Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ARUNA dan NATHA

🇮🇩Littlestar87
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.6k
Views
Synopsis
Aruna berpisah dengan suaminya dan memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Dengan bantuan Widya, sahabat sejak kuliah, dia memulai bekerja sebagai editor bahasa Inggris. Aruna bertemu dengan Natha, seorang pria yang mempunyai anak dari Tante tirinya. Awalnya Natha bersikap dingin dan cuek. Namun, ketika Luna, anak Natha mulai dekat dengan Aruna, pria 36 tahun tersebut mulai luluh dan menikahi Aruna. Meskipun sudah menikah, Aruna dan Natha masih tinggal bersama om dan Tante tiri, Dilla. Di dalam rumah tangga baru, Aruna harus menghadapi Dilla yang masih merayu Natha. Apakah mereka akan tetap bertahan dalam rumah tangga? Atau Dilla yang akan memenangkan hati Natha? Kisah dua orang yang berjuang dalam biduk rumah tangga, mempersatukan hati, dan menggerus egois masing-masing.
VIEW MORE

Chapter 1 - Hidup Baru

Kata orang hidup bagai roda, menggelinding tidak tentu arah. Saat di atas, kita akan tersenyum tetapi kala menginjak kerikil kecil ketenangan berubah menjadi ombak.

Roda akan terus berputar, mengajarkan pengalaman yang membuat kita akan semakin berpikir ulang sebelum bertindak.

Setelah surat perceraian kudapat. Bersama kedua anakku, kami akan menapaki kehidupan yang baru. Berbekal bantuan dari Widya, sahabat sejak kuliah, aku berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai editor bahasa Inggris di salah satu penerbitan.

Hari ini, kami akan menuju hidup baru, tampak raut wajah yang tidak rela, tapi kaki tetap melangkah keluar rumah. Mereka akhirnya melepas kepergian kami di terminal.

"Kami pergi dulu," pamitku kemudian mencium telapak tangan kedua orang tua.

Fani dan Jiyo menangis saat dicium oleh nenek mereka, seakan tahu tidak akan bertemu dalam waktu yang cukup lama.

Kami pergi membawa harapan baru di kota yang kata orang lebih kejam dari ibu tiri.

Malam ini, pertama kali aku merantau ke luar kota. Sendiri bersama kedua jagoan, tiba di sebuah kos berpintu besi hitam.

Kuusap layar pintar dan menekan nomor teman. Tidak berselang lama, dia datang dan menyuruh masuk ke halaman yang berhiaskan taman di tengah.

Sementara lima pintu di sisi kanan dan kiri. Pintu sisi kiri nomor tiga menjadi rumah sementara kami.

Kamar 3x4 dengan luas yang cukup untuk bertiga. Dinding bercat biru laut lembut dengan kipas yang tepatri di sisi kiri.

Bersyukur, sampai detik ini Allah mengulurkan Tangan lewat sahabat terdekat, Widya. Besok hari pertama kerja dan malam ini, kami akan bermimpi sejenak melepas penat dalam gelap.

Pagi ini sinar mentari datang dengan malasnya. Mungkin sedang musim hujan, jadi si matahari menikmati masa libur.

Kemeja merah bata rapi tertata di badan dengan celana kain hitam, menurutku cocok.

"Aruna, sudah siap belum?" Suara Widya yang menggelegar di satu rumah kos.

Aku keluar kamar setelah menyiapkan makan anak-anak, "Siap bu HRD!" Senyum kecil kusematkan pada teman berkulit kuning.

"Ouya nanti anak-anak dititipkan di day care dekat kantor," jelasnya sembari menyisir rambut yang basah.

Aku hanya mengangguk dan kembali ke kamar untuk melihat kedua putraku. Sedikit terkejut dengan ulah adik yang baru bisa berjalan, ruangan kecil itupun harus dibereskan dengan segera.

Tepat jam setengan tujuh, kami berlima menuju jalan raya. Ada bis kota yang siap mengantar. Cukup lama kami menikmati goyangan bis dan senandung para pengamen yang berdendang ria.

Aku dan Widya mengantar anak-anak ke tempat penitipan dahulu kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Ternyata memang dekat, jadi aku bisa menengok mereka pas istirahat.

///

Menempuh jalur ke Jakarta bukan pilihan yang mudah. Kami harus melalui suatu perjalanan yang terlihat indah tetapi berakhir susah.

Awal pernikahan

Suara menggema di ruang putih dengan meja persegi panjang sebagai saksi pertautan dua insan dalam halalnya pernikahan.

Hari yang sangat aku nantikan setelah setahun berdebat dengan ibu. Beliau mengalah walau aku tahu ada perasaan tidak rela ketika mulut mengiyakan aku dengan dia.

"Boleh cium tangan suami. Nanti tanda tangan, ya?" Pak Naib tersenyum melihat pengantin baru.

Semburat merah menjadi pewarna pipi alami. Aku yakin semua perkataan ibuku tidak akan pernah terjadi, suami pilihan hati akan menjadi imam yang paling bisa dipercaya dan diandalkan.

Kami menikah dalam usia yang cukup terbilang matang, pekerjaan sudah ditangan jadi buat apa merisaukan hal ekonomi? Hal yang selalu meresahkan ibu sebagai wanita yang telah berpengalaman. Aku ingat betul pertanyaan beliau sebelum hari H, "Apa kamu yakin, Nduk? Ibu kok merasa dia kurang cocok denganmu."

Aku hanya mengangguk, jujur hati sedikit meradang karena orang tua sendiri tidak percaya pilihan anak satu-satunya. Setidaknya beliau memberikan semangat agar anak perempuannya ini mampu bertahan dalam biduk rumah tangga.

Tapi toh aku sudah menikah dengan pilihan hati, warna pelangi akan menghiasi hari-hari kami selanjutnya. Bayangan aku dan dia yang akan selalu bersama, mengisi kekosongan sewaktu pacaran LDR dulu, dan anak yang akan melengkapi pernikahan ini.

///

Semua administrasi sudah diselesaikan, kami pulang untuk resepsi yang dilaksanakan setelah dzuhur. Berdua menikmati pengantin baru. Persiapan resepsi sudah 99% yang 1% hanya nasib akan berjalan lancar atau tidak? Berdandan ala-ala jawa dengan hiasan mentul-mentul di kepala khas Jawa Tengah.

"Ayu, Nduk." Buliran air berusaha ditahan oleh ibu, kedua netra yang sudah berkerut tampak berkabut.

Tangan dingin kuraih serta mencium kerutan yang terlintas. Maaf ibu, restu dari engkau adalah hadiah terbesar untuk anakmu yang suka membangkang ini.

"Matur suwun, Bu." (Terima kasih, Bu) hanya itu yang mulut mampu ucapkan atas segala persiapan ini.

Dekorasi yang didominasi warna ungu tua, dengan bunga hidup yang menghiasi panggung untuk kami berdua. Indah, semenjak kemarin aku masih takjub dengan hal yang kulalui. Dengan memakai baju warna merah maroon, kami akan menjadi raja dan ratu walau cuma tiga jam.

Tamu mulai berdatangan dan acara akan dimulai. Rasa berdetak cepat mengikuti langkah kaki menuju pelaminan. Bersanding dengan yang tercinta. Terima kasih ya Allah, kami bersatu.

Setelah hari yang melelahkan kami berkumpul dalam satu ruangan kebahagiaan.

///

Indahnya saat itu, angan dan harapan masih bersinar. Belum ada kabut dan mendung yang bergelayut. Delapan tahun pernikahan dihujani ujian dan cobaan. Anak sakit hingga tidak tahan dengan perekononian yang makin memburuk. Lelaki pengecut itu pergi meninggalkan kami bertiga. Dalam ketidakpastian arus yang mengalir ayah dari kedua anakku berkata, "Aku tidak tahan dengan sikapmu yang egois. Mending kita cerai talak tiga."

Malam itu aku tidak akan pernah lupa, seorang imam telah menceraikan istrinya. Dia menyalahkan semua tingkah polahku yang sebenarnya berawal dari ketidakbecusan dia dalam mengelola rumah tangga.

Wanita mana yang akan tahan, tidak diberi nafkah lahir batin dengan cukup. Uang belanja yang didapat dari hasil kongsi bapak mertuanya digemborkan sebagai uang belanja harian. Diri ini juga yang harus berjuang untuk keperluan kedua kakak beradik. Walau hanya jualan makanan kecil, menjahit, hingga menjadi buruh di rumah orang.

Tapi kelakuan dia yang hanya mengandalkan tenagaku untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, membuat batin ini tersiksa. Apa bedanya aku dengan wanita tanpa suami? Hidup sendiri, memenuhi kebutuhan pun sendiri.

Aku diam, dia juga diam. Tidak ada etika baik untuk memperjelas keadaan yang sedang carut marut dalam rumah tangga kami.

Hingga suatu malam, bom waktu meledak, dan aku memaki dia dengan tuduhan laki-laki tidak bertanggungjawab. Talak tiga dilayangkan langsung, kemudian kakinya memilih pergi.

Kedua orang tua sangat terpukul terlebih dengan omongan para tetangga yang hanya mau melihat dari sisi luar. Perceraian kami singkat, saat mediasipun dia tidak datang, sehingga hakim memutuskan mengetok palu dengan cepat.

Karena tidak tahan hidup dalam gonjang-ganjing orang lain, kuputuskan mencari kerja ke Jakarta. Sebuah kota besar yang menjadi tumpuan baru kehidupan kami.

Sulit memang menyakinkan ibu yang masih menganggap diri ini bak anak kecil yang kurang pengetahuan. Beliau takut serta cemas, kedua cucu akan mendapatkan hal-hal buruk selama dalam genggamanku.

Tidak salah memang kekhawatiran ibu, aku yang telah memilih jalan hidup harus mengorbankan mereka. Andai bapaknya bisa lebih dewasa dalam menghadapi permasalahan hidup, atau memang kami hanyalah dua orang yang belum mengerti tanggung jawab.

Ya, nasi sudah menjadi bubur, bagaimana kalau kita tambah topping supaya enak dan menarik?