Chereads / Solitaire Instrument / Chapter 1 - Solitaire Instrument

Solitaire Instrument

🇳🇱Adambee
  • 1
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Solitaire Instrument

"Ayah! Ramadan kali ini bakal seru loh, yah!"

"Iya nak."

"Aku pengen banget makan nastar buatan ibu, yah! Boleh kan, yah?"

"Boleh kok, emang kamu suka banget ya sama nastar buatan ibu?"

"Iya yah! Nastar buatan ibu itu, paling enak sedunia yah! Pokoknya nastar nomor satu!"

"Nanti ya nak, sekarang ibu lagi cari bahan buat bikin nastar kamu, biar lebih enak lagi dari sebelumnya!"

"Tapi yah, kenapa ibu perginya lama…?"

Tidak, jangan berikan pertanyaan itu. Sudah tiga tahun lamanya ia meninggalkanku, dan anakku seolah lupa akan kejadian itu. Hari dimana aku tak dapat menyelamatkannya, takdir seolah tidak memikirkan kehidupan keluargaku yang sungguh fana dan tak berarti ini.

Ini adalah ramadan kedua dimana anakku merindukannya, seolah ia membawa nastar bersamanya ke alam surga di sana. Anakku tidak pernah tahu kebenaran ibunya, seolah-olah semesta dan Gusti Allah melindunginya dari kenyataan yang tidak ingin ia lihat. Ia berumur 9 tahun, dan setidaknya aku masih bisa memberinya tempat berteduh dan suapan pendidikan. Aku sungguh bahagia memilikinya, namun diantara kebahagiaan itu, tersirat tangisan yang tak ingin kutunjukkan kepadanya. Bahwa sebenarnya aku adalah seorang ayah yang gagal.

Ayah. Sebuah label mulia yang kujunjung dengan kebodohan dan kesalahan.

"Yah, jemputanku sudah datang! Aku pergi dulu ya, yah!"

"Hati-hati, nak. Ingat kata ayah ya, jangan batal!"

"Iya yah! Da Da ayah!"

Ia melambaikan tangannya kepadaku sambil berlari menuju ke arah minibus berwarna hitam tersebut. Senyumnya yang ia berikan kepadaku tidak mengsisyaratkan ketakutan apapun, aku yakin ia tulus ingin menjalaninya dengan sepenuh hati.

Tersibak senyuman kecil di wajahku ketika mengingat kembali betapa sabar ia mendidik dan mengajarinya dulu. Dibandingkan dengannya, aku bukanlah orang tua yang baik. Aku terlalu sibuk memikirkan pekerjaan, dan di setiap malam aku menginjakkan kakiku di karpet rumah ini, aku tak ingin menemuinya. Terkadang aku menjadi abusif ketika anakku menanyakan kabar tentang diriku dan pekerjaan. Aku tak ingin kehidupanku diganggu, itu bukan urusannya. Namun istriku senantiasa datang menemaniku, mengelus dahiku dan menawarkan secangkir kopi atau teh di malam yang tak bersahabat. Maaf, aku tak tega menyebut namanya, sepertinya aku akan mengangis sebentar lagi.

Aku seakan terhembus oleh detaknya waktu, memperoleh sebuah definisi yang tak mengenal arti kata 'kontemporer' itu sendiri. Kehidupan ini sungguh tidak lucu. Aku nyaris memperoleh kebahagiaan, dan ia meninggalkan kebahagiaanku. Semenjak ia pergi, ramadan selalu terasa berbeda. Anakku tetap menjalaninya dengan senyuman khasnya itu, sementara aku membalasnya dengan senyuman palsu. Aku tak mampu membahagiakannya dengan sebuah kebohongan, dan terlebih lagi, ia tak sadar bahwa engkau sudah tiada. Aku selalu memperhatikan kedua matanya ketika anak kita membicarakan nastarmu. Mereka melambaikan sebuah harapan yang telah sirna.

Aku tak tahu berapa lama lagi kami akan bertahan. Aku kehilangan pekerjaanku 2 hari yang lalu, dan hanya mendapat sedikit uang untuk melanjutkan hidup. Kadar tabunganku juga tak terlalu banyak, aku mulai memikirkan masa depan yang tidak menentu. Ramadan tahun lalu dan sebelumnya, aku telah mencoba membuat nastar dengan resep seadanya. Ia tak begitu menyukainya. Aku bahkan sempat membeli nastar dari toko terdekat, dan ia juga bilang kepadaku bahwa itu bukan nastar ibunya.

Aku tersenyum lagi. Kau benar-benar membawa nastar itu ke surga.

Kuakhiri senyuman itu dengan sebuah tekad. Ini adalah tahun ketiga tanpamu, tanpa nastar-nastarmu, dan juga tahun ketiga aku harus berjuang untuk membuat nastarmu menjadi kenyataan. Apapun hasilnya, aku akan membuat nastar itu dengan tanganku sendiri. Aku tak ingin membuat anak kita menunggu lebih lama lagi, aku ingin agar ia bahagia.

"Iya pak, mau beli apa?"

"Ini mas, tolong ya."

"Apa ini pak? Oh, bapak mau bikin nastar."

"Iya, itu bahannya mas. Tolong ya, anak saya kepingin banget mas."

"Enggak ibunya aja pak yang bikin nastar?"

"Ibunya udah gak ada, mas."

Tiga tahun yang tak dapat kuhindarkan. Pertanyaan yang sama, dengan jawaban yang sama. Apakah aku sebagai seorang ayah harus membiarkan hal itu terus terjadi kepadaku? Kalimat itu selalu terdengar klise, namun dalam kehidupan ini, tak semua orang berdiri di tempat yang nyaman. Banyak dari mereka masih harus berjuang untuk hal-hal yang terkecil, bahkan berjuang demi sesuap nasi untuk keluarganya.

Alhasil, aku berhasil membuat nastar itu lagi.

Aku lelah, mungkin ini adalah waktu yang tepat untukku beristirahat. Pandanganku memudar, aku tak tahu ini sudah pukul berapa. Hal terakhir yang kuingat adalah beberapa nastar yang kutinggalkan di dapur beserta dengan beberapa telur yang berserakan. Aku menghembuskan nafas perlahan, terasa berat kelopak mataku yang hendak kukatupkan kembali ke asalnya.

"Ayah, aku pulang!"

Anakku, ia sudah pulang.

"Yah, udah buka puasa, yah!"

Suara itu semakin menjauh, apa benar anakku sudah pulang?

"Yah, ada nastar di dapur! Aku makan ya, yah!"

Makanlah nak. Makan yang banyak, ayah mau istirahat sebentar.

"Yah, nastarnya enak! Ini nastar ibu, yah! Ibu sudah pulang!"

Sore itu, kusanjung senja dengan sebuah senyuman kecil serta tiupan kalimat yang menjauh,

"Aku berhasil, Tiara."

--