"Brisia," ucap laki-laki itu. "Gue harap lo mati dengan racun ini," lanjut pemuda yang memandang sebuah photo dan merobek photo perempuan yang ada di papan penanda, sang pemuda tersenyum licik lalu mengecup belatinya dengan penuh cinta. Jika pikirannya terbuka risiko yang dia dapat akan memperburuk situasinya kala itu, bahkan secara tidak sadar pemuda itu membuat polisi mengusut case ini lebih mudah. Yuandra Tamrin. Meski dirinya terlihat normal namuan siapa yang menyangka jika dalam tubuh pemuda itu ada jiwa pembunuh, pria itu bahkan tak pernah menghargai apa yang telah dirinya punya atau simpan, pikirannya hanya ada mati, mati dan mati. Yuandra tak pernah kapan dirinya terdesak dan terpaksa harus meminum obat yang dianjurkan oleh dokternya akan tetapi jiwa sadisnya tak akan pernah hilang meskipun dirinya memiliki kekasih atau pun seseorang yang berarti dalam hidupnya, relationship toctsik itu sudah dirinya jalani selama belasan tahun yang artinya pemuda itu sudah mendapatkan obat tersebut selama hidupnya.
Seharusnya Jiraina tak meninggalkannya tadi walau hanya ke kamar kecil, perempuan itu terus saja menyalahkan dirinya sendiri atas hilangnya Brisia dari ruang rawatnya bahkan Bianca sudah mengatakan menangis tak akan berguna jika tidak mencarinya. "Dahlah lo gak perlu sampe kaya gini, gak ada faedahnya elo tangisin kaya gini. Gak buat kita ketemu Brisia dengan mudahnya," tegur Bianca yang menatap sendu teman baiknya itu di belakang sana Linggar menghela pelan lalu melirik adiknya yang lagi berbicara sama polisi. Linggar melengos ke kamar mandi dan memandang pantulan dirinya dalam cermin, gerakan tangan yang spontan membuat Junior merasa agak curiga dengan aktivitas kakaknya di dalam sana. Pria yang kini berjalan ke arah kamar mandi itu mengetuk pintunya pelan, kecurigaannya bertambah saat Linggar tak memberikan suaranya; Junior hampir saja mendobrak pintu tersebut yang tak lama sesosok pria berwajah layaknya animasi hidup itu keluar dari tempat persembunyiannya, adiknya memberi peringatan keras agar sang kakak tak membuat dampak buruk yang akibat masalah nantinya.
"Bang jangan sampe Theo hadir lagi, cukup Cindy aja yang cowok itu bunuh." Linggar menatap manik adiknya penuh harapan lalu memukul pelan lengan Junior sambil terkekeh. "Gue mohon sama lo untuk gak buat masalah lagi," sambung pemuda di depannya. Linggar tak mau adiknya malah kerepotan atas apa yang diperbuatnya dan menambah beban Jiraina, padahal keduanya belum menjalin kedekatan akan tetapi pikirannya mengarah ke arah sana, Jiraina sendiri masih terpaku pada peristiwa ini. Perempuan itu tak tau jika ia bisa selalai itu terhadap temannya yang nyatanya Brisia selalu menjaganya dengan baik ketika sakit, Jiraina menjadi bulan-bulanan orang sekampus karena pemberitaan ini sangat cepat menyebar, entah siapa yang sebarkan. Papan buletin kampus penuh dengan namanya dan Brisia yang mereka sangka keduanya memiliki perseteruan sampai pada akhirnya Brisia memilih pergi.
Bianca menatap nyalang teman sekampusnya yang memandang bengis Jiraina, "eh Ca, kok masih betah sama Jira sih? Entar ilang kaya Sia lho," cibir salah satu dari mereka, Jiraina kepalang malu karena masalah yang terjadi, di belakangnya ada Yuandra yang sedang melintas lalu pemuda tersebut melirik perempuan yang lagi dicemooh itu, pemuda ini sudah pasti tau di mana Brisia karena gadis itu bersamanya. Yuandra mengulum bibirnya dalam dan menyeringai sedikit, depan sekre pemimpin futsal itu menghentikan langkahnya lalu bersedekap kedua tangannya di depan dada seraya menghela kesal, mendadak moodnya jelek. Linggar bahkan tak mengatakan apa pun dan pergi begitu saja; pemuda yang menatap punggung pria lain tersebut hanya memikirkan cara agar dirinya tak diketahui sebagai pelaku sebenarnya dalam dalang hilangnya Brisia.
Yuandra bahkan belum membunuh perempuan tersebut dan menyaderanya di tempat yang aman, hilangnya perempuan tersebut membuat Jiraina dibully satu kampus. Jiraina duduk bersandar pada punggung lelaki yang menjadi teman sebangkunya, bukan berarti gadis itu tak memikirkan jualannya hanya saja perempuan itu sedang direpotkan oleh banyak hal. Terlebih lagi Brisia tak tau di mana keberadaan teman perempuannya namun akan tetapi; sang kakak dapat membantu melacak lokasi wanita itu.
Tak jauh dari kampus ada seorang perempuan tengah berlari dengan kakinya terpincang-pincang mencoba melarikan diri dari para pasukan Yuandra, "gue harus telpon polisi, please ... please jangan habis baterai," gumam perempuan itu yang berharap mendapatkan pertolongan, ketika sebuah tangan besar mencekal lengannya perempuan tersebut kaget dan menoleh cepat Brisia kembali berjalan mundur lalu berteriak. "Tolong!!!" teriak Brisia yang terjebak tanpa adanya orang berlalu lalang.
"Bawa dia," titah salah satu dari mereka. Pada saat Brisia kembali pingsan orang itu menghubungi Yuandra dan mengabarkan berita hari ini, lelaki yang tengah berlatih futsal tersebut meremukan botol soda beling di tangannya, dan itu dilihat oleh teman satu teamnya. Yuandra melirik sekilas kemudian melengos agak sedikit menjauh, pemuda itu memberi perintah akan tetapi satu perintahnya tersebut di dengar oleh Linggar yang menyadarkan tubuhnya di balik pilar, seusai laki-laki itu menelpon: Linggar langsung menunjukkan dirinya.
"Lo nguping?" sinis Yuandra yang menatap bengis Linggar. Linggar diam saja memandang wajah Yuandra yang sedang meremehkannya, jauh di lubuk hatinya pria itu tengah bergelut dengan dirinya yang lain, bahkan Linggar tak mengizinkan Yuandra mendekati teman-temannya. Pria yang masih tak bergeming itu terus mengingat pesan adiknya agar tak mencari masalah dengan lingkung baru mereka, bagi Linggar keselamatan orang terdekatnya yang paling penting.
"Gue gak nguping," ucap lelaki itu setelah sekian lama diam. "Elo dicariin sama Prof. Rosma," Yuandra menautkan alisnya bingung lalu melengang pergi dari hadapannya, sesak di dadanya bertambah dikala memori kematian Cindy terputar begitu saja di dalam kepalanya; waktunya sangat lama bagi pemuda itu untuk mengobati seluruh lukanya apalagi banyak yang terjadi selepas ia tak dapat mengendalikan dirinya. Linggar menekan dadanya kemudian melangkah tanpa arah dari yang terlihat lelaki ini tak mau menunjukkan pesakitannya termasuk adiknya juga, bahkan ketika berjalan ke arah yang berlawanan pada gedung prodinya sendiri Linggar tidak bisa untuk tak menunjukkan wajahnya yang dingin pada perempuan, itu memunculkan kecurigaan pada orang-orang.
Tuk. Tuk. Tuk. Suara pintu yang terketuk oleh seorang perempuan, wanita itu tersenyum dan menampilkan deretan giginya yang rapih. "Cara Tuhan mempertemukan kita itu lucu bukan?" Jiraina mengerutkan keningnya tak mengerti akan apa yang dikatakan perempuan di depannya bahkan ketika perempuan tersebut duduk, masih menguntai teka-teki yang tidak bisa Jiraina pahami sama sekali meski dirinya begitu tau apa yang tersirat dari kata tersebut. "Lo jatuh pada orang yang salah, satu orang dengan dua sifat yang beda. Bisa lo terima emang?" sambungnya begitu dan semakin membuat kerutan di dahi Jiraina tercipta begitu jelasnya.
"Apa sih! Kok tijel!" gerutunya sebal karena tidak mendapatkan jawaban dari perempuan yang kini telah berlalu. Sudah hampir satu minggu Brisia tidak menemani mereka berdua rasanya sangat kosong tanpa kehadiran temannya yang satu itu, tak ada kabar bukan Brisia sekali. Perempuan itu akan tepat waktu jika mengenai mata kuliahnya tak heran jika wanita berambut coklat itu memiliki ke geniusan yang luar biasa tidak masuk akal, perempuan tersebut masih belum menemukan titik terang, sebuah suara melengking dari atas lantai dua.