"Hei...."
"Mengapa kau melamun seperti itu?" ujarnya.
"Tidak. Aku hanya sedang melihat langit."
"Kau terlalu sering memperhatikan langit, Kano."
"Mungkin kau benar."
"Langit hitam, hujan akan datang. Ayo segera pulang!"
"Tidak, aku ingin disini dulu."
"Ayo cepat pulang!"
Ia menarik lenganku. Ia menginginkanku untuk pulang. Aku tak ingin pulang. Ia tetap memaksaku untuk pulang. Aku harus pulang.
Aku beranjak dari atas padang rumput yang kian berdansa, tertiup oleh hembusan angin timur. Ia menarik lenganku dengan erat, aku hampir tak bisa menyamai kecepatannya. Kami melewati sebuah pohon tua, sebuah ayunan menampakkan dirinya padaku, ia berpegangan pada dahan yang bercabang.
Memang jika benar, langit telah menjadi hitam, mengapa manusia perlu meneduhkan diri di atas kayu pahatan dan alas buatan? Sungguh, hujan tak begitu buruk bagi rambut dan kulit kami, aku hanya tak mengerti mengapa kita benar takut terhadapnya.
"Ibu, Ayah, kami sudah pulang!"
"Hitomi, Kano! Masuklah! Ibu telah membuatkan kalian semangkuk sup yang lezat!"
"Yeyy! Aku suka sup ibu!" teriak Hitomi. Aku membalas teriakan itu dengan lirikan datar.
"Kano, mengapa kau melihatku begitu? Sup itu enak tau!"
"Ya ya, lanjutkan saja apa maumu, Hitom—"
"Tapi aku ingin agar kakak makan sup ibu!"
"Baiklah."
Kami adalah adik dan kakak. Lebih kompleks, dan tidak dapat kuterjemahkan dengan begitu benar. Ibu selalu berkata bahwa ia adalah anak asuhnya, namun aku dapat memanggilnya adik.
Adik. Definisi apakah yang dapat kuraih dari sebuah kata adik? Seorang adik. Sebuah adik. Sebenih adik. Sekeping adik.
Badai melanda rumah kami. Pepohonan. Pegunungan. Petir. Mengapa engkau harus berteriak keras. Aku dapat mendengarmu datang, datang kerumah kami tanpa diundang.
Petir mengetuk pintu rumah kami. Ayah dan ibu menyapanya. Mereka terbakar.
Sebuah senyuman. Sebuah perasaan. Sebuah suara. Sebuah fenomena. Sebuah sirkumstansi. Apakah mereka semua benar-benar terjadi karena telah menjadi?
Umur kami hampir sama. Apa maksud dari sebuah adik? Bukankah kami harus dibedakan oleh sembilan bulan percobaan?
"HITOMI!!!"
"KANO!!!"
Aku meraih lengan Hitomi. Aku tak berani membuka mataku. Panas. Lenganku terbakar. Aku berharap tidak dengannya.
"Tempat aku dapat bernyanyi adalah di alam bebas, dan di pelukan Kano."
Badai menerjang. Petir menyambar. Ia berkata sesuai ritme kehidupan.
"Aku akan menyelamatkanmu, Hitomi!"
Aku menarik lengannya. Aku tak ingin membuat diriku sebatang kara. Ia selamat. Tenggorokannya terbakar.
"Maafkan Kano. Disinilah Kano dapat memperoleh nafas hidupnya."
Demikian pula, kami berdua melangkah di alam realita bersama, dengan atau tanpa ayah ibu yang telah tiada.
"Selamat tinggal, keluargaku."
***
Namaku Kano Yukinoshita. Aku adalah seorang remaja. Laki-laki.
Ia bernama Hitomi Kagami. Ia adalah seorang remaja. Perempuan.
Kami berdua adalah yang tersisa dari kehidupan ini.
Semangat kami telah sirna sepuluh tahun lalu.
Kami tinggal di sebuah kardus, di pinggir jalan, tempat di mana kalian biasa melewati kami tanpa memedulikan kami. Seorang dermawan mungkin memberi kami dua atau tiga keping perak lima ratus, sedangkan mayoritas sosialita tak pernah melirik nasib kami, penghuni kasta bawah.
"Kagg…ko." Hitomi merengah kesakitan, ia meraih pipiku dan mengelusnya perlahan.
"Hitomi…. Berhentilah, untuk sesaat saja. Aku tak dapat menyembuhkan tenggorokanmu."
Aku melihatnya. Aku melihat Hitomi. Wajahnya pucat, kering, berdebu, terbakar. Terdapat bekas luka bakar di tenggorokannya, tak kunjung sembuh, tak dapat kusembuhkan. Aku terus menangisi kepergian orang tuaku, sedangkan tidak dengannya. Ia tak dapat menangis, ia kehilangan pita suaranya. Ia hanya dapat melihatku dengan tatapan bodoh, dan aku hanya dapat menangis.
Apa tujuan kehadiranku di dunia, bila aku hanya dapat menangis saja?
"Jaggg…majistt."
Aku menangis lagi. Ia tak dapat berbicara dengan benar. Ia memaksa pita suaranya untuk dapat tumbuh lagi, namun tidak bisa.
Aku adalah hewan hina. Aku tidak pantas dilahirkan. Seharusnya pada hari itu, aku mati.
"Ini, tulislah disini, apa yang kau inginkan."
Hitomi mengambil kertas itu, Hitomi mengambil pensil yang kuberikan. Ia menggigit bibirnya sendiri, dan mulai menulis isi hatinya.
Aku melihat sekeliling. Inilah yang disebut dengan kehidupan. Singkat cerita kami berjalan seratus kilometer dari masa lalu menuju kota kecil ini. Aku. Hitomi. Mimikri. Matahari. Kami berdua sempat berharap akan menyematkan diri kami, di kota ini.
Tidak. Itu tak pernah terjadi.
Hitomi menyerahkannya kembali, aku mengambil kertas itu. Aku membaca isi hatinya.
Aku ingin bernyanyi.
Pada saat aku membacanya, aku menyadari, bahwa aku tak berguna.
Kuburlah keinginan itu dalam-dalam, karena maupun aku, ibu, ayah, orang-orang, dan Tuhan tak dapat mengabulkannya.
***
Sekolah. Buku. Teman. Hal yang tidak pernah kami mengerti. Tak pernah kami rasakan. Tak pernah disiram oleh pengetahuan, berkelana tanpa pengalaman, mencari arti kehidupan, butuh tangan pertolongan.
Kami haus, kami lelah, kami remaja butuh bekal masa depan. Sayang, tak satupun insan rela berkorban. Antri. Makanan. Minuman. Haus. Lapar. Musim berganti, kata-kata tersebut terus mengikuti.
Penyakit Hitomi semakin parah. Infeksi yang berada di tenggorokannya tak kunjung sembuh, dan aku semakin berpikir bahwa aku tak berguna.
Hidup itu kejam. Realita itu jahat. Kami adalah remaja yang kurang beruntung. Kami mengemis kasih sayang orang lain, kami mencari uang dengan mengais rezeki orang lain, kami tak berguna, kami hanyalah sampah kehidupan.
Kalian tidak peduli, kalian hanya riang dan senang dinafkahi oleh orang tua. Kami tidak punya orang tua, kami berjuang sendiri melawan kerasnya zaman.
Berteriak? Berteriak kepada siapa? Siapa yang mau mendengar seorang pemulung busuk ditambah seorang perempuan bisu yang penuh infeksi?
Terkadang, aku memberi makan diriku sendiri dengan sepotong sandwich yang kalian buang di jalanan. Aku tidak memberinya kepada Hitomi, karena itu hanya akan memperparah infeksinya. Aku mengais rezeki di tempat sampah, di kolong jembatan, di sela-sela saluran air. Kadang, aku menunggu untuk penjual roti isi agar ia melemparku sepotong makanan untuk kubawa pulang. Aku seperti seekor anjing yang menunggu untuk diberi makanan, lidahku menjulur keluar, dan ekorku melambai kemana-mana ketika manusia memberiku sedekah.
Aku pulang membawa dua roti isi. Pulang? Ya, aku punya tempat untuk pulang, dan itu adalah Hitomi. Rumah kami adalah dua kardus bekas yang berukuran kujadikan satu, dulunya sebuah kardus untuk membungkus pendingin udara.
Ia tak ada di rumah. Hitomi hilang, ia tak ada di rumah kami. Aku menjatuhkan sepotong roti isiku, namun tidak bagi yang satunya. Satu-satunya alasanku untuk pulang kini telah sirna.
Bodoh. Ia tak bisa berbicara. Ia akan dijadikan mangsa oleh pria-pria hidung belang. Ia akan dijadikan budak negeri Timur, atau lebih buruk, ia akan diperdagangkan.
Hitomi. Maaf. Aku tak berguna.
Kendati tak berguna, aku masih dapat berlari, mencari keberadaannya selagi otak bodoh ini masih menyandang kebodohannya.
***
Ia benar menghilang. Aku tak dapat menemukannya dimanapun. Aku masih memiliki roti isi ini, sepotong roti isi yang kupegang dengan hangat, untuk Hitomi seorang. Aku harus mencarinya di kota.
Gedung. Bangunan. Mewah. Megah. Indah. Perlu berapa reinkarnasi hingga aku dapat meraih puncak dari menara mereka? Diriku yang lusuh ini tak akan pernah disudikan oleh otoritas untuk melangkah menuju karpet merah atap bintang lima.
Brosur. Sebuah tanda. Audisi. Ramai. Penonton. Aku berhenti berlari untuk sejenak, melihat sekumpulan orang. Mereka sedang mengelilingi satu hal, sebuah objek yang kuharap itu adalah Hitomi.
Aku menerobos mereka. Aku terjatuh. Bukan, itu bukan Hitomi.
Bangkit. Lari. Aku kembali berlari, mencari Hitomi yang hilang. Aku melirik kesetiap sisi dari kota, mereka membalasku dengan tak begitu ramah. Aku tak dapat berbuat apa pun selain menangis, berlari, dan berharap.
Langkahku terhenti. Ia ada disana, Hitomi ada disana. Ia sedang berdiri di atas sebuah panggung.
"Turunkan dia!"
"Dia tak dapat bernyanyi!"
"Huuu!!!!!"
Mereka melemparinya dengan bebatuan. Hitomi terdiam. Ia hanya dapat melihat mereka dengan tatapan datar, tanpa ekspresi.
Aku panik. Aku marah. Aku berlari menuju ke arah Hitomi dengan seluruh tenagaku.
"Jangan," bisiknya. Aku mendegar suaranya, hingga sampai kesini, padahal kami belum dekat secara fisik. Ia meraih batinku.
"Biarlah mereka mengekspresikan hati mereka," ujarnya lagi.
Aku berhenti. Ia berdarah. Bebatuan terus melayang ke arahnya, mengenai kulitnya yang rapuh, mengenai kepalanya, mengenai matanya, mengenai telinganya, mengenai lengannya.
Mengenai tenggorokannya.
Ia semakin rapuh. Dahinya berdarah, hatinya juga.
Aku sangat ingin pergi kesana, dan menghentikan orang-orang itu. Aku berlari lagi.
"Jangan," ucapnya lagi.
"Kau hanya akan membunuh dirimu sendiri, Kano. Simpan roti isi itu untuk dirimu," ujarnya dari dalam batinku. Aku melihatnya, ia menatapku dengan datar, namun entah mengapa, aku melihatnya tersenyum dari pandangan lain.
"Kano, mau mendengar aku bernanyi?"
"Ya, aku mau."
"Baiklah."
Mereka terus melemparinya dengan cemooh, hinaan, perkakas, dan benda tajam. Bebatuan semakin mengenai dirinya, ia semakin lemah, darahnya mengucur semakin deras. Telapak kakiku mulai terkena simbahan darahnya.\
"Kano, aku mulai ya."
"Baiklah."
Aku menangis lagi. Aku tak dapat melakukan apa apa selain menangis. Aku tak berguna.
"Terima kasih, Kano."
Dan ia pun terjatuh dari panggung tersebut, aku pun juga. Bedanya ia jatuh dengan kebebasan, dan aku jatuh dengan rasa penyelasan. Aku mendarat di lautan darah miliknya, dahiku membentur tanah dengan keras.
Pada akhirnya, aku hanya dapat mengingat bahwa ia bukanlah adikku. Hitomi. Seorang teman masa kecil, yang kami anggap sebagai saudara sendiri.
Mungkin kini saatnya, aku yang tak berguna ini, harus mati.
--