Jiraina agak malu dengan apa yang dikatakan oleh pemuda dihadapannya, namun sedetik kemudian teman-teman kelasnya memanggil dengan suara yang lantang membuat keduanya menoleh ke arah belakang. Aruna tak mau mengganggu sebenarnya, akan tetapi pria yang memanggilnya itu tak ada pilihan lain sebelum Profesor Rasdi memotong nilainya nanti, nyatanya tak hanya Jiraina yang mendapat panggilan itu ada Jefri dan Diwangga, ketiganya bingung kenapa Aruna memintanya untuk mereka berkumpul di sekre tanpa mau menjelaskan situasi. "Aruna Kartanegara, Jiraina Sooraya Yuanita, Diwangga Rajasa, dan ..." helaan nafas panjang yang terdengar kesal terhembus begitu saja. "Jefriko Areksa Manggala, kalian dapat tugas dari bu Bintang." Jiraina melirik yang lain lalu mendengkus pasrah saat tau apa yang diinginkan si tua bangka itu. "Aruna kamu ketuanya," Aruna mengangguk seraya pasrah. "Jiraina wakil ketua, dan Diwangga sekertaris. Jefri hanya menulis apa yang perlu dicatat kalian paham?" Mereka mengangguk lalu mebubarkan diri. Aruna masih bisa di ajak kerja sama karena lelaki itu adalah Senat tetapi yang lain? Hanya bisa menggunakan kesabaran saja menghadapi mereka.
"Pembagiannya gak adil sih," protes Diwangga yang memandang Jefri sembari memainkan handphonenya. Orang yang ditunjuk sebagai ketua saja terlihat begitu santai dan tidak mengomentari pilihan Profesor Rasdi, namun anak kelas Profesor Bintang sendiri malah memerotesnya, ketiga pemuda dan satu perempuan tersebut berjalan ke arah kantin; sebenarnya saat ini Aruna ada raker sama mahasiswa lain.
"Aaa ... gaise kayanya gue gak bisa lama-lama. Ada raker, untuk info lanjutan nanti kirim digroup kerkom aja ya, sorry banget nih, gue duluan," pamitnya pada teman-teman sekelompoknya lalu menghela panjang sambil menatap jam tangan. Voillanya perempuan tersebut tak bisa melepaskan pandangan dari pria yang bahkan punggungnya sudah tidak terlihat, Diwangga seperti ingin mengejeknya akan tetapi Jiraina telah lebih meninggalkannya, pemuda itu gampang sekali tertebak. Perempuan yang tengah menghela kesal karena memiliki kelompok yang tak becus dalam berkerja membuat perempuan tersebut ingin menangis, Bianca mengernyit bingung lalu mendekat.
"Kenapa babe?" Jiraina menggeleng pelan lalu menjauh dari pemuda itu yang masih memandang wajahnya dengan tatapan penuh rasa suka, perempuan yang kini melengangkan kakinya ke arah kantin prodi lain itu tak mau membuat dirinya harus repot-repot berdesakan sama mahasiswa lain. "Akuntan rame juga tapi banyak cogan, nongkrong dikantin sana aja kuy?" ajak temannya itu.
"Gue agak risih sama tatapan anak Akuntan, kaya mau bunuh orang." Jiraina bergidik takut ketika mengingat desas-desus warga kampus, sebab perempuan sering banget dengar gosip anak fakultas lain kalau melewati koridor gedung baru. "Gak deh kalian aja, gue takut dibilang yang aneh-aneh."
"Kemarin Aruna ke sana, katanya pacaran sama salah satu dari prodi itu. Gue gak yakin soal itu sih soalnyakan Aruna lumayan terkenal di sana jadi banyak yang ngarep." Brisia mengatakan itu untuk membuka bahan gosipnya lagi agar salah satu temannya itu tak takut, "loe kalau mau ke sana gue saranin jangan sama Aruna deh. Soalnya bisa di serang sama ciwi-ciwi di situ." Jiraina membelalak kaget lalu ia memikirkan tugas bersama lelaki satu kelasnya itu.
Jiraina berpikir untuk tak mengadakan pertemuan apa pun namun itu akan sangat sulit, karena ialah orang yang akan selalu dicari sama Aruna. "Aru bakal selalu sibuk kan ya?" desahnya khawatir, perempuan itu benar-benar takut jika itu terjadi pada dirinya. Pertama kalinya dalam hidup perempuan itu menghampiri seseorang yang memiliki pengaruh besar dikampusnya kaya Aruna Kartanegara, perempuan yang jalannya sengaja dilambatkan tersebut memang agak parno sama gosip yang beredar. Domain membersihkan rumahnya lalu menghela lelah ketika adik perempuannya baru saja pulang dari kampus; pemuda itu selalu melakukan hal ini di pagi hari akan tetapi laki-laki tersebut baru bisa melakukannya dijam saat ini, Domain merebahkan tubuhnya disofa depan.
"Hello my bro's," Jiraina memeluk sedikit kakak laki-lakinya. Pemuda itu memutar bola matanya malas, tak lama gadis itu melengang masuk ke kamar, "abang mau jadi zombie yang gak ada pacar." Jiraina menirukan jalannya seorang zombie dan tak lupa suaranya yang dibuat-buat. Domain menggeleng kepalanya tak heran dan terkekeh ringan melihat tingkah adiknya yang seperti itu, Jiraina hampir menabrak kaki meja, pemuda itu tertawa lepas karena melihat kesialan adiknya sendiri. "Abang ketawa lagi nanti di beanneth!!"
"Gak percaya." Domain semakin meledek adiknya. Pemuda itu masih terbahak akan apa yang diingatnya barusan, bagaimana tidak? Jiraina hampir terjatuh akan tetapi Domain tetap menyayanginya, karena hanya adik perempuannya yang bisa membuat laki-laki itu kembali.
Linggar menaruh tasnya lalu memandang langit kamarnya yang berwarna hitam, pemuda itu tersenyum saat ingat kejadian di kampus tadi, ah, rasanya ingin banget bilang langsung sama perempuan itu.
Linggar menatap pisau yang tergantung kemudian memandang dirinya di depan cermin seraya membenarkan rambutnya, anak rambut yang diturunkan agar terlihat lebih rapih, kemudian menutupi dahinya. Linggar langsung mengembalikan rambutnya, pemuda itu menghela panjang tak lama ia merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu memejamkan matanya. "Apa yang sedang gadis itu lakukan ya?" gumamnya pelan dan lalu tertidur.
Junior memanggil dengan keras hingga hampir kehabisan suara, pemuda yang masih nyaman di tempat tidurnya tak bergeming sama sekali, Linggar malah semakin nyaman. "Astaga!!! Abang!!! Bangun!!!" tendang Junior yang melihat kakak laki-lakinya tak mau bangun. Linggar merenggangkan tubuhnya kemudian yang mulai kebas karena baru saja mendapat perlakuan tidak baik dari adiknya, mereka berdua akhirnya bersiap untuk ke tempat praktik ujikom, akan ujian akhir semester. Junior mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh agar tak terlambat: dua pemuda itu bahkan tak pernah bertingkah di luar batas yang orang lain kira, keduanya berjalan ke arah gedung masing-masing bahkan masih pagi pun Bian sudah menyalurkan hobinya sebagai seorang mahasiswa.
Bian melihat mereka berdua langsung meninggalkan aktivitasnya dan melengos pergi dari teman-teman satu kelompoknya, "jangan lupa entar, dirumah gue. Ajak yang lain juga biar rame, eh, bilang sama Bianca gue nunggu dia." Setelah menyelesaikan tugasnya laki-laki itu berjalan mendekati dua temannya. Bianca mengamati ketiga laki-laki yang lagi berjalan seraya mengobrol, gadis itu berteriak memanggil nama lelakinya akan tetapi Bian tidak terlalu mendengar suaranya. Perempuan yang kini duduk di bawah pohon DPR ditemani alun gitar yang mengiringi nyanyiannya, semerdu itu suara Brisia saat melantunkan lagu yang perempuan itu sukai. Kedua perempuan itu menyanyikan lagu band kenamaan yang jelas bukan dangdut, Bianca dan Brisia asik memainkan gitar dan bernyanyi hingga tak sadar jika kelas sudah mulai namun belnya tidak berbunyi karena lagi rusak.