"Selamat siang, Tuan Hittler. Kami baru saja melakukan pengecekan di rumah pribadi Leonardo. Sayangnya kami tidak menemukan tanda-tanda mencurigakan di rumahnya."
"Kami juga sudah mengecek semua komputer di rumah itu, namun sama. Kami tidak menemukan apa pun."
"Bagaimana dengan kartu ATM milik Nardo?" tanya Hittler sambil memotong steak di piringnya.
"Untuk saat ini semua kartu Leonardo masih dalam proses pengecekan, Tuan." Jonathan berdiri di hadapan tuannya. Tatapannya lurus, dan tegas.
"Bagaimanapun juga kasus ini tetap harus diusut."
"Dimana dia sekarang?"
"Ada di lantai tiga, Tuan. Jam sepuluh malam dia ada rencana keluar bersama temannya bernama Yolan."
"Kau sudah menyadap ponsel pribadinya?"
"Sudah Tuan."
"Tetap ikuti dia, awasi apa pun yang ia lakukan."
"Baik, Tuan."
Tok! Tok! Tok!
"Permisi, selamat siang Tuan."
"Tuan Hittler, di belakang Nona Leonar meminta makan...."
"Bawa dia ke sini!" putus Hittler.
Tanpa banyak tanya asisten itu langsung keluar dari ruangan dan kembali ke dapur. Menghampiri Leonar yang sedang duduk di atas kursi makan sambil meyangga dagu. Dia tengah menatap semua makanan lezat yang ada di atas meja makan. Leonar menelan ludah, salad buah kesukaannya terlihat sangat menggoda.
"Nona, mari ikut saya."
"Ba-baik." Bingung hendak dibawa kemana. Ia hanya ingin makan, namun seorang pelayan justru mengajaknya pergi menjauh dari meja makan. Leonar yang masih takut dengan semua orang di rumah megah Hittler tidak berani banyak bertanya. Kesan pertama saat ia berada di rumah itu adalah orang-orangnya yang berwajah sinis, dan bersikap kejam.
Tiba di depan pintu, mata Leonar langsung berubah nanar. Dari kejauhan terlihat Hittler Smith yang sedang mengiris-iris makanan. Masih terlintas jelas di benak Leonar bagaimana kasarnya pria itu saat menggeretnya kemarin. Kakinya langsung terasa lunglai, berat untuk melangkah masuk.
"Kau mau makan?" Hittler belum mendongak sama sekali, sejak tadi ia fokus pada daging yang ia iris-iris, namun ternyata ia menyadari kehadiran Leonar dan pelayannya.
"Kemari!"
Leonar tidak mendekat. Ia masih berdiam diri di samping pelayan. Kali ini kakinya benar-benar terasa sangat berat. Bahkan sekedar untuk mengangkat saja sulit! Jonathan mundur beberapa langkah, mendekati Leonar dan membisikkan sesuatu di telinga wanita itu. "Segera mendekat jika tidak ingin kembali merasakan sakit!"
Bisikan itu membuat Leonar mau tidak mau melangkahkan kakinya. Ucapan Jonathan barusan adalah ancaman yang cukup mengerikan untuk dibayangkan. Rasa sakit yang kemarin ia rasakan saja masih belum hilang. Masih terasa jelas pegal-pegal dan beberapa bekas memar yang menghiasi tubuhnya.
"Kau lapar, kan?"
Leonar mengangguk. Lagi-lagi ia menelan ludah saat melihat steak itu. Sejak kemarin malam hingga sekarang perutnya belum terisi makanan apa pun, bahkan secuil roti pun belum masuk ke lambungnya. Hal itu membuat lidahnya tak terkendali saat melihat makanan.
"Ambil ini!" Hittler menggeser piring hingga ujung meja. Sementara Leonar langsung mendekat. Saat ia mengulurkan tangannya, hendak mengambil daging itu, tiba-tiba Hittler meludah!
Ia meludah tepat di atas irisam daging itu! Sontak saja Leonar langsung menarik kembali tangannya.
'Ini adalah penghinaan!' protesnya dalam hati. Dadanya langsung terasa sesak. Sakit hati dengan perlakuan Hittler yang baginya sangat tidak manusiawi! Leonar diam, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Menerima semua perlakuan kasar dari Hittler Smith, CEO Smith Group yang ternyata sekejam ini!
Leonar mencoba menahan tangis. Sebisa mungkin ia menampung air matanya agar tidak jatuh.
"Hey, kau lapar, bukan?"
"Ambillah dan habiskan!"
"Ti-tidak Tuan. Terimakasih...."
"Tadi kau menginginkan makanan."
"Saya sudah kenyang Tuan."
"Jadi, kau menolak perintahku?" tanyanya sambil beranjak dari tempat duduk. Dia mendekat, menatap tajam wajah Leonar yang menunduk takut. Hittler mengambil sepiring daging yang sudah ia ludahi. Menyodorkan daging itu ke hadapan Leonar.
"Kau bisa menghabiskannya sekarang."
"Tu-tuan... terimakasih, namun saya sudah kenyang."
"Tadi saya sudah makan di ruang makan."
"Wah, berani sekali! Siapa yang menyuruhmu mengambil makanan di atas meja makan itu? Rupanya kau sangat lancang!"
'Oh, Tuhan bagaimana ini?' Leonar meremas jari. Takut dengan akibat yang akan ia tanggung setelah ini karena salah bicara.
"Makan ini sekarang juga!"
"Tu-tuan."
"MAKAN!"
"Jika tidak, kau tahu, kan apa yang akan aku lakukan pada orangtua itu?"
"Ba-baik Tuan. Saya akan menghabiskannya," jawab Leonar dengan suara bergetar. Ia menghampiri meja lebih dekat. Tangannya ragu untuk mengambil daging yang sudah dipenuhi bakteri dari ludah Hittler! Namun sayangnya mau tidak mau ia harus melakukan perintah Hittler. Memakan habis daging itu hingga tak tersisa.
Dengan perasaan campur aduk, ia mengunyah setiap irisan daging. Menelan daging itu dengan deraian air mata. Merasa jijik, ingin membuang kembali semua yang sudah masuk ke dalam perutnya. Kini daging itu sudah habis, tak tersisa seiris pun. Namun rasa sakit hati itu masih terasa mencabik-cabik perasaannya berkali-kali.
Tiga pria di ruangan itu menatap ke arahnya. Tidak satupun dari mereka yang memperlihatkan wajah sedih saat melihat Leonar memakan daging sambil menangis. Justru Hittler tersenyum melihat Leonar. Puas dengan apa yang sudah ia perbuat sampai wanita itu menangis.
"Bagaimana? Tidak terlalu buruk, bukan?"
Leonar mengangguk ragu. Sesekali ia mengelap pipinya yang basah. Ia mencoba memberanikan diri untuk mendongak, menatap wajah pria kejam yang sedang berdiri di hadapannya. Dalam hati ia mengutuki Hittler, mengucapkan sumpah serapah. Dalam hati ia menjerit, meluapkan semua sakit karna penghinaan itu tanpa mengeluarkan suara.
"Hahaha, aku tahu kau pasti sedang mengataiku dalam hati. Sayangnya aku tidak mempedulikan apa yang kau katakan dalam hati."
"Kau tahu? Ayahmu sudah merugikan perusahaanku hingga triliunan. Nominal yang tidak kecil. Bahkan jika semua organ dalam tubuhmu dan tubuh ayahmu dijual pun, itu masih tidak cukup untuk membayar kerugian perusahaanku. Jika aku membunuh ayahmu, maka sia-sia. Aku ingin membalas rasa kesalku melalui kau! Putri Leonardo!"
Hati Leonar semakin sakit. Ia menjadi merasakan sakit yang luar biasa karena ulah ayahnya. Tak pernah terbayangkan hidupnya akan menjadi seburuk ini. Hidup dalam neraka dunia yang sangat menyakitkan bagi Leonar.
"Aku ingin melihat pria tua bangka itu menangis setiap hari saat melihatmu tersiksa. Itu adalah pelampiasan terbaik untuk menghukum ayahmu!"
"Jonathan!" Hittler menggerakkan kepalanya. Memberikan isyarat pada Jonathan untuk segera membawa pergi wanita yang sedang menangis di hadapannya.
Jonathan langsung membawa pergi Leonar dari ruangan Hittler. Saat kaki Leonar menginjak ambang pintu, ia memutar badan. Menatap Hittler yang sedang duduk di kursi kebesarannya sambil bermain ponsel. 'Kau salah jika menjadikan aku sebagai bahan untuk melampiaskan kekesalanmu terhadap ayahku, Tuan. Dia tidak akan bersedih seperti yang ku bayangkan. Sebab, ayahku memang tidak menyayangiku. Dia hanya menyayangi kedua kakak perempuanku dan kakak laki-lakiku. Dia tidak akan terluka melihatku disiksa, dia hanya berpura-pura sedih!'