"Hi Mark, I'm fine and you?" sahut Dzaky mengepalkan kedua tangannya dan beradu dengan kepalan tangan Mark kebiasaannya dulu ketika dia bertemu dengan teman-temannya satu kampus.
Mark adalah mahasiswa pindahan dari Kanada karena orang tuanya berpindah ke Singapore maka mau tak mau diam mengikutinya.
"Of course lah I'm fine, n She...." Mark menunjuk pada Rara.
"She is my wife," balas Dzaky singkat membuat Mark terkesiap dengan jawaban darinya.
"Are you get merried ready?" tanya Mark tak percaya dengan pengakuan Dzaky karena setahu dirinya Dzaky jarang berdekatan dengan wanita dan selalu menolak jika diajak berkencan dengan siapapun.
Dzaky hanya mengangguk membenarkan perkataannya pada Mark. "Oh My God, ternyata kau bukan seorang gay karena pada akhirnya kau menikahi seorang gadis dan mematahkan argument teman-temanmu yang menganggap kau suka terhadap sesama jenis."
"Apa?" Rara tak sadar mengucapkan hal itu cukup keras karena dirinya pun cukup kaget mendengar penuturan Mark sahabat Dzaky.
"You know Dzaky? Aku pikir dulu dia seorang gay waktu pertama kali bekerja paruh waktu di sini karena setelah jam kuliah berakhir dia pasti akan ke sini dan membantuku untuk mengerjakan tugas-tugasku yang menumpuk apalagi disaat jam-jam makan siang yang lumayan banyak pengunjungnya dan dia sangat membantuku sekali terlebih dia juga jago menyanyi dan suaranya sangat memukau membuat pengunjung kafe milik mamaku membeludak jika dia show di sana," tunjuk Mark pada stage tempat biasanya Dzaky mempertunjukkan bakatnya menyanyi.
"So harusnya kau bahagia karena ternyata dia memiliki banyak sekali bakat terpendam yang mungkin pelan-pelan akan kau ketahui nanti," ucap Mark membuat Rara menatap lelaki yang ada di depannya itu penuh selidik.
"Jadi...." belum selesai Rara berkata sudah dipotong duluan oleh Mark.
"Jadi kau sungguh beruntung mendapatkan dirinya apalagi dia juga pandai dalam hal agama," ucap Mark terus memuji kelebihan-kelebihan Dzaky di depan Rara.
"Apa kau juga mau memperlihatkan bakatmu di depan istrimu?" tanya Mark dan Dzaky hanya menggelengkan kepalanya malas untuk apa pamer pada wanita bar-bar sampai besok juga gak akan dia mau mengakuinya.
"Aku ingin pulang," ucap Dzaky berbeda dengan Rara yang sepertinya enggan untuk pulang karena pastinya dia akan mendapatkan informasi lebih tentang Dzaky dari teman-temannya di sini. Rara masih penasaran dengan sosok Dzaky yang menjadi suaminya sekarang.
"Jika kau tak mau pulang maka kau akan sendirian di sini jangan bilang kau tak tahu jalan karena takkan ada orang yang akan menolongku pulang ke hotel."
Mendengar hal tersebut membuat Rara sedikit resah karena sejujurnya dia masih awam dengan cerita kehidupan di luar negeri.
"Baiklah ayo pulang," sahut Rara meskipun setengah tidak ikhlas namun tetap saja dia mau mengikuti perintah dari Rifki.
"Aku pulang Mark, besok kau ada waktu aku ingin berbicara denganmu," tanya Dzaky menatap Mark meminta kepastian darinya Mark menanggapinya dengan senyuman pula.
Dzaky dan Rara tiba di hotel sudah dalam keadaan lelah membuat Rara tertidur di dalam begitu saja, berbeda dengan Dzaky yang masih bisa menyempatkan diri untuk mandi baru beristirahat.
"Ra, mandilah terlebih. dahulu baru kau istirahat," seru Dzaky namun Rara abai dan langsung masuk ke dalam selimut saking lelahnya. Tadi begitu keluar dari kafe Dzaky tak langsung pulang melainkan mengajaknya pergi ke Marina beach membuatnya melupakan kekesalannya dari banyak pertanyaan sewaktu pagi hingga siang hari, dia meluapkannya dengan bermain di pantai dan pulang setelah makan malam di sana.
Dzaky kasihan padanya daripada harus bolak-balik karena besok dia akan pulang ke Jakarta lebih baik dia menghabiskan hari itu juga bersama dengan Rara di sana.
"Kenapa dia begitu jorok tidak seperti kebanyakan wanita yang selalu saja menjaga kebersihannya dan apakah dia tidak terganggu tidur dalam keadaan tubuh yang lengket," gumam Dzaky kesal.
Dzaky mengambil bantal dan juga selimutnya berjalan ke sofa dia akan kembali tidur di sana malam ini. Baru juga meletakkan bantal dan membaringkan tubuhnya terdengar suara mengigau Rara terdengar ke telinganya.
"Jangan ambil milikku, dia milikku, dia suamiku!"
"Dasar gadis bodoh," ucap Dzaky perlahan. Dia teringat perkataan Karen tadi pagi kenapa dia selalu menolak jika temannya mengajaknya berkencan. Ayolah apa kalian pikir aku anak orang kaya yang suka hura-hura dengan kekayaan orang tua mereka. Dan lagi jika dia mengikuti perkataan temannya pasti akan berujung pada pergaulan bebas, tidak dia mencintai satu nama meskipun dia tak bisa memilikinya namun dia bangga karena sudah menjaga kesetiannya meskipun pada akhirnya dia harus memilih menikah dengan orang lain untuk membalas budi baik keluarga besarnya tersebut 'Annisa' nama gadis itu, gadis di desanya yang terlihat ayu dan juga sholehah untuknya dan ternyata menjadi sosok yang alim dan banyak belajar agama serta menerapkannya tidak bisa menjadikanya sebagai salah satu kandidat calon mantu untuk Abah Seno yang lebih memilih semua itu dengan embel-embel keturunan 'orang kaya' sangat menyedihkan bukan.
Dzaky berkutat dengan pikirannya sendiri hingga tak sadar dia tertidur dengan sendirinya. Pagi menjelang dia sudah tak melihat Rara di ranjangnya apakah dia keluar dari kamar tapi untuk apa sepagi ini dia pergi.
Ketika terdengar suara air dari kran kamar mandi baru dia tahu jika Rara tengah berada di sana namun pintunya tidak ditutup olehnya apakah dia sengaja. Dzaky bergegas bangkit dari tidurnya dan melihat apa yang terjadi di sana, dia terkejut karena melihat Rara tengah duduk di lantai dan memegangi kloset dan memijat kepalanya sendiri yang pusing.
"Apa kau baik-baik?" Dzaky berjongkok dan memandang Rara iba diusianya yang baru menginjak delapan belas tahun harus menjadi korban kebebasannya sendiri seandainya Pak Bagas mertuanya lebih ketat dan perhatian padanya mungkin hal itu takkan pernah terjadi pada anak semata wayangnya.
"Pergilah jangan dekati aku, ini sangat menjijikan untukmu aku saja malas dengan keadaanku sendiri," seru Rara.
"Huweeek...." Rara kembali memuntahkan cairan bening dengan telaten Dzaky memijat tengkuk Rara mendapat perlakuan tersebut tentu saja dia terharu dari lubuk hatinya yang paling dalam tak bisa dia pungkiri jika Dzaky adalah laki-laki yang baik untuknya namun Rara merasa tidak pantas untuknya dia merasa bukan wanita yang baik untuknya seperti Annisa gadis pilihan hatinya Dzaky suaminya, tunggu apakah Rara telah mengakuinya jika Dzaky adalah suaminya pilihan terbaik dari papanya untuk dirinya.
Rara semakin pusing dan rasa-rasanya tak kuat dengan apa yang dia rasakan, "Kita pulang nanti jam sembilan apakah kau mau?" tanya Dzaky menatap Rara ragu melihat kondisinya yang terlihat lemah.
"Tak masalah, aku juga ingin segera pulang. ke rumah," balas Rara mencoba bangkit dari duduknya menuju ke ranjang namun baru beberapa langkah tubuhnya limbung dan ambruk seketika. Dengan sigap Dzaky meraih tubuhnya sebelum jatuh ke lantai.
"Ra, bangun Ra!" seru Dzaky menepuk-nepuk pipinya rasa khawatir melanda hatinya.