Chereads / Jodoh pilihan Papa / Chapter 4 - kebencian Rara

Chapter 4 - kebencian Rara

"Maaf Om saya ke sini antar Rara tadi saya melihatnya di jalan sendirian dan juga mau memberikan jawaban atas permintaan Om Bagas tempo hari," ucap Dzaky semua orang memperhatikannya dengan raut wajah yang tegang.

"Jadi gimana keputusan kamu nak Dzaky?" tanya Nugroho.

Dzaky diam menunduk menata hatinya dan mengatur nafasnya sesaat kemudian mengangkat kepalanya 'Bismillah,' ucap Dzaky dalam hati.

"Saya mau membantu Om untuk menikah dengan Rara," ucap Dzaky membuat semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut terkejut sekaligus bahagia.

"Makasih ya nak atas kesediaannya membantu kami," ucap Bagas.

"Kalau begitu besok kita langsung saja laksanakan ijab qabulnya ya Mas," tanya Bagas pada Nugroho yang hanya dibalas dengan anggukan kepala saja.

"Kalau begitu saya ijin pamit pulang dulu Om, soalnya saya masih ada urusan," Dzaky bergegas bangkit dan menyalami Nugroho dan Bagas.

"Urusannya sama si mbak yang cantik tadi ya Mas," celetuk Rara.

Dzaky hanya diam saja.

"Ra, jaga ucapan kamu," perintah Bagas.

"Assalamu'alaikum," Dzaky pamit pulang.

"Waalaikumussalam."

Rara beranjak masuk ke kamar namun kembali Bagas berucap, "Jaga ucapan kamu Rara bagaimanapun dia adalah calon suami kamu besok kau akan menikah dengannya," ucap Bagas menatap tajam pada Rara.

"Pa, dia memang siapa? Apa Papa tahu dia tadi jalan sama siapa? Jangan-jangan dia lagi atur rencana dengan pacarnya buat meres harta Papa aja, tadi Rara liat sendiri dia jalan dengan wanita di luar," sela Rara.

"Apa wanita itu berjilbab Ra?" tanya Ratih.

"Iya Tante orangnya kecil tapi cantik sekali," balas Rara.

"Dia itu Annisa, guru ngaji anak-anak TPA di sini dan juga sebenernya sudah lama mereka saling jatuh cinta tapi Abah Seno menolak Dzaky karena menginginkan mantu dari pondok. Isu yang berhembus dia dijodohkan dengan anaknya pak kades yang lulusan universitas terbaik di Kairo," ucap Ratih.

"Tuh bener kan Tante saja sampai tahu namanya berarti Rara gak bohong," sela Rara.

"Diam kamu Rara mereka bertemu bukan untuk hal buruk semacam itu, jangan suka su'udzon sama orang!" hardik Bagas.

"Bagaimana jika besok pagi saja kita adakan ijab qabulnya Mas?" tanya Bagas.

"Baiklah akan aku urus dulu semuanya lebih dulu, apa surat-suratnya kamu ada bawa?" tanya Nugroho.

"Surat untuk Rara ada di Jakarta Mas, aku belum sempat membawanya lagian kemarin pikiranku sedang kacau jadi tak membawa satupun dokumen miliknya," ucap Bagas.

"Kalau begitu kita nikahkan secara agama dulu nanti waktu berangkat suruh Dzaky bawa surat-suratnya sampai Jakarta bisa langsung ke KUA di sana," usul Nugroho.

***

"Apa kamu sudah yakin nak?" tanya Hanifah.

"InsyaAllah Bu, Pak Nugroho meminta bersiap besok jam sembilan acara akad nikah saja di masjid, untuk secara umumnya besok jika Pak Bagas balik ke Jakarta Dzaky disuruh bawa surat-surat penting buat persyaratan nikah di KUA."

Hanifah segera ke kamarnya mengambil sesuatu dari sana.

"Kasihkan ini buat Rara nak, ini adalah peninggalan bapakmu yang dulu beliau kasih untuk ibu," ucap Hanifah.

"Tapi Bu, ini hanya pernikahan sementara saja kayaknya Rara gak pantes nerima ini. Ibu simpan dulu saja untuk menantu ibu yang sesungguhnya nanti," sergah Dzaky.

"Nak, tidak ada pernikahan sementara jika seiring waktu kamu bisa mencintainya kita gak bakalan tahu, dan tak boleh kita mempermainkan kalimat ijab qabul di hadapan Allah karena itu merupakan janji kita padanya," urai Hanifah.

"Tapi Bu, dzaky---"

"Jika memang belum siap masih bisa dibatalkan tapi jika sudah mantap pergilah ibu takkan melarangnya nak. Ibu tak tahu kamu masih ngarep sama Annisa tapi tahukan kamu nikah tanpa restu orang tua itu meresahkan gak bisa membuat hidup tenang percayalah karena ibu sudah merasakannya," ucap Hanifah.

"Baiklah ibu, Dzaky faham maksud ibu terima kasih sudah memahami Dzaky selama ini," balas Dzaky memeluk ibunya yang selama ini selalu mensupport hidupnya.

"Assalamu'alaikum," salam Annisa.

"Waalaikumussalam, kamu ada apa ke sini Annisa?" tanya Dzaky.

"Mas Dzaky apa sudah bulat mau menikahi Rara anaknya Pak Bagas," tanya Annisa.

"Iya Nis dan akad nikahnya besok pagi jam sembilan di masjid Al Falah," balas Dzaky.

"Apa Mas Dzaky yakin dengan keputusan ini?" tanya Annisa.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Dzaky balik bertanya.

"Annisa hanya ingin dengar alasannya langsung bukan dari ucapan orang lain," ucap Annisa.

"Maafkan aku karena aku tak bisa bertahan, nyatanya apa yang diucapkan Abah tentang aku ada benarnya Nis. Aku bukan laki-laki yang sepadan untukmu, aku belum bisa menjadi imam yang baik menurut penilaian Abah untukku. Jadi sekeras apapun aku berusaha tetap saja jika Abah Seno tidak ridho semua akan sia-sia. Sekali lagi aku meminta maaf padamu, aku yakin nanti kamu akan menemuinya di waktu yang tepat sesuai harapan orang tuamu," ucap Dzaky membuat Annisa menahan air mata agar tidak melesat jatuh ke pipi.

"Maafkan Dzaky anak ibu ya nak," Hanifah memeluk Annisa dan akhirnya terisak juga dalam pelukan wanita paruh baya yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri.

"Sabar ya, InsyaAllah akan ada gantinya yang lebih baik dari Dzaky," ucap Hanifah menenangkan Annisa.

"Kamu siap-siap nak kumpulin berkas surat-suratnya biar besok berangkat semua sudah beres," perintah Hanifah.

"Baik bu, aku ke kamar ya Nis gak apa-apa kan aku tinggal sama ibu di sini?" tanya Dzaky.

Annisa hanya mengangguk pasrah.

***

"Semua sudah bereskan Mas?" tanya Bagas pada Nugroho seraya menatap tamu undangan dan juga kedua mempelai.

Nugroho mengangguk.

"Bisa dimulai sekarang acaranya pak penghulu?" tanya Nugroho pada penghulu yang akan meng-ijabkan  Dzaky dan Rara.

Semua yang ada dalam masjid pun mengaminkan doa pak penghulu setelah acara ijab qabul selesai.

"Selamat ya nak, sekarang kamu ada yang menjaga Papa harap kamu bisa berubah menjadi lebih baik dari sekarang," ucap Bagas terlihat bahagia berbeda dengan Rara yang nampak kesal karena pernikahan ini.

"Ra, senyum dong masa pengantin baru seperti itu mukanya ditekuk berlipat-lipat. Jadi gak asyik lihatnya," ujar Aeni.

"Rara tetap tak mau menerima pernikahan ini Ma, bagaimana pun ini adalah anak Ardy bukan anak Dzaky," ujar Rara pelan.

"Kamu gak boleh seperti itu sayang, Dzaky adalah suami sah kamu sekarang jadi hormati dia nak," perintah Aeni.

"Kita lihat Ma sejauh mana dia akan bertahan menjadi suami yang baik untuk Rara," ucap Rara tersenyum menyerigai.

"Kamu gak boleh macam-macam nak ingat surgamu ada di bawah telapak kaki suamimu!" ucap Aeni.

"Siapa perduli Ma? Di depan keluarga kita hanya ada materi, bisnis dan kehormatan gak ada tuh kasih sayang makanya Rara jadi begini," ucap Rara ketus meninggalkan Aeni sendiri.

Aeni menghela nafasnya tidak percaya dengan ucapan anaknya Rara, dulu sewaktu kecil nampak manis dan penurut tapi setelah mengenal Ardy dia menjadi bar-bar dan susah diatur.

"Kenapa Ma," tanya bagas.

"Rara Pa--" ucap Aeni.

"Kita serahkan sama Dzaky Ma, Papa percaya dia bisa merubahnya."

"Semoga Pa," ucap Aeni pasrah dengan keadaan Rara.