"Kau belum memikirkan apa yang aku katakan kepadamu?"
Suara Arsyi sudah terdengar menyebalkan di seberang sana. Devano hanya diam saat menerima panggilan gadis itu di jam kerja. Sepertinya Arsyi benar-benar serius tentang ini.
"Kenapa tidak kau saja yang mencari pacar lalu menikah?"
"Ahh kau menyuruhku? Tentu saja aku tidak bisa, Dev! Hubungan itu pasti digagalkan oleh ayahku! Dan dengan begitu kita akan tetap menikah pada akhirnya, aku siap, kau bagaimana? Lagipula kau tidak terlalu buruk untuk dijadikan suami!"
Devano menelan air liurnya. Tidak mungkin. Sebuah mimpi buruk menikah dengan Arsyi ia akan sakit telinga jika itu terjadi.
"Lagipula kau tampan, kau berbakat, akan terdengar aneh jika kau tidak bisa mendapat satu pacar saja, ahh Devano kau buruk sekali!"
Kesal, marah dan jengkel saat mendengar perkataan Arsyi barusan, sampai Devano mengepalkan tangannya dan bertekad untuk menantang Arsyi.
"Aku akan mendapatkan seorang pacar! Lihat saja!"
Arsyi tersenyum di seberang sana, pancingannya berhasil. Ya, Devano tidak mau kalah dan tidak mau diremehkan, jadi dengan ini Arsyi yakin bahwa sebentar lagi akan ada kabar indah untuk dirinya.
Tapi setelah ia pikirkan kembali, selama ia hidup, dirinya memang tidak sama sekali berniat untuk memiliki seorang pacar, bahkan dirinya belum pernah berpikir kapan ia akan beristri. Baginya rumah tangga hanya masalah pribadi masing-masing orang, dan memiliki pasangan itu bukan penyelesaian dari segala masalah.
Meski begitu, kerap kali Devano berpikir bahwa seharusnya ia dengan jarak watu dekat harus setidaknya memiliki pikiran untuk bertemu dengan seorang gadis, dirinya tidak akan bisa hidup sendiri selamanya sepandai apapun ia. Kemana uang yang ia hasilkan ini untuk dihasbiskan jika tidak memiliki siapapun untuk dimanja dan dihidupi selian dirinya yang selama ini hidup dengan hemat, bukan karena pelit hanya saja tak ada waktu untuk memanjakan diri.
Setelah Arsyi berkata demikian, barulah lelaki itu duduk termenung di dalam mobilnya yang terparkir di sebuah minimarket, niatnya untuk membeli kopi jadi terhadang karena perkataan Arsyi yang terus mengganggunya.
"Memangnya bisa semudah itu untuk mendapat pacar?" Ia bergeming pada dirinya sendiri. Sulit. Tentu saja sulit. Bahkan saat hanya dipikirkan saja itu sudah sangat sulit.
"Ahh entahlah, aku harus bekerja setidaknya sekarang. Aku sangat sibuk hingga mati."
Terlebih di era dimana dirinya sedang berada di dalam masalah besar, sejak kedatangan Ashlea di timnya.
Sakit kepala juga tak luput untuk menghantuinya saat teringat dengan nama Ashlea. Sungguh melelahkan berhadapan dengan gadis itu.
Tepat pada saat itu ponselnya berdering, membuatnya memejam karena lelah. Ashlea. Ternyata nomor ponsel gadis itu setidaknya disimpan oleh Devano. Meski dengan nama "Pembawa Sial"
"Biar aku katakan padamu bahwa hari ini aku tidak datang ke kantor, yang artinya aku sedang tidak kerja dan beristirahat!"
Sebelum Ashlea sempat mengatakan apapun dari balik selimut dan dengan hawa panas, lelaki itu lebih dulu mengoceh dengan kecepatan penuh, suara dingin itu setidaknya menandakan bahwa lelaki itu masih baik-baik saja.
Dan kabar baiknya, jika hari ini Devano tidak masuk kerja artinya Ashlea tak juga harus bekerja.
"Baiklah." Setelah menjawab singkat Ashlea mematikan panggilan untuk Devano. Tadinya ia berniat untuk meminta belas kasihan baginya agar diberikan ijin tidak bekerja, tetapi Devano lebih dulu mengatakan bahwa dirinya tidak bekerja hari ini. Syukurlah semesta berpihak pada Ashlea.
Tubuh gadis itu menggigil, bahkan dengan selimut tebal dan baju panjang yang ia kenakan di tubuhnya gadis itu masih merasa kedinginan. Apa pendingin ruangan ini menyala? Pikirnya, tetapi lampu pada alat itu tak hidup yang artinya tak ada tanda-tanda bahwa alat itu berfungsi.
"Ahh ..." erangnya. Rasa sakit menusuk ke tulangnya, baru kali ini ia kalah dengan tubuhnya sendiri. Rasanya ia tak memiliki tenaga hanya untuk bangun dan menggapai segelas air di samping tempat tidurnya.
Pranggg!!
Pecahlah gelas yang nampak mahal itu, berhamburan kacanya di lantai. Ashlea hanya bernafas pasrah, bahkan nafasnya terasa panas untuk dirinya sendiri lantas mengapa tubuhnya sangat kedinginan.
Ia merindukan sosok seseorang disaat ini. Tentu saja seseorang yang Ashlea selalu menggantungkan hidup kepadanya.
"Jangan pernah coba-coba untuk keluar dari kamar jika kau sakit!"
"Apa susahnya untuk menelpon aku jika kau tak bisa melakukan sesuatu!"
"Memangnya kau bukan manusia yang tidak butuh bantuan orang lain?!"
Ashlea benar-benar merindukan ocehan-ocehan Defansa yang dulunya ia pikir sangat berisik. Kini ia sadar dan tahu bahwa sesuatu memang baru terasa berharga jika sudah hilang. Ia merindukan sosok Defansa dengan sangat.
Lantas sekarang bagaimana? Sudah tidak ada yang bisa menjaganya dikala ia sakit. Mau tidak mau ia terpaksa harus mengurus dirinya sendiri, seperti sejak dulu ia lakukan sebelum kehadiran Defansa di hidupnya.
Dengan kata lain, Ashlea kembali pada kehidupan aslinya seperti sebelum adanya Defansa, ia memulai kehidupan ini sejak Defansa meninggalkannya dengan rasa sakit yang penuh.
"Aku haus," katanya dengan suara parau yang terdengar benar-benar sakit.
Dengan langkah berat dan melelahkan ia bangun dari tempat tidurnya, perlahan untuk mencari pintu dan pergi ke dapur di lantai bawah.
Belum sampai ia di depan pintu kamar, ponsel yang berada di atas kasur tepatnya di samping bantal tempat ia tidur barusan berdering. Ada nomor seseorang yang tak ia kenal menelponnya, tetapi Ashle ahapal betul siapa pemilik nomor ponsel ini.
"Halo?" katanya setelah berhasil mempercepat langkah gontai untuk mengangkat panggilan itu.
"Kau dimana?"
Suara itu membuat Ashlea merasa lelah.
"Aku di rumah. Aku sedang ijin, aku tidak enak badan." Ashlea menjelaskan.
"Keluarlah!"
Perintah itu tiba-tiba saja Ashlea dengar. Tetapi ia masih tidak mengerti dengan ucapan lawan bicaranya itu, Ashlea hanya diam.
"Atau sebutkan saja kata sandi rumahmu!"
"Rumahku tak pernah terkunci." Ashlea menjawab begitu saja.
Benar rupanya, saat Devano putar knopnya pintu itu benar-benar tidak terkunci. "Wah dia benar-benar berbeda."
"Aku masuk," ijin Devano yang tidak mendapat sahutan dari Ashlea.
Tapi tunggu dulu. Bagaimana Devano bisa sampai di rumahnya? Apa Devano tau alamat rumahnya? Tapi darimana? Ahh tidak, bukan itu pertanyaan yang harus dipertanyakan Ashlea. Pertanyaan yang paling Ashlea ingin tanyakan adalah, kenapa dia ke rumah Ashlea?
Belum lama suara derap langkah kian mendekat, terdengar menggema dari kamar Ashlea sebab rumah itu terlalu kosong dan hampa jadi suara pelan saja bisa terdengar keras.
"Ada orang?"
Tentu saja ada, Ashlea menjawab panggilan dari atas dengan suara batuk.
"Kau di atas?"
Ashlea berusaha untuk turun setelah memakai pakaian yang lebih sopan, merepotkan karena harus bangun di saat tubuh terasa lelah, tapi sepertinya ini sangat penting sampai Devano datang ke rumahnya, jika bukan masalah pekerjaan lalu masalah apa lagi.
"Tidak usah turun!" Devano menghentikan langkah kaki Ashlea yang hendak mendatanginya. "Aku yang kesana." Devano pun melangkah untuk mendatangi Ashlea.
Yang benar-benar membuat Ashlea terkejut adalah sesuatu yang Devano bawa.