Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

HARAPAN..

🇮🇩Pricilia_Kartika_
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.3k
Views
Synopsis
Sejak kepergian sang ibu, Ayah Devan sering bersikap dingin pada Devan dan lebih perhatian dengan anak tirinya, Arvin yang membuat Devan merasa cemburu. Karena cemburu yang begitu besar, Devan akhirnya menjadi sakit hati dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Note: cerita ini hanya fiksi

Table of contents

Latest Update1
Harapan2 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Harapan

Bramasta adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggal di rumah yang besar dan halaman yang luas. Halamannya ada beberapa tanaman seperti bunga mawar yang berwarna-warni, bunga anggrek bulan, dan bunga kertas, serta pohon yang rindang membuat udara terasa sejuk. Rumahnya yang besar dan megah itu begitu indah bagaikan istana.

Walaupun memiliki paras wajah yang tampan dan memiliki harta yang melimpah, tidak pernah membuat Devan merasa sombong atau puas. Dia bahkan lebih merasa depresi karena kekurangan kasih sayang orang tuanya setelah ibunya meninggal.

Keesokan paginya, Devan pergi ke ruang makan. Di sana dia melihat keluarganya sedang makan bersama.

Dia duduk di kursi sambil memakan makan makanannya tanpa mengucapkannya sepatah katapun pada keluarganya. Arya hanya diam, dia sudah terbiasa dengan sikap Devan yang seperti ini.

Arya memandangi Arvin.

"Nak, ini buat kamu," katanya sambil memberikan sejumlah uang pada Arvin. Arvin memandangi uang tersebut dengan heran.

"Buat apa Pa?"

"Ya buat biaya pengobatan kamu. Papa ingin kamu cepet sembuh." Arvin pernah mengalami kecelakaan mobil beberapa hari yang lalu dan itu membuatnya patah tulang.

"Tapi Arvin kan lukanya gak terlalu parah pa," tolaknya.

Arya menggeleng.

"Udah, jangan tolak. Kan kamu anak papa, jadi papa juga berhak ngasi apa aja ke kamu, papa cuma ingin kamu sembuh," ujar Arya. Arvin hanya diam dan tersenyum.

"Ya udah kalau itu mau papa, makasih ya pa.." ucapnya.

Selesai sarapan, Devan pergi ke kamarnya, dan dia ingin membeli buku, namun uangnya habis. Dia pun pergi menemui Arya di kamarnya.

"Pa, Devan boleh gak minta uang?" pintanya.

Arya hanya diam dan menatap komputernya.

"Buat apa? Bukannya kemarin sudah papa berikan? Kok minta lagi? Emang boros ya kamu ini," ujarnya.

Devan menunduk.

"Maaf Pa..Devan serius pingin beli buku, gak lebih."

Arya mengambil dompetnya dan melihat uang disakunya. Ternyata uangnya juga habis.

"Uang Papa juga habis Dev. Coba kamu minta ke mama." Devan hanya diam.

"Ya Pa." Devan lalu pergi meninggalkan Arya dan pergi ke kamarnya. Dia tidak ingin menemui ibunya walaupun dia sedang mengalami masalah.

Di kamar, Devan hanya diam dan menunduk. Dia heran dengan ayahnya itu. Seakan-akan ayahnya itu tidak pernah peduli padanya dan lebih memanjakan adik tirinya itu, bukan hanya sekali ini saja, tapi sejak beberapa tahun yang lalu, semenjak ibu Devan meninggal.

Devan memegangi bingkai foto ibunya sambil tersenyum. Tidak terasa air matanya mengalir saat mengenang kenangan ibunya dulu sebelum dia pergi untuk selamanya.

Tiba-tiba, sebuah bayangan datang ke dalam benaknya. Bayangan yang selama ini ia berusaha melupakannya sekarang malah menghantuinya.

#flashback_on

10 tahun yang lalu...

Devan sedang berusaha mengejar layangannya yang putus itu dengan berlari, namun tanpa disengaja kakinya tersenggol batu dan terpleset.

Devan melihat lututnya berdarah itupun merasa takut dan sakit. Dia menangis sambil melihat lututnya yang lecet tersebut.

"Auch, sakit.." rengeknya. Ilma yang mendengar tangisan Devan datang menghampirinya dan berusaha mengobati luka Devan. Devan hanya diam dan menangis.

"Sabar ya sayang, ini cuma luka kecil kok, gak ada 5 menit langsung sembuh, tapi kalau kamu nangis nanti sakitnya malah tambah besar," jelas Ilma berusaha menghibur anak semata wayangnya itu.

Devan mulai berhenti menangis dan tersenyum kecil.

Selesai mengobati luka Devan, Ilma pun mengajaknya untuk makan siang bersama. Devan yang tidak melihat papanya itu bertanya pada Ilma, "Ma, papa mana?" Ilma tersenyum.

"Papa lagi kerja. Nanti papa bakal pulang kok, dan besok kita bisa jalan-jalan sama papa," jawab Ilma. Devan hanya diam dan mengangguk pelan.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Devan bergegas membukakan pintu dan melihat Arya, papanya ada di depannya.

Devan tersenyum sambil memeluk papanya dengan erat. Arya hanya tersenyum sambil mengelus rambut Devan.

"Anak papa kangen ya sama papa?" tebaknya. Devan mengangguk.

"Iya Pa."

Ilma menghampiri Arya.

"Ayo pa, istirahat dulu sambil makan siang," ajaknya. Arya mengangguk.

"Iya ayo, Papa juga lapar," jawab Arya sambil memegangi perutnya.

Mereka pun makan siang bersama sambil mengobrol.

Keesokan paginya, hari ini Devan pergi jalan-jalan bersama orang tuanya di taman. Udara pagi ini masih terasa sejuk ditambah bunga-bunga yang bermekaran dan berwarna-warni membuat lingkungan terlihat cantik.

Arya dan Devan pergi membeli es krim di seberang jalan sedangkan Ilma sedang berbincang-bincang dengan pedagang roti, kemudian, saat hendak menemui suami dan anaknya, tanpa disengaja ada sebuah mobil melaju kencang sehingga menabraknya dan dia jatuh pingsan.

Arya yang melihatnya pun merasa khawatir dan membopong Ilma kemudian bergegas membawanya ke rumah sakit menggunakan mobilnya.

Sesampainya di rumah sakit, dokter berusaha mengobati Ilma sebaik mungkin, namun bukannya membaik, kondisi Ilma justru semakin memburuk dan kritis.

Sebelum meninggal, Ilma sempat mengatakan sesuatu pada Devan sambil mengusap pipinya dengan penuh kasih sayang.

"Devan sayang,  maafin mama ya..mama cuma bisa nemeni kamu sampai saat ini. Kamu sama papa ya, jadi anak yang baik dan nurut sama papa, dan jangan nakal.." Devan mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti apa yang mamanya ucapkan itu.

"Memangnya mama mau ke mana sih? Kalau Devan ikut boleh gak?" pintanya dengan wajah polos. Ilma spontan menggelengkan kepalanya.

"Gak sayang. Ini belum saatnya kamu ikut mama," jelas Ilma.

"Tapi kenapa, Ma?" tanya Devan penasaran. Ilma hanya diam tidak bisa menjawab pertanyaan Devan dan menatap Arya dengan lemas.

"Pa..Aku minta tolong jagain Devan ya, jangan sampai dia kekurangan kasih sayang," ujarnya pada sang suami. Arya mengangguk.

"Iya Ma, Papa janji akan menyayangi Devan dan menjaganya setulus hati papa," jawab Arya. Ilma tersenyum kecil. Dia memejamkan matanya.

Arya yang melihatnya memanggil dokter. Dokter berusaha untuk menolong Ilma sebaik mungkin, namun takdir berkata lain. Ilma tidak bisa diselamatkan.

Arya dan Devan kini harus hidup berdua tanpa Ilma.

Sejak kepergian Ilma, tidak ada lagi senyuman yang terukir di wajah Devan yang ada hanyalah kesedihan di matanya.

Setiap hari, saat di sekolah, kadang dia begitu cemburu dengan teman-temannya yang selalu diantar orang tuanya, setelah itu mereka mengecup kening anak mereka sebelum belajar di kelas dan memberi mereka semangat. Sedangkan Devan? Dia tidak bisa melakukan semua itu, sebab ayahnya yang sibuk bekerja sehingga dia hanya diantar dan dijemput oleh sopir.

Saat dia pulang ke rumah, rumahnya terlihat sangat sunyi dan tidak ada orang sama sekali, kecuali beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya itu.

Devan tidak pernah keluar rumah untuk bermain dan lebih memilih menghabiskan waktunya di kamarnya dengan tidur atau main game. Kesendirian yang dia alami membuat Devan merasa sedih dan merindukan ibunya. Karena rindu yang berlebihan, Devan kadang bermimpi bertemu ibunya dan memeluknya, dia senang akhirnya dia bisa bertemu dengan ibunya lagi. Devan tersenyum memandang wajah ibunya.

Tiba-tiba Arya datang dan berusaha membangunkan Devan.

"Dev, ayo bangun! Kau harus ke sekolah bukan?"

Perlahan Devan membuka matanya, wajahnya yang tadinya tersenyum bahagia, kini terlihat murung.

"Iya Pa.."

Devan pun beranjak dari tidurnya dan bergegas untuk mandi dan memakai seragam.

Setelah itu, dia pergi ke meja makan untuk sarapan.

Devan memandangi ayahnya yang sibuk menatap layar ponselnya.

"Pa, Devan boleh gak minta sesuatu sama Papa?" pintanya.

Arya menatap Devan sambil tersenyum.

"Iya, apa sayang?"

"Nanti bisakah Papa mengantar Devan ke sekolah?" pinta Devan. Arya tersenyum.

"Tentu saja." Devan tersenyum memeluk Arya.

"Makasih Pa."

Selesai makan siang, Arya pun pergi mengantar kan Devan ke sekolah.

Hingga suatu hari, Arya membawa seorang wanita dan anak laki-laki sebaya Devan.

Devan memandangi wanita dan anak laki-laki tersebut dengan bingung.

"Pa..mereka siapa?"

"Devan, sekarang dia ini mama kamu, (sambil memegang bahu wanita itu) dan dia saudara kamu, Arvin (sambil melihat anak laki-laki itu)."

"Sekarang, kalian saudara jadi kalian harus bisa saling menerima dan menyayangi, jangan egois," jelas Arya.

Devan hanya diam. Baru beberapa hari kepergian Ilma, tapi sekarang Arya sudah menikah lagi.

Devan yang masih merindukan ibunya dan belum bisa melupakannya pun menolak untuk menerima wanita tadi sebagai ibunya dan anak laki-laki itu sebagai saudaranya. Dia juga kerap bersikap dingin pada mereka dengan tidak mengajak mereka berbicara atau menghabiskan waktu bersama.

Arya yang melihat Devan terus bersikap dingin pada Arvin berusaha membujuknya agar dia bisa ramah dan tidak cuek seperti ini, namun Devan hanya diam, awalnya dia ragu namun dia akhirnya menerima Arvin sebagai saudaranya dan mereka sering bermain bersama.

Keesokan paginya, Devan dan Arvin sedang bersepedaan bersama. Saat Arvin sedang mengayuh sepeda tanpa disengaja bannya menyenggol sebuah batu dan dia jatuh dari sepeda. Kakinya menjadi sedikit terluka.

Devan menghampiri Arvin.

"Kamu gak papa? Sini aku obatin," ucapnya sambil mengobati luka Arvin.

"Gak perlu kak, nanti juga sembuh kok. Aku kan kuat," tolak Arvin. Devan hanya diam tidak peduli dengan omongan Arvin dan tetap mengobati lukanya.

Setelah selesai mengobati luka Arvin, mereka pulang ke rumah.

Saat di rumah, Devan dan Arvin melihat ada makanan yang ada di meja. Ria tersenyum memandangi kedua anaknya itu.

"Ayo sini, makan siang sudah siap, kalian pasti lapar iyakan?" katanya sambil menaruh makanan di piring.

Devan dan Arvin tersenyum mereka bergegas ke meja makan untuk makan siang bersama.

Keesokan paginya, Devan berjalan menghampiri Arya sambil membawa buku tulis matematika.

"Pa, Devan boleh gak minta tolong ajarin matematika?" pintanya. Arya tersenyum kecil.

"Dengar, papa sekarang lagi bantu Arvin buat persiapan ulangan besok, kamu belajarnya sama mama dulu ya.." jelas Arya. Devan hanya diam. Arvin memandangi Devan.

"Ayo kak, kita belajar bersama, itu lebih baik!" ajaknya. Devan tersenyum kecil.

"Iya, ayo," balasnya. Dia duduk di samping Arvin dan belajar bersamanya.

Beberapa hari berlalu, hari ini adalah hari ulangan semester genap di SMP.

Devan dan Arvin sama-sama belajar dengan giat untuk persiapan ulangan besok.

Hingga saat penerimaan raport, ternyata nilai Arvin tuntas semua, namun Devan tidak dan membuat Arya marah.

"Devan, kamu kenapa bisa gak tuntas begini? Harusnya kamu lebih rajin belajar, lihat Arvin, kamu harusnya belajar seperti dia," tegurnya mulai membandingkan Devan dan Arvin.

Devan yang mendengar perkataan ayahnya merasa kesal, hatinya sakit saat ayahnya membandingkan dirinya dengan saudaranya itu. Dia hanya diam dan menunduk tidak bisa berkata apa-apa.

"Iya pa, Devan janji, Devan akan belajar lebih giat." Setelah lama berdiam diri, akhirnya Devan memberanikan diri untuk menjawab teguran Arya.

"Nah begitu, kalau gak bisa tanya papa atau mama agar kamu gak kesulitan saat belajar."

Arya kemudian pergi. Devan hanya diam dan mengembuskan napasnya berat dan pergi ke kamarnya.

Dia mulai belajar dengan giat dan penuh semangat dengan harapan suatu hari dia bisa meraih prestasi dan bisa membuat ayahnya merasa bahagia.

Suatu hari, Devan berhasil memenangkan sebuah pertandingan bola voli dan menghampiri Arya. Dia tersenyum memandangi piala tersebut.

"Aku harap ayah bisa senang dengan apa yang ku dapat ini," ucapnya.

Saat dia sampai di kamar Arya..

Degh!

Devan terkejut melihat Arya memeluk Arvin dengan erat, dan di sana dia melihat kalau Arvin sedang memegang sebuah piala.

Arya mencium pipi Arvin.

"Kamu memang anak papa yang paling pintar! Papa bangga sama kamu," ucapnya. Arvin tersenyum.

Devan menghampiri Arya.

''Pa..Lihat Devan berhasil menang lomba bola voli," ucapnya sambil tersenyum. Arya hanya diam dan menampakan ekspresi apapun pada Devan.

"Kamu hebat sayang!" puji seseorang. Bukan Arya, tapi Ria.

Devan memang Ria sambil tersenyum.

"Makasih Ma." Arya hanya diam dan mengelus kepala Devan kemudian pergi begitu saja. Devan yang melihat hal itu merasa sakit dan berlari ke kamarnya.

Di kamar, Devan langsung melemparkan pialanya ke lantai. Dia tidak peduli pialanya itu rusak atau tidak, yang dia pikir saat ini hanyalah ayahnya sudah tidak peduli dengannya dan lebih perhatian sama saudara tirinya, jadi kalau dia dapat nilai buruk ayahnya pasti akan marah, namun saat dia dapat prestasi ayahnya hanya diam. Sejak saat itu, Devan tidak pernah serius dalam belajar, dalam hatinya dia berpikir kalau dia dapat prestasi ayahnya juga gak akan peduli, jadi untuk apa belajar? Dan sejak saat itu juga, hubungan antara Arya dan Devan menjadi hancur dan tidak berjalan harmonis sama seperti orang lain.

#Flashback off

Devan meneteskan air matanya dan mengelus bingkai foto tersebut.

"Ma..Devan kangen sama mama. Mama kenapa gak pulang ke rumah?" tanyanya sambil menangis. Dia pun pergi keluar kamar dan melihat keluarganya sedang makan bersama.

"Devan, ayo makan," ajak Ria. Devan menggeleng.

"Gak ma." Devan melangkahkan kakinya menuju ke pintu.

Arya menatap Devan.

"Kamu mau ke mana Devan?"

"Devan cuma pingin cari angin aja, bosan kalau di rumah." Semua hanya diam.

Tanpa basa-basi, Devan pun berjalan ke luar rumah untuk jalan-jalan. Udara malam ini sangat dingin, Devan menggosokkan tangannya berulang kali untuk mencari kehangatan. 

Di tengah jalan, dia melihat ada beberapa temannya yang sedang nongkrong di sebuah tenda sambil meminum sebuah minuman.

Devan berjalan menghampiri mereka dan tersenyum.

"Hai, sedang apa kalian?" tanyanya pada teman-temannya. Temannya itu tersenyum.

"Kami sedang minum sambil mengobrol." Devan mengangguk pelan.

Tiba-tiba temannya memberikan dia segelas minuman. Devan memandangi minuman itu dengan heran.

"Ini apa?"

"Udah minum aja, gak usah takut. Kami di sini minum, masa kamu gak?" Devan berusaha menolak ajakan temannya itu, namun karena temannya terus membujuknya, dia akhirnya mau minum minuman tersebut.

Devan tidak tahu minuman apa yang dia minum saat ini. Dia hanya tahu minuman tersebut membuatnya terus tersenyum dan tertawa tanpa henti, hingga tanpa sadar, dia lupa akan kesedihannya.

Setelah meminum minuman tersebut, Devan menjadi kecanduan dan sering menghabiskan waktunya dengan minuman keras tersebut secara diam-diam dan meminta uang pada ayahnya setiap saat hanya karena ingin beli minuman.

Tidak ada yang tahu kalau Devan suka mabuk-mabukan, mereka hanya tahu kalau Devan suka mengurung diri di kamar.

Dalam keadaan mabuk, kesadaran Devan mulai turun alias hilang. Dia menjadi tertawa dan berbuat hal-hal yang tidak karuan. Bayangan akan kenangan keluarganya yang dulu hadir di depan matanya. Ini ilusi, tapi terlihat sangat nyata. Dia melihat dirinya yang masih kecil itu sedang belajar bersama ayah dan ibunya sambil bercanda bersama.

Tidak terasa air mata Devan mengalir. Dia menangis sejadi-jadinya.

Devan memandangi foto ibunya sambil menangis.  "Mama, Devan kangen sama mama. Izinin Devan buat ketemu mama ya, sebentar aja," pintanya. Dia melihat ada sebuah pisau yang ada di meja dan tertawa kecil.

Dia pun mengambil pisau tersebut dan menaruhnya di tangannya. Jantungnya berdegup kencang dan dia mulai berkeringatan. Apakah dia benar-benar akan mengakhiri hidupnya? Saat akan menyayat tangannya, tiba-tiba saja mata Devan terpejam dan dia tertidur.

Keesokan harinya, Devan pergi keluar kamarnya.

Arvin memandangi Devan, dia heran karena wajah Devan terlihat pucat.

"Wah kakak terlihat berbeda? Kakak terlihat sangat tidak baik. Ada masalah apa kak?" tanya Arvin lembut.

Devan menatap Arvin dengan tatapan dingin.

"Gak ada masalah apa-apa. Lagian kalau ada urusanmu apa?" Devan balik tanya pada Arvin.

"Yah, sekalinya kakak butuh teman curhat, mungkin aku bisa bantu," jawab Arvin.

Devan menggeleng. "Gak perlu." Dia lalu pergi meninggalkan Arvin sendirian dan bergegas pergi keluar rumah dengan mobilnya.

Malam hari, Arya sedang berjalan ke dapur untuk mengambil air putih, tidak sengaja dia melewati pintu kamar Devan dan melihat Devan sedang minum. Arya merasa marah kemudian menghampiri Devan.

"Apa yang kamu lakukan--" ucapannya terpotong saat melihat Devan menangis.

"Pa, Devan udah gak kuat lagi. Devan pingin ketemu sama mama. Devan gak betah tinggal di sini terlalu lama, Devan juga pingin kaya anak lainnya, disayang orang tua, tapi.. yang Devan dapat cuma amarah dan yang menyakitkan ayah suka membanding-bandingkan Devan sama anak lain, terutama sama anak tiri itu!" jelas Devan yang mulai frustasi sambil meminum minumannya.

Arya yang melihat anaknya minum tidak bisa menahan amarahnya dan menampar Devan.

"Devan, kamu sadar apa yang kamu lakukan sekarang?" Devan tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya.

"Gak tahu, cuma ngobrol sama papa."

"Sejak kapan kamu suka minum seperti ini, Devan? Apa kamu gak pernah mikir apa yang akan terjadi saat kamu minum seperti ini, kamu gak berpikir bagaimana perasaan semua orang kalau kamu begini?" tanya Arya. Devan tertawa kecil.

"Hahaha. Aku gak berpikir semua sedih atau gak, yang penting aku bahagia. Daripada dulu, papa gak pernah peduli sama aku," jawab Devan sambil menangis.

"Sudah cukup! Papa muak lihat kamu mabuk seperti ini." Arya membuka lemari Devan dan mengambil barang-barang milik Devan kemudian memasukannya ke dalam kopornya.

"Dengar besok pagi, ayah mau kamu pergi dari sini!" jelasnya lalu pergi meninggalkan Devan.

Devan hanya diam dan menangis.

"Papa ternyata masih sama, gak pernah peduli sama aku," ujarnya.

Devan pun kembali menangis terus menerus hingga tanpa sadar matanya mulai terpejam dan dia tertidur pulas.

Keesokan paginya, Devan memegangi kepalanya yang terasa sedikit sakit. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam namun tidak bisa.

Devan mendongakkan kepalanya.

Degh!

Dia terkejut melihat Arya sudah ada di depannya sambil berdiri membawa sebuah kopor.

"Pa ini a--a--a--pa?" tanya Devan gugup dengan bibir yang bergetar.

Arya menatap Devan dengan dingin.

"Mulai hari ini papa gak mau kamu tinggal di sini."

"Tapi kenapa pa?" tanya Devan.

"Kamu gak usah pura-pura gak tahu ya. Papa sekarang baru tahu kalau anak papa yang dulu papa didik dengan baik dan sayang, sekarang malah menjadi seperti ini. Memangnya papa kurang apa ke kamu hingga kamu bisa minum minuman kaya gitu?" Arya balik tanya pada Devan.

Devan menunduk.

"Papa dulu memang sayang sama Devan. Tapi semenjak mama meninggal, papa jadi berubah, terlebih setelah papa menikah dengan orang lain, ayah lebih memanjakan Arvin daripada aku. Bahkan ayah juga sering membandingkanku dengannya." Arya menunduk, dadanya sakit mendengar curhatan anaknya, setetes demi setetes air mata keluar membasahi pipinya. Dadanya sesak dan sedih melihat perasaan Devan.

"Pa, Devan tahu Devan salah. Tapi Papa tidak pernah memerhatikan Devan, dan lebih sibuk dengan pekerjaan Papa atau Arvin, seolah Devan ini gak ada dalam hidup ", seolah Devan itu bukan anak---" Belum sempat Devan melanjutkan perkataannya tiba-tiba Arya memotong ucapannya.

"Tidak jangan dilanjutkan, kamu anak Papa, dan kamu tidak salah. Papa yang salah karena telah mengucilkan mu, tapi sebenarnya Papa tidak pernah membencimu, Papa sayang sama kamu, Devan.." ucap Arya dengan mata yang berkaca-kaca sambil menangkup pipi Devan kemudian memeluknya.

"Maafin Papa ya, Nak. Papa janji mulai saat ini, Papa akan berubah, Papa akan menyayangi kamu dan adik kamu dengan tulus tanpa ada sikap cuek atau egois seperti dulu," jelas Arya. Devan tersenyum kecil. Dia membalas pelukan Arya.

"Devan juga minta maaf Pa."

Arvin menghampiri Devan.

"Kak, aku juga minta maaf ya kalau selama ini aku ada salah," ucapnya. Devan tersenyum.

"Gak kok." Dia memeluk adiknya dengan kasih sayang.

Semua tersenyum haru. Setelah lama berpisah akhirnya mereka bisa kembali menjadi keluarga yang harmonis.

Kini tidak ada lagi kesedihan, salah paham, marah, atau kebencian. Yang ada hanyalah kasih sayang dan cinta.