Sudah hampir satu minggu Brisia tidak menemani mereka berdua rasanya sangat kosong tanpa kehadiran temannya yang satu itu, tak ada kabar bukan Brisia sekali. Perempuan itu akan tepat waktu jika mengenai mata kuliahnya tak heran jika wanita berambut coklat itu memiliki ke geniusan yang luar biasa tidak masuk akal, perempuan tersebut masih belum menemukan titik terang, sebuah suara melengking dari atas lantai dua. Membuat dua mahasiswi yang lagi bersantai mengadah ke atas karena terlalu penasaran terhadap apa yang terjadi Jiraina dan Bianca menaiki tangga gedung C dekat akan prodi bahasa asing, suaranya semakin dekat ketika mereka ada di lantai dua; tiba-tiba sebuah benda jatuh yang ternyata bukan benda itu adalah tubuh manusia, teriakan menggema satu ruangan kelas di dalamnya ada sosok Linggar yang tengah mendengarkan presentasi temannya. "Aaaaa!!!!" Jiraina terhenyak lalu pingsan, lalu siapa yang berteriak? Bianca pelaku peneriak terus. "Ji, bangun, Ji. Jiraina! Bangun!" Bianca menggoyangkan tubuh temannya itu, perempuan tersebut tak kunjung bangun dari pingsannya. Bianca meneteskan air matanya tanpa sadar dalam diam terisak kecil, dari tangga atas Yuandra memantau semuannya dengan senyum mengembang, karena mendengar suara bising-bising anak-anak mahasiswa atau mahasiswi yang tengah ada dosen berbondong-bondong keluar.
Bian dan Linggar terkejut melihat apa yang mereka lihat tidak hanya itu karena terlalu kaget kedua benar-benar bug sekali sesaat setelah keluar dari kelas, para pemuda membawa cewek-cewek itu ke ruang kesehatan, "kenapa bisa seperti ini?" tanya Bian yang khawatir dengan kekasihnya.
"Emang aku tau?! Yang jelas saat kita ada di depan gedung kamu, aku sama Jiraina mendengar suara perempuan. Aku gak tau kalau itu adalah Brisia," lirih Bianca yang mengenakan kemeja milik Bian agar sang kekasih merasa hangat. Jiraina tak bisa menerima akan kematian dari Brisia yang sesungguhnya bukanlah Brisia, sebenarnya teman mereka masih disembunyikan di tempat lain itu hanya permainan Yuandra yang ingin menakuti warga kampus. Linggar merasa ada yang janggal dengan wajah perempuan tadi, mengapa harus ditutupi oleh rambut jika itu Brisia? Seharusnya tidak perlu tertutup seperti itu kan. Linggar meletakkan Jiraina di brangkar ruang kesehatan lalu melengang pergi menemui Yuandra, ketika dalam perjalanan pemuda itu menabrak seorang wanita yang ia kenal jelas, ya, itu Lia. Dia mengepalkan tangan melihat Linggar baik-baik saja atas semua perbuatannya terhadap kakak perempuannya.
Bahkan jika Cindy masih ada dirinya tak akan serapuh itu ketika masih bersama-sama, Linggar jarang sekali peduli dengan Cindy hingga akhirnya perempuan itu mencari pelarian lain yang membuat nyawanya terenggut begitu saja. "Dia hidup? Bagaimana bisa kehidupannya baik-baik saja setelah apa yang orang tersebut perbuat sama kakak gue!" gumamnya marah dan langsung berjalan ke arah DKM.
"Siapa yang elo maksud?" tegur Adelia teman satu devisinya, Lia membungkam lalu menggeleng sembari mengulas senyum tipis pada perempuan di sampingnya. Perempuan yang akan bersiap mengikuti lomba itu hanya menatap punggung Linggar penuh amarah, tak hanya itu jiwa sang kakak pasti tak akan senang dengan apa yang diperbuatnya saat ini. "Kapan lo ke makam Cindy? Seharusnya kemarin itu peringatan tiga tahun kematiannya kan?" tanya Adelia pelan.
"Siapa yang tega ngebom rumahnya ya," sambung Fanny melirih saat ingat kejadian tersebut. "Tragis banget kematian Cindy, pacar barunya mati karena serangan belati yang keji terus kakak lo mati dibom." Lia diam saja jelas ia tau siapa pelakunya karena sebelum sang kakak meninggal, Cindy bercerita banyak tentang Linggar dan Junior.
"Siapa pun orangnya hidupnya gak akan tenang," ucap Lia yang penuh penekanan. "Ya udah ayo kita lanjutin kerjaan kita." Lia akan mengurus itu nanti saat ini nilainya yang terpenting, tapi memungkuri jika perempuan itu juga menyeret nama Jiraina nantinya, bahkan hidupnya sudah sulit, dan akan semakin sulit jika dirinya masih memiliki masalah sama orang lain. Yuandra senang sekali membuat keributan di area kampusnya hatinya sedang bersenandung kecil dan melepaskan almamater yang biasanya digunakan, pemuda tersebut memainkan ponsel secara berputar-putar lalu memasuki ruang latihan dan mengganti pakaiannya. Sedangkan Linggar berada diruang BEM karena ada beberapa urusan yang harus ia urus, dan setelahnya pemuda ini diharuskan untuk menemui dekanat hingga Rektor maklum saja, Linggar adalah pemimpin Hima jadi banyak yang urusan. Walau begitu pemuda ini tetap harus menemui Yuandra yang merupakan ketua BEM karena izinnya diperlukan, sementara Yuandra tak ada di sana.
"Proker udah harus ditanda tangani rektor sama dekanat, ini yang jadi ketua mana sih?! Lama banget, gak disiplin sekali pantes anak-anaknya pada ngaret," celoteh Rinco selaku Humas dari Hima, Linggar hanya diam dan memainkan ponsel dengan tenang.
"Berisik, Rin," desis Bagas yang merasa terganggu akan ocehan lelaki disebelahnya bahkan ketika itu Rinco tetap melanjutkan omelannya meski tau tak ada yang mendengarkan, Linggar menghela kemudian menyela temannya dan menyuruhnya diam, meski begitu Rinco tidak mau diam lama-lama karena terlalu malas menunggu. "Itu mulut apa petasan banting sih? Ngoceh mulu kerjaannya, udah, shttt! Diam!" cibir Bagas yang pada akhirnya menghentikan ocehan dari Rinco. Adena memasang wajah rumit, lalu berkomentar tak mengerti dan menanyakan sikap diam Rinco yang tidak biasanya, bahkan Bagas sudah mengumpati ujaran Adena saat itu juga, karena terlalu pusing memiliki teman-teman yang tidak pernah bisa diam.
"Dena lo gak mau apa gitu pacaran sama Rin?" Adena mengerut lalu menggelengkan kepalanya pelan kemudian memandang wajah Rinco sesaat selepas itu tidak menatapnya lagi, "kalian cocok." Bian tergelak begitu saja tidak mau menghentikan tawanya yang myaring, Linggar benar-benar mengutuk dirinya yang salah memilih teman.
"Lo aja lebih tolol, Gas, kenapa elo malah ngasih saran ke orang lain. Ngaca sana," sahut Linggar yang membuka suaranya, karena sudah terlalu lama menunggu pemuda itu memilih untuk pergi dari ruangan itu dan langsung meminta persetujuan para jajaran dekanat dan juga rektor. Yuandra memandang mahasiswa pengurus BEM lalu melewati anak-anak lain tatapannya dingin, para mahasiswi hampir pingsan karena menatap wajah tampan Yuandra yang begitu tegas.
"Apa kalian cari gue?" tegur laki-laki yang membuat rombongan Hima berhenti di depan pintu lalu menoleh, Bagas meneguk air liur kasar lalu melirik Linggar yang juga memandang Yuandra menggunakan tatapan penuh kebencian.
"Apa ada waktu?" balas Linggar yang meminta anak buahnya berdua saja. "Gue mau ada obrolan penting," tandas lelaki yang di angguki mereka; Bian tau jika Linggar mengatakan hal itu berarti ada hal penting, Yuandra melangkah duluan meninggalkan pemuda di belakangnya. Mungkin mereka sama-sama pemimpin tapi cara Linggar menatap Yuandra jelas bukan tatapan seorang pemimpin apalagi tatapan persahabatan ... tapi sejak kapan mereka berteman. Aneh kan kalau mereka berdua menjalin pertemanan hanya karena seorang gadis.