Revolusi Diri, Revolusi Negeri
Sudah dua tahun sejak Presiden Nasa telah jatuh dari tampuk kepemimpinannya, kaum proletar telah memenangkan revolusi agung menghancurkan kediktatoran borjuis. Disinilah aku berdiri, di negeri baru dengan kepemimpinan kaum buruh dan tani.
Presiden Nasa sudah hampir 16 tahun berkuasa, memperkaya keluarganya dan jaringan oligarkinya. Selama itu pula kami mengaburkan mimpi tentang kebebasan, bagaimana tidak? Hampir tiap pekan kami kehilangan anggota. Entah, kemana mereka perginya.
Hari ini ketakutan itu sudah tiada, kami hidup dibawah kepemimpinan baru yang membawa sukacita. Sebuah jembatan menuju masyarakat komunis dunia, tanpa batasan negara dan benua. Hidup Internationale!
...
"PLAAAKK!!", tamparan keras mendarat di pipiku.
Aku bersama lima orang rekanku tengah berbaris di hadapan Menteri Urusan Propaganda. Ya, sosok itulah yang menamparku beserta lima orang rekanku. Jhonny van Dahl nama lengkapnya, kacamata dan kumisnya tebal, beserta perut yang hampir keluar dari kancing bajunya.
"Kalian digaji dengan uang rakyat, dengan uang buruh dan petani. Kerja kalian sangat buruk! Kementerian Propaganda dikritik oleh Pimpinan Agung, terutama akibat munculnya jaringan radikal baru-baru ini", ujarnya.
"Kalau sampai ada kritikan pedas dari Pimpinan Agung untuk kementerian ini, saya pastikan kalian semua tidak akan merasakan nyamannya ruangan ini lagi!", tegasnya.
Setelah mengevaluasi beserta memukuli kami, Menteri Urusan Propaganda kembali pergi keluar gedung kementerian. Aku dan kelima rekanku hanya mendapat cemoohan darinya, tidak pernah sekalipun kalimat positif dilontarkannya. Kecuali saat bertemu Pimpinan Agung maupun saat berpidato di depan rakyat banyak–menangis pun tanpa ragu jika di depan rakyatnya.
Aku bekerja sebagai staff khusus kementerian, dalam Kementerian Propaganda tugas kami adalah menyebarkan gagasan dan ide-ide tentang sosialisme dan komunisme. Juga memberikan kesadaran bahwa hari ini mereka sudah lepas dari ketertindasan kaum borjuis. Bersama lima orang rekanku, aku menjadi semacam tim kreatif yang mendesain segala jenis urusan disini. Bahasa kerennya, aku ditugaskan untuk mengontrol media massa.
Waktu istirahat telah tiba, aku pun menikmatinya dengan bersandar di pohon asem dekat taman kementerian. Sebatang rokok ak hisap lewat bibir mungilku. Sampai aku tersadar seseorang menghampiriku.
"Hei, Sancaka!"
"Ayo, ada yang ingin aku tunjukan", ucapnya. .
Aku mendangak melihat wajahnya. Orang ini tidak asing, dia adalah Nandi, seorang staff rendah dari Partai Merah. Teman sejawatku sewaktu kuliah dulu.
"Ada apa? Kenapa buru-buru, aku sedang istirahat"
Dirinya langsung menarik tanganku untuk berdiri.
"Sudah, ikut saja".
...
Nandi merupakan seorang yang sangat bangga dengan atributnya, sejak dahulu dia senang sekali berlagak gagah dengan pakaian partainya. Hari ini, satu set PDH pun dipakainya, meski aku pun sangat bangga dengan semangat revolusionernya.
Kami berdua tetap berjalan dengan sebatang rokok yang masih tetap kuhisap.
"Cak, bagaimana kabarmu?", ucap Nandi membuka percakapan.
"Baik"
"Revolusi telah merubah hidupku. Kau sendiri bagaimana?"
"Begini, Sancaka"
"Aku akan menikah minggu depan, gadis yang akan kunikahi adalah seorang mantan sersan angkatan darat"
"Gila, apa kau berani menidurinya?"
"Brengsek! Tentu saja aku berani", ucap Nandi.
Tak berselang lama, Nandi menghentikan langkah kakinya.
"Kurasa sudah cukup jauh"
"Sancaka, ingatkah kau beberapa bulan yang lalu kau ingin aku menyelidiki tentang mantan pacarmu dahulu?"
"Apa kau dapat informasi tentangnya?", tanyaku.
"Aku tahu dimana dia tinggal, sisa informasinya sama sekali tak kuketahui"
"Anggap saja ini balas jasa atas perbuatanmu dahulu"
Secarik kertas berisi informasi alamat beserta nama Dewi Lestari diberikan padaku.
"Aku pergi, Cak", ucapnya sambil menepuk pundaku.
Sementara aku terpatung sejenak melihat alamat itu. Mengingat beberapa hal indah saat bersama Dewi, kenangan tiga tahun lalu saat aku dan dia masih bersama. Meski Dewi akhirnya mengkhianati perjuanganku.
...
Malam setelah evaluasi besar oleh si kumis tebal itu, aku beserta kelima rekanku bersantai di bar biasa. Harusnya tempat ini sudah ditutup, Bar telah dilarang sejak pemerintahan proletar berkuasa. Namun, tempat ini layaknya rubah yang terus bisa bersembunyi.
Tidak seperti masa mudaku, hari ini aku hanya mampu meneguk tiga gelas saja.
"Sancaka, teruslah teguk gelasnya", ujar salah seorang rekanku.
Sialan semakin lama aku semakin tidak tahan dengan bunyi-bunyian ini. Suara di kepalaku terus berdengung kencang. Musik Bar benar memuakan bagiku hari ini.
"Sancaka, gadis-gadis itu menunggu pria seperti kita. Tunggu apalagi", ujar si Lukman brengsek itu sambil menertawakanku.
Sialan, aku sama sekali tidak bermain perempuan, hari ini yang kupikirkan hanya Dewi saja.
"Aghhh, kepalaku terasa ingin meledak"
Rekan-rekanku juga menertawakan si kumis tebal. Untung tidak ada yang mendengarnya.
Kepalaku terus berdengung hingga terkadang berteriak rasanya. Aku tidak tahan lagi, aku bergegas keluar dari Bar sialan itu.
...
Aku terbangun hari sabtu siang. Sialan, setelah keluar Bar aku tidak ingat lagi apa yang terjadi. Ketika bangun aku sudah berada di apartemen kecilku.
Terdengar di siaran radio pagi, pimpinan agung revolusi tengah berbicara panjang lebar. Pidato yang hampir setiap hari diulang-ulang ini pun bagian dari pekerjaanku.
"Hancurkan sisa-sisa Kapitalisme, hutang masa lalu harus dibayar setuntas-tuntasnya. Harkat dan martabat bangsa ada di tangan buruh tani dan rakyat miskin"
Bait tersebut selalu kuingat dalam pikiranku, tentu saja bersanding dengan Dewi Lestari yang selalu menghampiri mimpi indahku.
"Akh sial, saatnya menghampiri Dewi" ujarku.
Aku bersiap-siap sekaligus memberanikan diriku. Dengan mobil sedan kecil yang aku gunakan setiap hari ini aku segera mencari alamat yang diberikan oleh Nandi. Aku perkirakan perjalanan akan memakan waktu 3 jam lebih.
Sialan, selalu terpikir di kepalaku tentang kenangan beberapa tahun lalu. Dewi mengkhianati aku, dia meninggalkanku saat aku masih berusaha berjuang merevolusi negeri ini.
...
Perjalanan tiga jam dari pusat kota membawaku ke sebuah desa kecil di pinggiran sungai yang mengalir menuju ibukota. Jarak yang lumayan jauh membuat tempat ini lebih segar daripada ibu kota yang selalu kudiami.
Aku memarkirkan mobilku di sekitar masjid yang hampir rubuh. Beberapa orang aku lihat berlalu-lalang dengan menggunakan sepeda motor. Beberapa buruh tani juga membawa lembunya untuk menuju petak sawahnya. Pos pengawas revolusi bisa terlihat di dekat perbatasan desa, mereka yang biasanya mengorganisir buru tani desa.
Seseorang dari mereka mendatangiku, dengan sebuah laras panjang yang dipegangnya.
"Hei, diam di tempat!"
Aku hanya mengikuti perintahnya.
Setelah berada di hadapanku, dia menatap tajam wajahku dengan wajah garangnya.
"Mau apa kesini? Plat kendaraanmu bukan dari sekitar sini"
"Eegh, tidak ada apa-apa, Bung. Aku hanya ingin berkunjung kesini",
Tiba-tiba dia mengacungkan laras panjangnya. Sialan, pikirku ada apa dengannya.
"Baiklah silakan periksa diriku, kau bisa ambil dompetku di kantong belakang",
Pengawas itu mendekat ke arahku, menggeledah setiap badanku. Dompetku diambilnya, mungkin dia ambil beberapa uangnya. Namun, agaknya dia kaget ketika menggeledah kartu pengenalku.
"K-Kementerian Propaganda?",
"Hei, apa ini asli?"
"Kau bisa cek itu di database-mu jika ingin"
Matanya berubah menjadi ragu, dia kembali merapikan dompet dan pakaianku.
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu Anda dari Kementerian",
"Silakan nikmati kunjungan Anda", ucapnya seraya membungkuk lalu pergi.
Aku kembali melanjutkan perjalananku menuju rumah Dewi. Jarak antara masjid tempat ku berada dan perumahan warga tidak terlalu jauh, aku segera melihat beberapa rumah. Rumah Dewi seharusnya tidak jauh dari pos pengawasan revolusi karena penomorannya tidak terlalu besar. Sejak kediktatoran proletariat berlangsung, penomoran rumah dihitung dari jaraknya ke pos pengawas revolusi.
Beberapa poster dan bendera tanda dukungan terhadap revolusi terpampang di depan rumah setiap warga. Aku mendatangi seseorang yang sedang duduk di depan teras dan merokok. Terasnya terlihat bendera revolusi merah dengan bintang dan arit emas.
"Selamat pagi, Bung!"
"Pagi juga, apa ada yang bisa aku bantu?", tanyanya.
Aku sejenak menyalakan rokok-ku.
"Aku sedang mencari Dewi Lestari, apa kau tahu kediamannya Bung?"
"Ah, Dewi. Kau bisa lihat rumahnya tepat di depan rumah gubuk yang hampir rubuh itu"
"Ah, terimakasih Bung atas informasinya. Semoga revolusi bersama kita"
Aku segera bergegas menuju rumah hijau yang ditunjuk olehnya.
Aku mengetuk pintunya, seorang wanita dengan daster dan rambut terurai menyambut ketukanku.
"Dewi?"
...
PLAAAKK....
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku.
"Duduklah, itu salam pembuka dariku"
Kami berdua duduk bertatapan di kursi teras rumah.
"Aku lupa harus memberimu air minum, sebentar"
Aku kembali berpikir, apa yang akan kukatakan padanya setelah sekian lama. Aku mungkin melihatnya amat cantik hari ini. Tapi bukankah dia mengkhianati aku?
Tidak lama Dewi kembali dengan dua gelas teh manis hangat.
"Kau kerja dimana sekarang?"
"Kementerian Propaganda, aku staff khusus disana"
"Syukurlah, penampilanmu tidak gembel seperti dulu"
"Terimakasih, Dew"
Aku melihat sekitarnya, rumah yang Dewi tinggali ini benar-benar sejuk.
"Apa kau masih berpikir aku mengkhianatimu, Cak?", ucapnya.
"Ya, aku masih berpikir seperti itu"
"Lalu, apa revolusimu sudah berhasil?"
"Presiden Nasa telah tumbang, revoluai proletar berhasil meruntuhkan dominasi borjuis",
"Kalau begitu kenapa rumah di depanku itu hampir rubuh? Sebelum pimpinan agung berkuasa Pakde Watam nasibnya begitu-begitu saja"
Aku menoleh melihat gubuk tua yang reyot itu.
"Bagaimana denganmu? Apa sudah berkecukupan atau bebas dari penindasan?"
Aku langsung teringat apa yang dilakukan bosku ketika Dewi mengatakan itu.
"Revolusi belum selesai, Dewi. Masyarakat Komunal adalah tujuannya", jawabnya.
"Revolusi? Kalian hanya menata ulang pembagian kekayaan untuk kalian sendiri. Lihat pimpinan agung hidup bergelimang harta setelah naik takhta, sementara orang seperti Pakde Watam hidupnya masih sama saja",
"Revolusimu itu omong kosong! Bahkan sampai sekarang kau berpikir aku mengkhianatimu, kau sendiri yang membuangku demi gagasan ini",
"Tidak ada yang berubah darimu, hari ini kau hanya berubah secara fisik dan pakaian saja, namun dirimu masih sama seperti dulu."
"Namun, saat itu kau meninggalkanku Dewi saat aku butuh dukungan dan kekuatan", kataku.
"Umur 25 tahun kau baru menyelesaikan skripsimu, sedangkan aku sudah melalang buana menjadi pekerja",
"Dew, setelah itu aku tergabung dengan partai politik revolusi hampir terjadi"
Dewi menatap mataku dengan tajam.
"Kau berjanji saat semester pertama kuliah akan menikahiku ketika skripsimu selesai, aku menunggumu hingga lewat masa lulusmu, namun kau hanya mementingkan revolusi negeri. Cobalah berpikir tentang dirimu, agaknya revolusi diri harus kau prioritaskan mulai hari ini, berpikirlah mas."
"Suamiku akan pulang dari sawahnya, silakan kau nikmati desa ini",
"Suami?"
...