Tiga hari setelah rawat inap di rumah sakit, akhirnya Elea kembali sekolah seperti biasanya.
Seperti biasa, Elea diantar oleh sopir yang bekerja di rumahnya.
"Yaiy! tuan putri kita udah sekolah seperti biasa. Oh my god! gue kangen banget sama lo tahu nggak," sapa Devika antusias.
Elea tersenyum lebar melihat tingkah kedua sahabatnya yang menggemaskan. Meski Fiona tidak berkata sepatah katapun tetapi ia tahu senyuman yang diberi olehnya itu sudah menjelaskan betapa bahagianya Fiona.
"Lo sakit apa, El? kok chat dari gue nggak satupun lo bales sih, El?" cecar Ervin tiba-tiba muncul.
"Lo nggak tahu kalau El itu sa...," ucapan Devika terpotong saat Elea mencekal tangannya.
"Nggak, gue cuma kecapean aja kok, Er. Makanya tiga hari kemarin gue istirahat total," jelas Elea.
"Yaudah, kita duluan ke kelas ya, Er. Sampai ketemu di kelas, bye!" ucap Fiona menyadari bahwa Elea sedang
merasa tidak nyaman.
Elea menarik kedua sahabatnya ke ruang kelas yang masih sedikit sepi.
"Kenapa Ervin nggak boleh tahu tentang penyakit lo?" tanya Fiona penasaran.
"Gue minta tolong. Please banget jangan kasih tahu apapun tentang penyakit gue ke dia. Gue nggak mau dia kasihan sama gue," pinta Elea.
"Dia itu nggak kasihan sama lo dia itu...,"
Belum Fiona selesai bicara, Elea langsung memangkasnya.
"Care? sayang? terus calon tunangan gue mau dikemanain, Fi?" tanya Elea seraya menatap tajam Fiona.
"Lo seserius itu ya sama Alvin? terus kenapa lo ngasih harapan ke Ervin?" tanya Fiona mencoba mengerti jalan pikiran Elea.
"Alvin tuh temen main gue dari kecil. Dia lebih ngerti gue dari siapapun, Fi. Gue juga lebih nyaman sama dia. Gue punya perasaan sama Ervin, tapi gue nggak mau ngebebanin dia," jelas Elea dengan mata berkaca-kaca.
"Yaudah, kalau emang itu yang lo pilih. Kita selalu dukung kok. Tapi lo harus pastiin diri lo bahagia ya, El?" ucap Devika seraya mengusap air mata Elea yang mulai menetes.
"Hmm," gumam Elea.
"Wait! bukannya Alvin itu saudara sepupunya Ervin ya? gue baru inget, Ervin pernah post fotonya sama Alvin waktu mereka liburan bareng," tutur Fiona.
"Iya. Itu yang bikin gue sakit," jelas Elea menitikan air mata lagi.
Jika harus disuruh memilih, jelas dia lebih memilih Ervin ─cowok yang dia suka. Namun, jika dia melakukan hal itu bundanya pasti akan kecewa. Lagi pula, Alvin tidak seburuk itu.
Meskipun begitu, Elea masih belum siap menyakiti hati Ervin dengan memberi tahu bagaimana hubungan dirinya dan Alvin. Dia belum siap.
***
Sore itu Fiona dan Devika berjanji untuk menonton pertandingan sepak bola antar SMA.
"Ervin, Yoseph, sama Fandi satu team? wah, bakalan seru banget deh, Fi!" seru Devika antusias.
"Ya buat lo kan, kalau para cogan terkumpul dalam satu waktu itu kenikmatan yang sayang buat dilewatin. Ngaku deh!" sindir Fiona.
Devika terkekeh membenarkan pernyataan Fiona.
"Lo kan tomboi, Fi. Gue mau tanya dong, finalti artinya apaan sih?" tanya Devika ragu.
"Ya gue kan cuma tomboi, Dev. Bukan lakik, gue nggak tahu tentang apa yang semua cowok suka. Gue juga nggak ngerti sepak bola, nggak suka gue. "
"Kalau sama Yos. Lo suka nggak?" tanya Devika yang hampir menyembur air mineral.
"Hampir gue keselek. Astaga! pertanyaan lo," sahut Fiona menatap dengan sinis.
"Kok lo kesel sih, Fi? kan gue cuma tanya."
"Terserah, Dev. Terserah!" sahut Fiona mengalah.
Saat mereka bertiga istirahat, para gadis itu menghampiri team sepak bola.
"Hai, Fan, Yos, Er... " sapa Devika.
Devika menyodorkan tiga botol air mineral ukuran tanggung.
"Buat gue mana, Dev? kok cuma mereka yang dikasih? pilih kasih amat," gerutu Fiona seraya memanyunkan bibir.
"Kan lo nggak olahraga, Jamal! nggak usah banyak protes deh."
"Kan gue juga capek tadi tepuk tangan, bersorak ria buat lo. Seret nih tenggorokan gue," ujar Fiona masih belum mengalah.
"Nih, gue ada air mineral dingin. Lo mau nggak?" tawar Fandi seraya menyodorkan air mineral beserta sedotan.
"Thankyou, Fandi yang jomblonya kelamaaan," ledek Fiona.
"Haduh, parah sih! seru banget ya nonton sinetron si monyet cantik yang...kembar!" seru Fandi dengan senyum smirknya.
Fiona terperanjat membelalakan kedua matanya. Menghela napas mencoba menenangkan diri dari emosi.
"Sialan, bisa-bisanya dia ngancem gue disaat kayak gini!" gumam Fiona menatap tajam Fandi.
Sementara Yoseph berdecak kesal melihat kedekatan mereka berdua. Jika dia yang mendekati, Fiona seolah acuh tapi kenapa dia menjadi sedekat ini. Harga dirinya sebagai cowok tertampan sekaligus cowok yang terkenal menolak cewek rasanya hampir rusak.
"Lo sedekat itu ya sama Fandi, Fi?" gumam Yoseph pelan.
"Kenapa lo? tarik napas gitu, Yos?" tanya Ervin yang mendengar helaan napas dari Yoseph.
"Hmm? gue? ng-nggak. Nggak kenapa-kenapa kok, cuma pingin aja," jelas Yoseph mencari alasan.
"Fi! bentar lagi ada kamping loh. Lo ikutan kan? temenin gue beli aksesoris yuk?" ajak Devika.
"Kamping pramuka kan? bukan fashion show. Ngapain beli aksesoris," gerutu Fiona.
Devika menaikan bibir kirinya sinis,
"Ikut aja kenapa sih, bawel amat! Gue mau beli aksesoris couple. Please ya?" mohon Devika menyatukan kedua tangannya di depan dada.
"Iya tap-"
Belum Fiona selesai bicara, Devika langsung kegirangan sendiri.
Tanpa menunggu lebih lama, sore itu juga mereka menuju toko Aksesoris.
Fiona dan Devika memasuki salah satu Toko Aksesoris pinggir jalan.
"Kenapa tarik napas gitu, Dev? ngeluh mulu hidup lo," tanya Fiona sambil terus melihat-lihat aksesoris.
"Kenapa enggak belanja di mall aja sih, Fi? biar nggak capek bolak-balik toko di pinggir jalan kayak gini!" keluh Devika.
"Mahal! lo kan mau couple sama gue jadi harus sesuai sama kantong gue. Daan...," ucap Fiona membungkam mulut Devika yang baru saja ingin berbicara.
"Gue nggak mau ditraktir. Gue bisa beli pakai uang gue sendiri, titik!" imbuh Fiona.
"Hmm. Kayaknya ekonomi lo membaik deh sekarang soalnya kan lo pindah kontrakan. Ya kan?"
"Yang ekonominya membaik tuh, orang tua gue bukan gue!" sahut Fiona.
"Oh, ada yang ekonominya membaik nih. Congrats ya sistur!" senyum Firda sinis yang tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka.
Fiona menghela napas mencoba tidak terpancing emosi. Sepertinya gadis satu ini akan menjadi PR lagi baginya, belum lagi saat dia tahu Yoseph memberikan air mineral beberapa waktu lalu.
"Apaan lagi sih, nih makhluk astral!" gumam Fiona.
"Lo udah berasa jadi ratu ya di sekolah? jangan ngimpi deh! mentang-mentang nilai kuis lo kemarin dipuji guru, deket sama Yoseph, punya temen-temen kayak raya. Berasa banget sist jadi ratunya?" sindir Firda.
Kaki Devika ingin melangkah maju namun tangan Fiona menahannya.
Fiona tertawa sinis.
"Fir, Kenapa? cemburu sama gue? gue sama Yoseph tuh nggak ada hubungan apa-apa lagi. Gue nggak akan ambil dia dari lo kok, jadi lo tenang aja. Yoseph, Ervin atau temen-temen cowok yang
lain itu cuma temen buat gue dan nggak lebih," jelas Fiona tersenyum.
"Cemburu tuh arti insecure sih," sahut Devika sinis lalu berlalu menyusuli Fiona.
"Sialan, berani-beraninya dia jawab gue kayak gini!" ujar Firda menghempaskan tangan seraya menatap punggung Fiona sinis.
Mungkin rencana-rencana licik tengah terancang dalam otaknya. Mungkin dengan membuat Fiona tidak tenang di sekolah. Apa saja akan dia lakukan, asal Yoseph tidak dekat lagi dengan gadis tomboi itu.
Firda menghampir Fiona dan Devika di meja kasir.
"Eh lo denger ya! gue nggak pernah cemburu apalagi insecure sama lo. Gue udah menang dari awal!" ujar Firda tidak mau kalah.
Fiona menghela napas.
"Oke gue percaya," singkat Fiona.
Namun, bukannya tenang justru hal itu membuatnya semakin ingin mengamuk. Baginya, itu berarti gadis yang tidak seberapa ini mengajak perang.
"Emang lo kira Yoseph tuh piala bisa direbutin segala. Menang-kalah ceunah!" sinis Devika.
"Udah, Dev!" bisik Fiona.
Firda semakin menggeram.
"Totalnya lima puruh ribu, mbak," ucap kasir toko.
"Saya bayar dua ratus ribu tapi itu buat saya ya, mba!" titah Firda.
"Apaan sih, lo! norak banget tahu
nggak!" seru Devika menatap Firda tajam.
Tiba-tiba saja ada laki-laki yang muncul di belakang mereka.
"Saya bayar lima ratus ribu, Mbak!" ucap Yoseph menatap Firda sinis.
"Yo-yoseph?" ucap Firda terkejut.
Kini bertambahlah rasa malunya saat bertemu Yoseph.