Setibanya di rumah, Fiona berniat langsung beristirahat karena lelah setelah perjalanan yang cukup panjang. Belum lagi dirinya memang tidak tidur sama sekali selama diperjalanan. Namun rupanya ibu sedang menyiapkan makan siang. Mau tidak mau dia membantu sebelum ayah mengomelinya lagi.
"Yang kemarin aja udah bikin hubungan gue sama ayah semakin parah. Apalagi sekarang. Udahlah sabarin aja," ucap Fiona menghela napas.
"Fio nggak usah cuci piring, Nak. Biar Mama saja. Pasti masih capek kan?" tanya Bu Rani.
"Nggak apa-apa kok Ma. Nanti setelah cuci piring kan Fiona bisa istirahat," tutur Fiona lanjut membereskan pekerjaan rumah.
Mata Fiona melirik kesana-kemari seperti sedang mencari sesuatu.
"Kamu nyari Fania ya? Fania tadi izin sama ayah katanya mau ngerayain ulang tahun temennya di kafe," jelas ibu.
"Fania lulus ujian Fisika kemarin lusa. Jadi dia bakalan ikut Olimpiade Fisika," jelas Bu Rani lagi.
"Kapan ujiannya, Ma? kok Fio nggak tahu ya?" tanya Fiona.
"Udah lumayan lama kok. Makanya kemarin dia sempat setres. Dan soal kasih tahu kamu, mungkin aja Fania lupa. Jadi dia bakal jarang bantuin di rumah," ujar Bu Rani membuat Fiona berdecih.
"Kayak pernah bantu di rumah aja," sindir Fiona pedas.
Sebenarnya dia tulus membantu di rumah, tapi bukanlah terlalu tidak adil? mereka kembar tapi hanya Fiona yang terus membantu di rumah.
***
Keesokan harinya Fiona berangkat sekolah seperti biasa. Ada yang berbeda dari Elea pagi itu. Dia nampak lebih murung dari biasanya.
"Elea kenapa ya, Dev? dari pagi dikit-dikit menghela napas mulu. Jangan-jangan jantungnya?" kata Fiona menduga-menduga.
"Emang lo nggak tahu ya kalau kemarin El ditembak sama Ervin. Tapi dia tolak," jelas Devika.
"Maksud lo karena Alvin?" tanya lagi Fiona.
"Hmm," gumam Devika.
"Alvin siapa maksud lo?" tiba-tiba saja suara Ervin muncul disela obrolan mereka.
Fiona dan Devika saling pandang hanya gagu tidak bisa menjawab meski hanya sepatah katapun.
"Oke. Kalau lo berdua nggak mau ngasih tahu gue. Biar gue sendiri yang bakalan tanya ke El secara langsung," ancam Ervin.
"Jangan!!" teriak Fiona dan Devika serentak saat Ervin berbalik arah.
"Tolong lo jangan bersikap kayak gini sama El. Gue takut dia tertekan. Dia nggak boleh setress nanti dia masuk rumah sakit kayak kemarin lagi!" ucap Devika panik.
"Dev, kok lo kasih tahu!" bisik Fiona.
"Masuk rumah sakit? kapan? kok El nggak pernah kasih tahu gue," tanya Ervin dengan wajah kebingungan.
Devika berkali-kali menampar mulutnya yang keceplosan.
"Please jangan paksa dia lagi, Er. El udah dijodohin sama orang tuanya. Dia udah setuju. Gue takut kondisinya tambah parah," tambah Fiona.
"Fio... Devi..." ucap Elea yang muncul dari arah kantin.
"E-el..."
"Sorry El. Lo jangan marah ke mereka. Tadi gue yang paksa ke mereka buat jujur. Tapi, gue masih nggak ngerti. Bisa lo jelasin sama gue sekarang nggak? Kenapa lo ke rumah sakit? dan ada hubungan apa lo sama Alvin?" cecar Ervin.
Elea tersenyum.
"Mungkin memang sekarang udah saatnya lo tahu. Kalau gue... sakit jantung. Orang tua gue ngejodohin gue sama teman main gue dari kecil. Yang memang sudah lama suka sama gue," jujur Elea.
Bagi kedua orang tua Elea, hanya Alvin satu-satunya laki-laki yang tulus berada di sisinya selama ini. Terlebih lagi, mereka sudah cukup lama mengenal Alvin.
"Jangan bilang. Alvin yang lo maksud itu adalah Alvin Mahendra, sepupu gue?" tanya kembali Ervin.
"Hmm," jawab Elea menundukan kepala menitikan air matanya.
"Jadi ini alasannya kenapa lo nolak gue semalam ya, El?" tanyanya mulai melunak.
Elea tidak mengangkat kepalanya sedikit pun.
"Yaudah, nggak apa-apa. Lo harus janji bakal selalu sehat ya, El?" ujarnya lagi memusut kepala Elea.
"Kok lo nggak marah sama gue?" tanya
Elea mengangkat wajahnya.
"Itu kan pilihan lo, El. Jadi ya nggak apa-apa. Dan mulai sekarang, kalau ada apa-apa lo jangan sungkan buat cerita sama gue. Oke?" pinta Ervin.
"Hmm," gumam Elea seraya menganggukan kepala.
"So sweet amat. Gue kapan ya bisa kayak gitu?" bisik Devika pada Fiona.
"Gue disini niatnya buat jagain El, siapa tahu Ervin bikin dia tertekan. Eh, ini malah berasa banget gue jonesnya!" sahut Fiona berbisik.
***
"Cieee... anak mama sebentar lagi pada ulang tahun nih."
"Masih lama tahu, ma. Masih tujuh hari lagi," sahut Fiona.
"Emang tujuh hari lama ya?" balas Fania.
"Lamalah.Kalau besok baru cepet kalik, Fan.'
"Padahal angkanya cuma satu loh. Kecuali angkanya dua noh baru. Kayak sebelas gituloh, Fi."
"Apaan sih, Fan? ribeeut.. amat lo!"
"Gue? ribet? Lo lupa ngaca apa gimana sih, Fan? gue siap-siap sekolah dua puluh menit juga jadi. Emangnya lo? tujuh purnama baru kelar!"
"Yaelah, tapi kan gue rapi, cakep. Dua puluh menit lo kan beda hasil sama gue. Usaha nggak akan mengecewakan hasil, Fi, catet!"
"Heh! sekolah tuh buat belajar bukan ajang pencarian primadona!"
"Sirik aja sih lo, Fi!"
"Stop! kalian mau berdebat sampai kapan? duh gusti," ucap Bu Rani seraya memijit pelipisnya.
"Maaf, Ma. Fania lupa. he he."
"Maafin Fio juga ya, Ma. Kita lupa kalau lagi debat. Tapi kita saling sayang kok, he he," ujar Fiona memeluk Fania yang tak terbalas.
"Yaudah, jadi kalian mau dirayain gimana? kita tumpengan kayak biasa aja, gimana menurut kalian?" tanya ibunya.
"Fiona manut mama aja deh. Yang penting nggak ngeberatin mama. Kasihan kan kerjaan mama udah banyak."
"Yaelah, Fi. Masa nggak dirayain nggak asik banget sih!" keluh Fania.
"Oh yaudah, rayain aja. Tapi setelah
beres, lo harus beresin semua pekerjaan rumah. Mau lo?"
"Kok lo gitu sih? perhitungan amat sama saudara sendiri."
"Perhitungan dari Hongkong! Lo tuh cuma tahu enaknya doang, yang beresin siapa? Gue sama mama!" omel Fiona.
Lagi. Fania tidak bisa berkutik.
"Astaghfirullah! sudahlah kalian sama sekali nggak ngasih mama solusi. Yang ada kepala mama makin pening dengar kalian berdebat!" ujar Bu Rani keluar dari kamar anak kembarnya.
***
Pagi itu Fiona berangkat sekolah lebih awal, entah apa tujuannya.
"Hai, Fi! pagi amat udah siap," sapa Devika.
"Hmm. Dev, lo kemana dulu kek gitu. Itu si Firda kayaknya ada yang mau diomongin sama gue," ujar Fiona yang terus mempertikan Firda yang menatapnya begitu tajam dari depan kelas.
"Ngapain lo pakai acara ngadu segala ke guru kalau gue yang muter balik arah panah kamping kemarin?" tanya Firda.
"Apa lo bilang?! Oh, jadi rupanya lo ya yang ngerjain gue. Punya salah apasih gue sama lo, Fir?"
"Halah, nggak usah pura-pura nggak tahu. Salah lo banyak! salah satunya adalah lo udah ngerebut Yoseph dari gue!" bentak Firda.
"Asal lo tahu ya, gue sama Yoseph nggak ada hubungan apapun. We just friends, lagian apa yang lo cemburuin sih dari gue, Fir?"
"Gue nggak cemburu tuh," ucap Firda berdecih.
"Oh, bagus. Berarti gue bisa deketin Yoseph dong, bye!" ujar Fiona berlaku meninggalkan Firda yang sedang berdecak kesal.