Bella berjalan tergesa-gesa menuju kantor Presdirnya dengan tumpukan dokumen di salah satu tangannya, dan sebuah ponsel dengan panggilan yang masih tersambung di tangannya yang lain.
"Bella, bergerak cepatlah, aku tidak suka menunggu lama." Suara di seberang ponsel itu terdengar kesal.
"Baik..." Setelah mengatakan itu, Bella langsung mempercepat langkahnya. Sangat susah menambah kecepatan langkahnya saat sedang mengenakan sepatu hak tinggi. Namun Bella tetap berusaha.
Karyawan-karyawan yang sedang berlalu lalang di sana menatap Bella dengan khawatir. Mereka berpikir, Bella mungkin akan menggelincirkan kakinya jika dia terus berjalan seperti itu, bahkan sekarang dia terlihat hampir berlari.
"Sekretaris Bella, berhati-hatilah," ujar salah satu karyawan. Bella menatap seorang wanita di depannya dan dia membalas dengan tersenyum hangat, "ada urusan mendesak dengan presdir," jelasnya singkat, lantas kembali melajukan tumitnya dengan cepat.
Butuh beberapa menit untuk sampai di tujuannya. Ketika sudah berada di depan pintu, dia mengetuk pintu besar itu dua kali lalu mendorongnya.
Kantor Presdir merupakan suite mewah.
Tidak heran ruangannya cukup besar karena ruangan ini memang memiliki kamar dan aula. Dilaraskan dengan warna putih dan abu-abu, membuat ruangan itu terlihat lebih sederhana namun sangat mewah dan menarik dipandang. Meja kantor berwarna abu-abu dipadukan dengan kursi putar berwarna putih, disandingkan pada jendela kaca transparan yang menyuguhkan pemandangan luar kota yang luas.
Karena ruangan itu cukup besar, Bella harus mengedarkan matanya untuk mencari keberadaan Presdirnya.
Ruangan itu kosong.
Bella beralih menatap pintu kamar utama, di mana pintu itu terlihat sedang sedikit terbuka.
"Kamu sudah di dalam kantor? Kenapa kamu diam? Di mana dia?" Suara di seberang ponselnya masih terus-terusan mengeluh.
"Saya rasa Presdir sedang ada di kamar utama."
"Cepat datangi." Suara itu sangat lembut namun terdengar menuntut.
Bella ragu-ragu. Jika dia bisa memilih, dia tentu tidak akan mau untuk memasuki kamar utama sang presdir, namun karena seseorang di balik ponselnya itu terdengar begitu tidak sabaran, Bella tidak punya pilihan lain.
Bella mengetuk pintu dengan pelan dan berkata, "Presdir, ada telepon untuk anda."
Karena tidak mendapat jawaban, Bella mengedarkan pandangannnya ke seisi ruangan itu.
Ternyata kamar itu juga kosong.
"Presdir?" Karena masih tidak mendapatkan jawaban, Bella berpikir bahwa presdir juga tidak sedang berada di dalam sana.
Kemana dia pergi?
Tepat ketika Bella akan berbalik untuk meninggalkan ruangan, dia mendengar suara benda keras yang terjatuh di lantai. Suara itu berasal dari dalam kamar mandi. karena khawatir bahwa presdirnya ada di dalam dan telah mendapat kesulitan, Bella bergegas ke sana tanpa berpikir panjang.
"Presdir? Apa anda baik-baik saja?" Bella mendorong pintu kamar mandi dengan mudah dan saat itu Bella langsung berdiri terpaku di tempatnya.
Benar. Dia memang bodoh!
Dia pikir suara benda keras yang terjatuh itu adalah tubuh sang presdir. Tetapi, itu hanyalah beberapa botol sabun yang telah tanpa sengaja terjatuh.
Sang presdir juga ada di sana tentunya. Namun, tentu saja pria itu tengah mandi, dan tentunya dia sedang tidak mengenakan pakaian!
Untuk sesaat, pikiran Bella sama sekali tidak berjalan, dia tak berdaya sama sekali. Pandangannya terpaku pada pria itu untuk waktu yang lama.
Bagas awalnya tampak syok. Namun, setelah tahu bahwa yang telah menerobos masuk itu hanyalah Bella, dia kembali berwajah tenang.
"Kamu ingin ikut bergabung, Bella?" Suara lembut itu sangat penuh pesona, membuat Bella masih belum juga tersadar dari apa yang baru saja terjadi.
Beberapa detik kemudian dia baru tersadar. Wajahnya yang cantik langsung berubah sangat merah.
Bella lekas berbalik dan membanting pintu kamar mandi dengan sangat keras. Beberapa saat setelahnya, pintu itu terdengar kembali terbuka dengan pria berotot yang ikut keluar dari sana. "Ma'af presdir," Bella bergumam.
Karena mendengar pria itu yang juga keluar dari kamar mandi, Bella sebisa mungkin menghindarkan matanya, dengan memunggungi Bagas.
"Nona Laura menelepon anda, katanya ada sesuatu yang mendesak." Setelah mengatakan itu, Bella melempar ponselnya ke belakang dengan sembarangan. Untung saja ponsel itu mendarat tepat di atas sofa yang tak jauh dari sana.
Karena sadar panggilan di ponselnya telah diakhiri secara sepihak, Bella baru berani berkomentar.
"Bagas, mataku telah ternodai olehmu pagi-pagi!" katanya.
"Bella, jangan berpura-pura polos seperti itu, bukankah kita sudah sering melihat bentuk tubuh satu sama lain sebelumnya?" Pria itu tampak sangat tenang saat berkata, "kita bahkan sering mandi bersama waktu itu, bagaimana matamu masih tetap tidak ternodai selama ini?" ejeknya. Dia sedikit tersenyum. Pada saat itu, suaranya terdengar sangat menarik di telinga Bella.
'Waktu itu' yang Bagas maksud adalah ketika mereka masih kanak-kanak. Tentu itu beda lagi ceritanya jika mereka sudah beranjak dewasa deperti ini.
Jika dulu Bagas mengejeknya seperti ini, maka Bella akan langsung melayangkan tinjunya.
Dulu saat Bagas mengganggunya, dia tidak suka berdebat mulut, Bella memang sering bermain dengan tinjunya. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi, Bella menahan dirinya, karena pria yang tengah mengganggu emosinya sekarang ini adalah seorang presdir di tempatnya bekerja.
Karena menahan kesabarannya, Bella buru-buru meninggalkan kamar Bagas.
Entah kenapa, sejak kejadian pagi itu, yang ada di dalam pikiran Bella adalah pemandangan yang telah tanpa sengaja dia lihat di kamar mandi. Lebih tepatnya, Bella sama sekali tidak bermaksud untuk memikirkan itu. Tetapi, otaknya hari ini seperti telah dikutuk untuk hanya berfokus pada kejadian itu saja.
"Bukankah kita sering melihat satu sama lain sebelumnya?" Bella mengulang kata-kata Bagas, dia bergidik ngeri.
"cihh, Bagas sangat mengerikan, bukankah ketika kecil dan ketika dewasa itu memiliki perbedaan yang sangat jauh?" Bella bergumam sendiri. Ekspresinya menjadi gelap ketika mengingat beberapa kenangan tertentu dari masa lalu.
Waktu itu sudah waktunya makan siang ketika ponsel Bella tiba-tiba berdering. Saat dia melihat layar ponselnya, itu adalah panggilan dari Bagas.
Bella meletakkan telepon di telinganya dan menjawab dengan lembut, "Ya, Presdir?"
Bagas terkekeh pelan ketika dia mendengar nada suara Bella. Bella terdengar hati-hati. Membuat Bagas ingin menggodanya lagi.
"Apakah ini Bella?" Dia bertanya tanpa dosa.
Bella hanya kebingungan untuk sesaat. Apa maksudnya itu? Dia tidak mungkin tidak mengenali suaranya bukan? Apa dia sedang bermain-main?
"Ya, Presdir. Ini saya." Bella membalas dengan normal.
"Masuk." Hanya satu kata, namun itu terdengar tegas.
"Baik," jawab Bella dan mengakhiri panggilan. Dia menutup matanya dengan erat dan menarik napas dalam-dalam. Dia harus berhenti memikirkan kejadian tadi pagi, atau wajahnya akan terus memerah di depan Bagas.
Bella menghampiri sisi kantor dan mengetuk pintu besar di hadapannya, kemudian melangkah masuk.
"Presdir?"
Bagas saat itu sedang duduk di kursi mewahnya dengan setumpuk dokumen di atas meja. Dia menatap beberapa dokumen itu dengan sangat teliti dan berhenti ketika mendengar suara Bella.
Saat Bagas mengangkat kepalanya untuk menatap Bella, Bella sedikit bergidik. Bagas tampak seperti dewa dengan wajah tajam yang sangat menonjol. Matanya tampak sangat cerdas dan menawan. Dia memancarkan pesona luar biasa yang Bella tidak mengerti. Kemeja putihnya menambah kesan terhadap wajahnya yang tampan. Dan sinar matahari yang menembus ruangan itu membuat Bagas tampak berkilauan.
Bella segera berjalan mendekat kearahnya. Dia masih tetap menundukkan kepala. Bulu matanya yang panjang itu menghalangi matanya yang tengah merasa malu karena beberapa hal di otaknya.
"Laura akan berada di bandara pukul 4 sore nanti. Jemput dia dan... Kamu tahu apa yang harus kamu bawa untuknya." Bagas menatap Bella. Memastikan bahwa Bella mengerti dengan apa yang dia katakan.
Setelah mendapat anggukan dari Bella, baru dia kembali membaca dokumen-dokumen di atas mejanya lagi.