Ini adalah kisah hidup yang benar-benar terjadi pada diriku, pada seorang gadis yang harus kau ketahui bernama Sirene. Semalam, aku tidur di kasur empuk dan ranjang reok bekas ibuku seperti biasa, di rumah yang isinya banyak sekali orang. Nenek yang tidak bisa melihat karena terkena masalah mata (katarak) sejak 15 tahun lalu. Kakek yang memiliki gangguan pendengaran.
Di rumah dengan arsitektur bangunan khas pedesaan, dengan cat hijau ini juga ada om beserta istri dan juga kedua anaknya. Om Nanang, yaitu kakak ke dua dari ibuku yang menikahi Titin bibi yang selalu saja membuatku kesal karena sikapnya. Om Nanang memiliki dua putri, Intan yang kini baru menginjak kelas 5 sekolah dasar dan Bunga yang masih kelas 1 sekolah dasar juga tinggal di rumah yang sama.
Orang tuaku tinggal di Oku Selatan, dan aku tinggal di Oku Timur. Perbedaan kabupaten inilah yang membawa kisahku menjadi berwarna. Kembali ke malam tadi, seperti biasa aku masih terlelap. Aku baru gadis berusia 16 tahun yang tidak bisa bangun pagi meskipun harus ke sekolah. Aku selalu mematikan lampu kamar, karena tidak bisa tidur dengan cahaya terang. Dengan kelambu corak bunga-bunga dan suasana remang karena kamarku masih mendapat cahaya dari ruang tamu lewat celah atas tembok aku pun terlelap.
Kamarku sendiri berada di sebelah kiri ruang tamu sekaligus ruang televisi dan ruang keluarga itu jika dari pintu luar, tetapi akan menjadi sebelah kanan jika dari pintu belakang setelah kamar nenek dan ruang makan. Pintu memang sengaja tidak ku kunci, sebab esok pagi nenek akan meraba dan mulai membangunkan aku untuk bersiap ke sekolah seperti biasa.
'Sirene? Sirene? Ren!' begitulah biasanya nenek akan mulai berteriak ketika aku tak kunjung menjawab panggilannya.
'Hem!' sedangkan aku akan mendengus kesal karena merasa sangat terganggu oleh panggilan nenek yang berulang-ulang itu.
Saat jam 10 malam, kakak keponakanku bernama Dion memang datang berkunjung, ia menumpang untuk menonton televisi seperti biasa. Dion adalah anak ke dua dari tanteku, tanteku kakak pertama ibu yang rumahnya tidak jauh dari rumah yang kini aku tumpangi. Entah sampai kapan biasanya Dion akan menonton televisi, ia memang seringkali begadang. Aku dan Dion hanya selisih 2 tahun, ia sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA. Tidak hanya beda kelas, kami juga beda sekolah. Sekolah Dion cenderung lebih jauh dari rumah, sekolahnya juga terkenal tidak baik karena sering kali tawuran.
Jam 1 malam kurang lebih, aku merasakan ada yang aneh di tubuhku. Seperti seseorang sedang meraba, bahkan rasanya benar-benar nyata. Aku mencoba membuka mata di kegelapan. Mataku langsung mengarah ke pintu yang biasanya masih menyisakan sedikit celah untuk cahaya lampu dari ruang televisi yang masih jelas menyala itu masuk, tetapi tidak ada cahaya semuanya terlihat gelap. Aku sadar, pintu itu kini tertutup rapat.
"Aaaagh!" pekik gadis kelas 1 SMA ini mencoba melepaskan diri.
"Suttt!" desis Dion.
Dion sudah meraba tubuhku dengan liar, ia bahkan sudah masuk ke dalam kamar dan kelambu, tidur tepat di samping kananku. Aku sudah terpojok, sudah menempel di tembok sisi ranjang, di bata merah yang jelas tertata beraturan itu. Aku rasa semua orang sudah tidur, kakekku bahkan sudah terdengar mendengkur dengan keras di kamarnya. Bibi dan kedua anaknya juga sudah tidak bersuara, sedangkan om Nanang pasti masih bertugas ronda dan belum kembali ke rumah.
Semalam, suasana benar-benar mencekam. Suara televisi seperti sengaja di keras kan agar tidak satu orang pun mendengar pergulatanku dengan Dion di kamar yang masih tetap gelap itu. Berulang kali aku menepis tangan Dion dengan sekuat tenaga, dan Dion tetap saja mencoba menjamah setiap inci tubuhku yang mulus bersih dan kuning langsat ini. Mulutku di bungkam, di paksa tidak bisa bergerak oleh tubuh kuat Dion yang kini berani menghimpit tubuh mungilku.
"Lepaskan!" bisikku masih mencoba merayu kebodohan Dion.
Dion tidak bersuara, ia tetap saja mencoba menaklukkan aku. Kami masih terus mempertahankan apa yang kita inginkan, Dion menyergapku berulang kali dan aku berusaha menepisnya juga berkali-kali. Meskipun mulutku di bungkam Dion, aku masih bisa mengerang sampai semua orang rumah terbangun dan mengetahui tindakan Dion terhadapku, tetapi entah mengapa tiba-tiba ada begitu banyak rasa dan bayangan yang akhirnya membuat mulutku terkunci.
'Kalau aku teriak dan semua orang bangun, gimana sama nenek dan keluarga yang lain? Dion 'kan cucu kesayangan nenek, dan nenek punya penyakit jantung, gimana kalau aku teriak terus nenek jantungnya kumat dan mati?' batinku berkecamuk. 'Kalau nenek mati aku bisa di salahin semua orang, atau bahkan semua keluarga akan malu sama orang-orang karena ulah Dion ini.' sambung batinku. 'Dan Bapak, Ibu? Mereka pasti akan marah banget sama kelakuan bejat Dion, keluarga ini akan berantakan karena ulah Dion. Belum lagi pandangan orang-orang ke keluarga ini, pandangan orang ke aku? Gimana ini?' lanjut batinku semalam sangat berkecamuk.
Aku takut, aku gelisah dan aku marah. Tenagaku seperti terkuras untuk menahan Dion. Dion terus mencoba mengendalikan, tubuhku yang mulai lunglai, mulutku yang terus terkunci dalam dekapannya juga kini sama sekali tak memberikan perlawanan. Dion yang masih kuat itu pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia bahkan dengan berani mencoba membuka semua kain yang membungkus tubuhku dengan buasnya.
'Tuhan tolong aku!' batinku hanya bisa meminta pertolongan.
Dion semakin tidak karuan, ia bahkan sudah berhasil membuka kaus pendekku. Tanganku di dekap, di kunci di atas kepala dengan cengkraman yang sangat kuat menggunakan tangan kanan Dion. Sedangkan tangan kirinya mulai membuka pakaian yang melekat di tubuhku dengan bebasnya.
'Lepaskan aku keparat! Banjingan! Brengsek!' teriakku dalam hati.
Dion kini sudah berhasil membuka semua kain yang membungkus tubuh indahku, tubuh yang ku jaga bahkan sejak aku kecil. Tubuh yang selalu aku banggakan, kehormatan dan kesucianku, mahkotaku. Dion membuka kedua pahaku dengan paksa, dan mulai melancarkan aksinya. Aku hanya bisa memejamkan kedua mataku, dengan air mata yang tentu saja sudah berguguran sejak tadi.
'Awwww!' teriakku dalam batin benar-benar kesakitan.
Bagian tubuh yang memanjang, tumpul dan berurat itu telah menusuk alat kelaminku dengan paksa. Seketika rasanya sangat perih, sakit dan ketakutan luar biasa semalam sudah menjadi satu. Pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan ketakutan yang seperti ini. Seperti semua orang buta seperti nenek, semua orang tuli seperti kakek, dan semua orang menyebalkan seperti bini Titin.
"Aw!" pekikku.
Dion langsung membungkam mulutku dengan tangan kirinya begitu kuat, tangan kanannya terus mendekap kedua tanganku yang sengaja ia silangkan di atas kepala. Kedua kaki yang terbuka dengan membentuk siku-siku, dan tubuh Dion di atasnya pastilah terlihat tidak etis. Apalagi, mengingat Dion adalah kakak keponakanku sendiri. Seseorang yang seharusnya menjagaku, melindungi kehormatanku, dan juga mengayomiku. Dion kini malah merenggut kesucianku, kehormatan dan masa depanku.
Ia menggerakkan bokongnya, maju mundur seperti gerakan pushup. Dengan irama perlahan tapi pasti, aku merasakan bagian vitalku penuh menghimpit daging memanjang milik Dion. Rasanya aneh, perih, nyeri dan geli. Bahkan, seluruh tubuhku mulai berkeringat padahal semalam sangatlah dingin. Dengan irama, dan suara televisi masih menggema mendominasi ranjang reok yang kami tempati berbunyi sesekali.
'Krek, Krek, Krek!' suara kayu yang bergesekan dengan tembok bata merah terdengar sedikit, tapi rupanya semua orang sudah lelap.
Air mataku terus menetes tanpa henti, sudah tidak tahu harus berlaku apa semalam. Masa depanku telah hancur, sudah berakhir dan semuanya karena Dion. Aku harus menerima kesalahan Dion seumur hidup, membawanya bahkan sampai aku mati. [ ]