Mobil putih berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Dibalik mobil itu keluar seorang gadis cantik dengan seragam putih abu-abu, mengenakan bandana baby pink yang menghiasi rambutnya.
"Pagi tuan putri," sapa Devika padanya.
"Gue selepet juga lo ya!" balas Elea.
"Wah si Fiona pagi bener udah di sekolah aja lo ya," ucap Elea.
"Iya dong El, emangnya kayak lo harus diantar dulu."
"Astaga, jangan kayak gitu dong. Gue juga enggak mau dianter jemput mulu sama sopir. Tapi ya gimana papa gue maksa."
"Lo lagi ngeluh apa pamer sih?"
"Enak ya jadi lo, Fi. Bisa kemana aja sesuka lo. Enggak ribet diantar jemput kemana-mana dianter sopir," keluh Elea.
Fiona hening tidak berkomentar sedikit pun.
"Enak jadi seorang Fiona?" gumamnya pelan. Ia lalu tersenyum miris.
Teman-temannya belum tahu saja bagaimana perlakuan ayah pada dirinya yang tidak adil.
Wajar. Mereka hanyalah penonton dan tidak tahu bagaimana sebenarnya kejadian dibalik layar.
Sama persis tapi diperlakukan jauh
berbeda dari ayah sendiri. Dan tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menuruti kemauan sang ayah.
"Kembaran lo-"
"Shuuuut!" ucap Fiona memangkas Elea yang belum selesai.
"Please jangan pernah cerita apapun tentang gue sama Fania apalagi di sekolah.Tolong banget jangan sampai ada yang tahu, ya? please...," pinta Fiona.
"Emang kenapa sih, Fi?"
"Nggak ada alasan khusus kok. Cuman emang itu sudah kesepakatan kita berdua aja."
"Yakin, Fi?"
"Hmm," gumam Fiona.
"Gue serius loh. Kalau lo mau cerita, cerita aja lagi."
"Iya, sumpah enggak ada apa-apa," kata Fiona meyakinkan kedua sahabatnya.
***
Para siswa sedang berkumpul di depan majalah dinding kelas untuk melihat nilai matematika. Tiga hari yang lalu guru matematika memberi kuis dadakan di kelas.
Firda dan kedua temannya menghampiri Fiona dengan sombongnya.
"Kok bisa sih, cewek idiot kayak lo tuh enggak remedial matematika?" tanyanya sinis.
Fiona yang mendengar hal itu hanya menatap malas.
"Lo nyontek kan? atau lo ngerayu guru matematika?" tuduhnya merembet kemana-mana.
"Makanya kacamata tuh dipakai buat lihatin soal, belajar! Bukan buat lihatin hidup orang yang kelihatan lebih bahagia dari lo! Sirik mulu jadi orang," sahut Devika kesal.
"Lo kenapa, In?" tanya Fiona pada Indri─teman dekat Firda─ yang nampak bingung.
"Enggak. Gue cuman bingung aja, Fi. Jadi yang sebenarnya idiot tuh lo atau Firda sih?" tanyanya serius.
Membuat El, Devika dan Fiona tertawa geli. Julukannya adalah Indri lola karena begitu lamban menanggapi apa-apa yang orang lain sedang bicarakan.
Firda keluar kelas seraya menghentakan kakinya dengan kesal.
Dalih-dalih mempermalukan Fiona, ia justru hampir mempermalukan diri sendiri didepan lawan.
Firda adalah gadis berkacamata juara kelas. Sejak sekolah menengah pertama, belum ada siswa yang berhasil merebut peringkat pertama darinya. Jadi sangat wajar dia tidak terima atas prestasi Fiona ─yang terkenal karena tomboinya.
Begitupun guru matematika yang tidak menyangka atas nilai Fiona.
"Ternyata cewek kayak kamu bisa berprestasi juga ya, Fi?"
"Saya cuman tomboi, Pak. Enggak semua cewek tomboi adalah pembuat onar!" sahut Fiona yang berakhir membuat keheningan dalam kelas.
Mungkin lebih tepatnya mereka terkejut karena untuk pertama kalinya Fiona membela diri.
"Oh iya, Bapak hampir saja lupa. Sebelum melanjutkan kelas hari ini kita kedatangan siswa baru pindahan dari pulau Kalimantan," ucapnya seraya memberi isyarat tangan didepan pintu kelas yang terbuka. Erik.
Masuklah seorang laki-laki tinggi yang memiliki warna kulit cukup cerah. Terlihat culun karena kacamata bulat yang dikenakannya membuat tampannya sedikit berkurang.
"Silakan kamu perkenalkan diri kamu, Nak."
"Hai, saya Erik salam kenal semuanya,"
ucapnya canggung.
"Baik, Erik. Kamu bisa duduk di kursi kosong. Oh,itu di samping Fiona kosong," sambung Pak Adhi.
Fiona memberi senyum dengan ramah.
"Gue Fiona."
"Aku Erik," balasnya.
"Santai aja, Rik. Kalau lo ada perlu atau kalau butuh bantuan gue, ngomong aja sama gue, ya? enggak usah segan sama gue," tawar Fiona.
"Makasih, Fi," balasnya singkat. Entah menerima tawaran atau sekadar basa-basi saja.
Kelas berjalan seperti biasa. Matematika yang membuat sebagian besar siswa sakit kepala. Hanya beberapa yang nampak antusias. Termasuk Fiona, ia nampak begitu bersemangat. Terlebih setelah mendapat nilai tertinggi di kelasnya.
"Gue enggak sabar mau pamer ini ke Fania," gumam Fiona.
***
Bel berbunyi membuat wajah para siswa semringah. Jam istirahat dimulai.
Fiona, Elea dan Devika menghabiskan waktu di kantin seperti biasanya.
"Aku boleh gabung, enggak?" tanya Erik.
"Boleh dong, why not!" ramah Fiona.
"Duduk aja kalik, Rik," sambung Elea.
Mereka masih duduk di sana padahal semangkuk bakso telah habis mereka lahap.
"Eh, lo Kalimantan kan, Rik?"
"Iya, aku Kalimantan Timur."
"Enggak usah kaku gitu. Lo kalau ngomong lo-gue aja sama kita mah atau sama yang lain juga gitu. Kalau lo aku-kamu gitu mulu nanti kita dikira pacaran loh," terang Fiona.
"h-haa? pacaran?"
"Lo kapan pindah ke sini?"
"Baru dua minggu yang lalu kok."
"Karena?"
"Ikut orang tua aja."
"Di Kalimantan tuh-," tanya Devika yang terhenti.
"Banyak tanya lo ya, Dev! Cocok jadi mbak mbak lampu merah," ledek Fiona.
"Maksud lo, gue pengamen lampu
merah?"
"Gue enggak bilang gitu sih!" jawab Fiona seraya menarik paksa tangan Erik.
"Gue tahu lo nggak nyaman. Sorry ya? Sebenarnya teman-teman gue pada baik kok anaknya. Cuman sedikit bawel aja," ucap Fiona sambil berjalan menuju kelas.
"Yaudah, gue duluan ya? bye, Rik!" lanjut Fiona.
***
Pelajaran selanjutnya sebentar lagi akan dimulai. Fiona melanjutkan komik yang belum selesai dibacanya kemarin.
Sementara Elea dan Devika sedang asik mengobrol. Fiona tidak mendengarkan, karena fokusnya tertuju pada komik di tangannya saat ini.
Ervin berdiri di samping kursi Elea.
"Kenapa lo, Vin?" tanya Elea.
"Lo enggak mau Say Something gitu sama gue?"
"Contohnya?"
"Matematika kalik pakai contoh segala!"
"Yaudah, kalau gitu enggak ada."
"Kok lo gitu sih? Seenggaknya bilang
makasih kek apa kek gitu, gue udah susah payah loh nyari cokelat favorit lo!"
"Apaan, enggak ada ya lo ngasih gue cokelat."
"Gue tadi pagi taruh di meja lo, masa nggak ada?"
"Enggak ada, Vin."
Saat Ervin mencari-cari hingga ke dalam laci meja Elea, dia tersadar.
"Woy, Fioooo!" teriak Ervin.
"Hmm," gumam Fiona santai.
"Lo makan cokelat siapa?"
"Enggak tahu. Tadi pagi ada di meja Elea ya udah gue makan aja."
"Kenapa lo enggak bilang sama Elea?"
"Siapa tahu itu dari cowok-cowok yang deketin El. Lagian dia juga enggak nanya apa-apa sama gue."
"Ya terus?"
"Kalau lo terus, enggak apa-apa, Vin, terus aja. Siapa tahu lo nemu jalan yang lurus," canda Fiona.
Ervin menarik napas kesal.
"Gue kalau kesel suka makan orang loh, Fi!"
"Gue enggak nanya," balas Fiona santai lalu meneruskan membaca komik.
Sama sekali tidak peduli pada Ervin.