Seseorang pernah berkata padaku bahwa tidak ada yang namanya rahasia di dunia ini. Saat dua atau lebih rahasia diketahui, maka hal tersebut tidak lagi bisa disebut sebagai rahasia. Aku adalah orang yang tidak suka menyimpan rahasia. Meski aku merasa bahwa menyembunyikan sesuatu adalah suatu hal yang menyenangkan, tapi akan ada lebih banyak kerepotan yang tidak ada habisnya. Aku tidak tahu sudah sejak kapan, aku selalu memiliki satu rahasia yang kusimpan. Itu adalah sebuah rahasia yang diketahui oleh dua orang. Itu rahasia yang seharusnya tidak pernah ada. Tapi, itu juga adalah rahasia yang sampai sekarang selalu aku jaga agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Mungkin mereka takut...takut jika rahasia tersebut bukan lagi sebuah rahasia, maka akan ada sesuatu yang hilang…
"Pran!! Awas di belakangmu!!" **(phewww! thump!)**\\sfx
Teriakan Wai terdengar dari arah belakang, membuatku menghindari sesuatu secara otomatis mengikuti instingku. Tubuh dari lawanku dengan cepat terbang ke arah tepat di mana aku berdiri sesaat yang lalu dan segera terjatuh ke tanah karena kehilangan titik tumbukan yang seharusnya mengenai tubuhku.
Sosok tersebut memandangku dengan tatapan marah dan segera melesat ke arahku. Tinjunya yang terkepal gemetar, bersiap untuk memukul tulang rahangku. Aku segera sadar, dalam waktu singkat aku membungkukkan diri sedikit dan memiringkan kepala sambil mengepalkan tinjuku sebelum akhirnya melemparkan pukulan ke arah dagu orang itu dengan sekuat tenaga.
Aku mulai kehabisan nafas dan mundur selangkah karena efek kekuatan pukulanku sendiri. Tepat di momen tersebut sebuah gerakan muncul.
"Kau!!"
"Ahh!"
"Praaan!!?"
Aku pasti sudah benar-benar kehilangan akal sehatku karena berdiri terlalu lama sebelum aku diserang dari belakang. Berat tendangan kaki seseorang tepat mengenai pertengahan punggungku dengan keras. Diikuti dengan pukulan keras di wajahku, aku langsung terjatuh dan mengerang karena rasa sakit yang kurasakan di lenganku akibat efek terjatuh ke tanah.
Dia mendongak dan melihat bahwa bajingan itu berlari ke arahnya untuk memegang kerah bajunya dan menendangnya menjauh. Aku meludahkan segumpal darah ke tanah. Orang itu mengusap ujung mulutnya yang berdarah sambil bersusah payah untuk bergerak dengan bantuan teman disampingnya.
"Tunggu, kau segera pergi dan tolong Kae dulu!"
Aku memberitahunya dan mengangguk ke arah temanku yang lain. Dia pun menengok dan melihat bahwa dia (Kae) sedang dihabisi oleh dua orang sekaligus. Wyakorn mengangguk dan memukulkan tinjunya ke bagian perut lawan sebelum melangkah dengan cepat ke arah Kae. Tapi, saat aku berkata demikian, aku hampir tersedak oleh air liar dan darahku sendiri. Dia tidak bisa menahannya di tenggorokan saat dia berbalik dan melihat tiga ekor anjing menunjukkan giginya.
Di saat seperti ini, di mana semua anak yang membuat cerita itu pergi!
"Apa!? Orang seperti Pran Parakul memiliki wajah pucat?"
Pemilik suara yang wajahnya bahkan mengganggu organ dalam itu menarik ujung mulutnya tersenyum. Sambil mendekat, kedua tangannya masih disimpan di dalam dua kantong celananya. Aku mengkerutkan alisku dan menyipitikan mata, ingin bertanya "Bagaimana kau akan melakukan itu?"
"Apa kau sudah membeku duluan?" ** (maksudnya membeku di sini adalah terdiam/terpaku = merasa takut) **
Huh..
Aku tersenyum dengan mengangkat ujung mulutku dan membiarkan tawa serak keluar dari tenggorokanku, sebelum akhirnya aku melemparkan tinjuku ke arah pipi orang yang berdiri di depanku tanpa memberi sinyal. Orang tersebut terhuyung mundur mengikuti kekuatan pukulan, tapi senyum puas masih tampak di sudut mulutnya.
"Bajingan ini!"
Para anjing pelayan di belakangnya sangat panas karena amarah sampai menyalak dengan keras dan melompat ke arahku. Tapi, sebuah lengan yang terbakar matahari tiba-tiba menghalanginya dan sebuah tatapan kesalahpahaman muncul antara dia dan orang di depannya.
"Ada apa, Pat?"
"Aku akan mengurusnya dari sini sekarang."
Naphat selesai berbicara dan memberiku senyum iblisnya. Senyuman yang familiar, yang sudah sering dilihat di tempat penuh dengan pukulan seperti ini. Mata kami bertemu saat aku tersenyum, tapi menerima tantangannya tanpa ada sanggahan. Kami saling memandang satu sama lain sampai sebuah bel di dalam kepala kami berbunyi. Akhirnya, tatapan tersebut adalah tatapan terakhir yang kami miliki sebelum kami melompat ke arah satu sama lain.
Pukulan pertama mengenai perutnya, tapi tidak terlalu keras sampai benar-benar bisa memukulnya jatuh. Aku meraih bagian belakang lehernya dan memukul bagian perutnya dengan lututku. Di momen tersebut, wajahnya sangat dekat sebelum pukulan dengan lutut itu mengenai perutnya, membuatnya jatuh ke lantai sambil memegang perutnya.
"Kamu benar-bernar tidak menahannya sama sekali,"
Dia berbisik melalui giginya yang terkatup sampai membuatku harus menahan tawa. Dia mendorong dirinya sendiri dari lantai dan mulai maju lagi. Mengandalkan momen yang ada, aku berusaha melindungi diriku sendiri dari sisi kanan dan berusaha bergerak ke arah yang berlawanan. Namun, lengannya berhasil mengunci leherku. Aku berusaha untuk menyentak kepalaku karena rasa tidak nyaman akibat aliran nafas yang mulai terhambat. Mengumpulkan semua kekuatannya, dia menjatuhkan dirinya sendiri sambil menyentak kakinya ke orang tersebut sampai akhirnya mereka berdua terjatuh bersamaan. Setelahnya, mereka saling bertukar tinju dan pukulan sampai mereka kehabisan energi dan saling terlempar ke sisi yang berlawanan.
"Sial! Ini sakit sekali."
Wai bergumam sambil mengusap luka di daerah kepala dekat alis dengan handuk basah.
"Aku akan terkejut jika itu tidak sakit," Kae menjawab dengan kondisi yang tidak jauh berbeda. Mulutnya terluka dan berdarah, sampai hanya dengan menggerakkan mulutnya sedikit sudah berhasil membuatnya mengernyit karena rasa sakit.
"Kemana perginya Golf?" Aku bertanya, berbalik untuk mencari temanku yang lain di dalam grup. Sejak band ini tersebar karena suara dosen yang terdengar dari jauh, aku belum melihatnya lagi.
"Terakhir meihatnya, dia sedang memimpin para junior lari ke arah yang lain, Dia akan segera menyusul, kurasa."
Para junior sialan itu terus saja membuat kita kesulitan. Seolah aku tidak cukup sibuk dengan semua proyek tugasku. Jika skripsiku sampai ditolak, aku akan menghajar bokong mereka dengan sangat keras.
"Oke, sudah jam berapa sekarang?"
"Aku tidak tahu." Jawab Kae sambil menggelengkan kepalanya. "Tapi aku mendengar pembicaraan kalau ada mahasiswa Fakultas Teknik tahun kedua yang datang untuk menjahili dan meminta untuk memegang bagian bawah dari mahasiswa angkatan tahun pertama di jurusan kita."
Masalah ini lagi. Kapan profesor dan dosen universitas ini setuju menyisihkan dana untuk membeli berangus dan menutup mulut mereka semua?
Kita akan mendapatkan kedamaian tanpa harus terus-terusan mengejar anjing-anjing seperti ini.
"Kamu sudah baik-baik saja sekarang. Luka di lenganmu cukup lebar. Apa kau ingin membersihkannya terlebih dahulu?" Dia tiba-tiba menarik lengan yang sedang kupegang dan melihatnya.
"Aku bisa kembali dan mengobati lukaku di kamar. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sini."
"Tunggu, aku akan berjalan denganmu. Akan menjadi masalah kalau kau berpapasan dengan orang-orang gila itu."
"Kondisi mereka tidak jauh berbeda. Sekarang mereka sudah pergi dan sedang menjilati lukanya..."
"Ayo, Kae. Kamu ikut?" Dia memotong pembicaraan dan bertanya pada yang lain.
"Sudah, pergilah. Kalian pulanglah terlebih dahulu. Aku akan duduk di sini sebentar lagi."
"Oke, sampai ketemu besok. Jangan lupa untuk segera kembali dan merevisi bagian tugasmu."
"Bisakah kamu tida membahas itu sekarang? Aku terlalu lelah untuk memikirkan tentang tugas."
Wai tertawa lembut, sebelum dia memegang mulutnya lagi akibat sensasi terbakar di area yang terluka saat mengucapkan selamat tinggal ke satu sama lain. Akhirnya, aku dan lainnya saling mengucapkan selamat tinggal dan berjalan ke arah yang berbeda.
******
Faktanya, saat aku sadar dan menemukan bahwa kami saling meninju seperti babi dan anjing, itu mungkin agak sedikit membingungkan. Namun, pertikaian seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi para pemimpin geng dari dua fakultas yang sudah tidak rukun satu sama lain sejak dari beberapa generasi.: kami, geng dari Fakultas Arsitektur; dan mereka dari Fakultas Teknik.
Bahkan, ketika di tahun keempat, kita yang harus membereskan masalah para junior. Ketika juniornya memiliki masalah, mereka akan terburu-buru pergi dan memberitahunya untuk mengikuti serta menghabisinya. Terkadang, gengku dan gengnya tidak memiliki masalah satu sama lain secara langsung. Ketika kami berkali-kali saling pukul sampai jatuh, mereka bahkan tidak tahu alasan atau bagaimana cerita persisnya.
Tapi karena harkat dan martabatnya, saat ada cerita maka salah satu dari kami harus menang.
"Luka di alismu, aku yakin besok akan memburuk."
Wai segera mengangkat tangan untuk menyentuh bagian alisnya dan mengernyit.
"Uh..aku sedikit lengah. Serangan dari belakang. Bagaimana perutmu? Aku melihatmu memegang perut sejak tadi."
Bagaimana menurutmu? Si Pat itu memukuli perutku berulang kali, bahkan ketika aku sudah tersungkur di tanah. Harusnya saat aku memukulinya untuk yang kedua kali, aku memberikan sedikit lebih banyak tenaga sampai dia terluka cukup serius.
Sambil mengangkat bahu, "Aku baik-baik saja."
"Suatu hari, kamu bisa saja mati karena luka dalam."
"Dan kau mungkin akan mati dengan wajah hancur berantakan."
"Sialan, Pran!"
Aku menarik napas sambil tersenyum lembut. Aku mencium aroma pepohonan dari jalan utama sampai ke bagian belakang area universitas, di mana banyak gedung apartemen dan asrama untuk para mahasiswa.
"Aku akan membeli sesuatu untuk makan malam sebentar." Wai memukul bahuku lembut sambil berjalan ke arah toko mie. "Pesan satu Tom Yum Lek pedas spesial. Kau mau pesan apa, Pran?" Setelah menyebutkan pesanannya seperti biasa, Bibi menoleh ke arah kami dan langsung membuatkan pesanannya.
"Tidak, mulutmu yang sudah penuh luka begitu dan kamu masih ingin makan pedas? Lihat saja tubuhmu sendiri."
Dia tertawa dan menoleh ke arahku, "Iya, aku memang orang yang sadis. Jadi, kamu mau makan apa?"
"Aku tidak tahu. Aku sudah kenyang karena pukulan."
Orang lain hanya tertawa dan mengangguk, menerima jawabanku dan mengakhiri pembicaraan. Beralih untuk melihat panci sup, menunggu Bibi penjual mie yang sedang merebus mie pesanannya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Sampai ketemu besok kalau begitu."
Sesampainya di asrama, kami dengan segera mengucapkan selamat tinggal satu sama lain. Gedung asrama kami yang bersebelahan, membuat kami harus berpisah di depan pintu gerbang. Aku mengangguk dan berjalan melewati pintu menuju lift. Setelah menunggu beberapa saat, pintu lift terbuka. Aku segera memasuki lift dan menekan tombol lantai kamarku berada, sambil menunggu pintu lift perlahan tertutup,
"Tunggu! Tahan pintunya!!"
Tepat saat pintu lift hampir tertutup, sebuah suara yang familiar terdengar. Diikuti oleh sebuah lengan yang berusaha menahan pintu lift agar tetap terbuka serta wajah yang penuh dengan luka dan darah. Ternyata dia adalah orang yang baru saja kulawan beberapa jam yang lalu.
Si pembuat onar tersenyum dengan mengangkat sudut mulutnya sambil memasukkan dirinya ke dalam lift dan berdiri di sebelahku. Aku melihat rambutnya yang sedikit panjang dan diikat di belakang tengkuknya. Tidak peduli seberapa banyak aku melihatnya, hal itu tetap saja membuatku jengkel.
Sambil masih melihat wajah bodohnya, pintu lift pun tertutup dan bergerak naik.
Dia adalah Pat, Ketua geng Fakultas Teknik Mesin tahun keempat. Orang yang selalu saling pukul denganku selama empat tahun terakhir. Hal ini sampai membuat siapa pun yang melihat kami berada dalam radius berdekatan, maka pasti akan ada cerita. Kami tidak bisa bertemu dan harus berpura-pura untuk saling bunuh. Jika dibandingkan, aku adalah api dan dia adalah minyak. Setiap kali kami bertemu, maka yang ada adalah untuk saling menghancurkan satu sama lain.
Lucunya, kami sebenarnya tidak saling menggigit sejak dulu. Kami hanya anak-anak...tapi itu semua dimulai dari generasi orang tua kami.
Orang tua kami berdua sudah menjadi pesaing dalam bisnis bahkan sejak sebelum aku lahir. Mungkin inilah yang disebut "membenci sampai ke tulang dan daging". Orang tua kami saling mencerca dan memaki satu sama lain hingga hal tersebut merasuk ke otak anak-anak mereka. Setidaknya, itulah hal yang sejauh ini kuingat.
Dan hal tersebut hampir seperti neraka. Berpura-pura datang dan tinggal di rumah sebelah. Memasukkan kami ke TK yang sama, SD yang sama, SMP dan SMA yang sama, dan hampir setiap hari kami bertemu untuk saling menghina. Kebencian dari orang dewasa akhirnya diteruskan ke anak-anak seperti kami. Kami berdua harus menggertak, bertarung, dan bersaing satu sama lain dalam segala hal: sekolah, olahraga, kekuatan, semua hal yang bisa kupikirkan adalah aku harus menjadi yang paling unggul dan lebih baik dibanding yang lain.
Hal ini bahkan lebih menggelikan ketika aku masuk universitas. Kami didorong untuk masuk ke universitas yang sama. Itu seperti mengundang orang-orang yang saling bersaing untuk duduk bersebelahan, seolah-olah mengundang untuk saling bunuh dan saling mengalahkan satu sama lain. Situasi yang benar-benar tidak ramah dan tidak bisa kami ubah.
Aku hampir meletakkan kaki dikepalaku sendiri saat menyadari bahwa aku dan dia tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan seperti ini. Kami harus saling melecehkan satu sama lain sepanjang sisa hidup kami. Sedikit aneh memikirkannya, bahwa kami harus saling membenci bahkan dari sebelum kami bertemu satu sama lain.
Aku ingin menang darimu walaupun aku belum pernah melihat wajahmu.
"Apa kamu sudah makan?"
Kalimat itu berhasil menarikku kembali dari memori lama yang sedang kupikirkan saat anjing gila di sebelahku mulai mendekat dan meringkuk di bahuku.
"Apa yang bisa aku makan dengan kondisi mulut seperti ini?" Aku menjawab dengan suara rendah sambil melihat ke arahnya, mendekatkan wajahku ke wajahnya yang penuh dengan memar. "Kembalilah ke kamarmu dan isi perutmu dengan minuman berkalori."
Dia tertawa dan langsung meringis karena hal itu membuat luka di mulutnya kembali berkedut.
"Aku akan membaginya denganmu." Aku hanya bisa memutar mataku. Benar-benar sudah bosan melihat wajah orang gila ini. Yahh..itu benar. Hari ini aku benar-benar sudah memukuli wajahnya sampai aku sendiri kelelahan.
"Simpan untuk dirimu sendiri."
Bersambung.