaikh dan teman-teman. Mereka pasti akan bertanya kenapa tidak datang? Apa sakit? Apa ada halangan dan lain sebagainya. Maka aku harus tetap berusaha datang selama masih mampu menempuh perjalanan sampai ke masjid, meskipun panas membara dan badai debu berterbangan di luar sana. Meskipun jarak yang ditempuh sekitar enam puluh kilo meter lebih jauh.
Kuambil mushaf yang tercinta. Kucium penuh cinta pula. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas Hitam dan hijau tua. Meskipun sudah lusuh, ini adalah tas bersejarah yang selalu setia menemani diriku dalam menuntut ilmu sejak aku di Madrasah Sanawiyah hingga sampai saat ini, saat menempuh S.2. di universitas tertua di dunia, di kota Riyad Arab Saudi ini. Aku lalu pergi menuju kulkas dan mengambil satu botol kecil berisi air putih di dalamnya. Kumasukkan dalam plastik putih lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku selalu membiasakan diri untuk berbekal membawa air putih jika bepergian, selain sangat berguna, perbekalan itu juga merupakan salah satu bentuk penghematan yang sangat terasa. Apalagi selama menempuh perjalanan jauh, karena boleh jadi ngak ada yang jualan air minum atau warungnya pada tutup semua, kan repot.
Aku merasa agak sedikit ragu ketika hendak membuka pintu. Hatiku was-was. Angin sahara diluar sana terdengar mendesau-desau. Keras lagi kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya di luar sana. Panas yang disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana yang jauh dari kata nyaman. Namun bagaimanapun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu 'alallah wala'haulaawalaaquwata illabillahil'aliyyil'azdiim, perlahan-lahan kubuka pintu apartemenku. Dan... Wuss! Angin sahara spontan menampar wajahku dengan kasar. Debu yang bergumpal-gumpal bercampur pasir menari-nari di mana-mana. Cepat-cepat kututup kembali pintu apartemen. Kayaknya aku melupakan sesuatu. "Uda Yogi, di luar udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya Uda Yogi istirahat saja dulu di rumah?" saran Marfuad yang baru saja keluar dari kamar mandi. Darah yang tadinya mengalir dari hidungnya telah ia bersihkan. "Insya Allah, jika Allah hendak melindungi hamba-hamba-Nya, maka tidak akan terjadi apa-apa. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Aku sebenarnya merasa sangat tidak enak pada Syaikh jika aku tidak datang. Karena Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh enam tahun selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin sedikitpun. Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari tiga kilo meter," tegasku sambil bergegas masuk menuju kamar, untuk mengambil topi dan kaca mata hitam. "Semoga Allah selalu limpahkan berkah-Nya padamu, Uda," ujarnya serak. Tangan kanannya mengusapkan sapu tangan pada hidungnya. Mungkin darahnya keluar lagi.