Chereads / BUKAN KARENA CANTIK / Chapter 22 - UCAPANKU ADALAH MUTIARA

Chapter 22 - UCAPANKU ADALAH MUTIARA

UCAPANKU ADALAH MUTIARA

Berawal dari sebuah permainan yang mengajari seseorang dalam membina persahabatan, kini menjadikan "Insantri" lebih mengenal akan kedewasaan menata hidup dan kehidupan dalam menuju masa depan.

Tak pernah terbayang akan hal demikian itu terlalukan selama berada di tembeng hingga ia memasuki kelas dua belas. Disinilah bisa dikatakan anugrah ilahi diantara kita agar selalu ada dalam bingkai kesetiaan terbina hingga akhir.

Sejak duduk di bangku kelas dua belas, hati sudah mulai terbuka untuk bertanya tentang situasi yang sempat membuat ia sedikit galau waktu itu. Kucoba mendekati dan menegurnya" Kamu Sakit?", dengan nada lemah ia menjawab "Tidak ", sambil menggelengkan kepala.

Sekitar pukul 19.20 pada malam minggu, kembali kudekati sambil mengelus rambutnya yang tampak beda. Ia terdiam beberapa menit kemudian, dengan nada lemah lembut "aku kepikiran ibu".

Setelah melihat situasi yang kurang nyaman pada "Insantri", maka dibiarkanlah dia untuk melamun sendiri asalkan tidak bunuh diri.

Tepat pada bulan agustus tahun dua ribu dua puluh satu "Insantri" bersama teman – temannya mengikuti kegiatan praktek kegiatan lapangan berlokasi di Puskesmas Pengadangan Induk.

Dua hari setelah ditugaskan pada PKM tersebut, dia bersama teman – temannya dikumpulkan oleh petugas PKM untuk membagi jadual.

Setelah menerima jadual kunjungan, ia kembali ke kos untuk berdiskusi tentang acara pemberian vaksin covid-19 di sebuah desa yang ada di wilayah kecamatan pringgasela.

Sakit memang informasi melalui via telepon katanya, siswa SMK yang PKL tidak di berikan melakukan tindakan oleh kakak – kakak seniornya.

Mendengar telponan dari "Insantri" maka pagi – pagi saya berangkat menuju puskesmas pengadangan induk untuk menanyakan hal tersebut. Sesampai di PKM saya langhsung menuju ruang petugas sambil bertanya' Ruang pak Kapus" mana?". Langsung saya dipersilahkan masuk di ruangan pak kapus, tunggu sebentar beliau datang, sahut seorang petugas di PKM itu.

Sambil menunggu pak Kapus, saya minum air putih yang ada di ruangan. Tidak lama beliau datang bersamaan dengan pak KTU. Sambil berguyon saya minta pak KTU untuk member tanggapan tentang anak – anak yang PKL di PKM Pengadangan Induk.

Sambil senangnya menyampaikan bahwa siswa ini bagus - bagus dank arena ia masih kelas SMK maka tidak kami berikan untuk melakukan tindakan.

Mendengar penyampaian yang disampaikan oleh pak KTU itu maka, saya tidak tahan sehingga dengan lantang berkata "Jangan di entengkan keberadaan anak – anak kami yang praktek disini", silahkan! bisa di tanding dengan smk kesehatan manapun.

Pak kapus dan KTU puskesmas pengadangan itu terdiam sejenak, setelah di perlihatkan foto siswa yang sedang duduk di tempat pemberian vaksin. Karena tanggungjawab serta lulusan SMK adalah disiapkan untuk masuk ke dunia industri dan dunis usaha, maka dengan itulah saya mengejar pak kapus untuk memberikan pelayanan terbaik pada siswi yang sedang mengikuti PKL.

Selama mengikuti kegiatan praktek "Insantri dkk", aku berusaha untuk datang satu kali dalam seminggu dimana dengan kehadiranku di tempat kosnya sebagai pembuktian ketulusan hati yang sebenarnya namun, belum saatnya untuk dibuka waktu itu.

Begitu menghadapi ujian sekolah, sedikit kucoba uraikan untaian kata melalui via watshapp untuk menjelma relung hati "Insantri". Tercapai dan penuh mewarnai balasannya sehingga membuatku semakin mendekat, begitu pula dia selalu memberikan suasana keabadian yang sulit dimiliki oleh siapapun kecuali, mereka berdua.

Kedamaian sudah mulai menghampiri di akhir – ahkir pendidikan "Insantri", bagaikan sebuah pohon yang tertancap oleh mereka berdua kini berbuah manis. Disekeliling persawahan tempat tertancapnya pohon yang mereka tanam berdua, hanya dinikmati olehnya tanpa dicicipi oleh siapapun.

Sang penjaga sawah sedikit merasa heran akan kedekatan yang terlihat pada "Insantri", hatikupun saat itu merasakan akan tetapi, demi menuai sebuah tirai yang masih belum kubuka. Untuk sementara, kami berdua berusaha merawat dan menjaga hingga tak seorangpun tahu hubungan kami.

Suasana sepi mulai menghantui disaat "Insantri" menapaki hutan tempat tinggalnya dulu. Jarak yang jauh terasa dekat bagi mereka berdua dalam mendayung bahtera lautan mutiara yang selalu member kenangan disetiap pertemuan.

tepatnya pada hari sabtu,tanggal dua april dua ribu dua puluh dua. Dimana pada hari itu awal untuk memasuki bulan suci ramadhan bagi warga Muhamadiah. Tak disangka "Insantri" bersama ayah dan ibu sedang berpuasa sementara, ahlu sunnah wal jamaah akan melaksanakan ibadah puasa pada hari minggu tanggal 3 april dua ribu dua puluh dua secara bersama – sama, dengan situasi itu sehingga membuat diriku enggan menerima suguhannya.

Karena rindu dan sebagai makmum yang setia maka "Insantri" rela membuka puasanya pada hari itu dan menemani sang pujangga makan siang. Sungguh pujangga tidak menyangka "Insantri" dan keluarga berpuasa hari itu sehingga menemuinya walau dalam keadaan gundah gulana.

Tak kusangka kehadiran di rumhnya berbeda dengan sambutan hari – hari terdahulu , sang pujangga merasakan hidup dalam sebuah istana yang penuh mahligai. Tatapan bola matanya membuatku terpanah dan sulit rasanya berpisah. Aku ingin semakin menata mahligai dalam istana itu sebagai bagian dari tirai yang belum nyata terbuka dengannya.

Sepotong roti menjadi bukti adanya tirai diantara sang pujangga dengannya, oh sungguh mesra dan indah rasanya hidup di taman surge jika dibarengi mahligai sebagai tanda keabadian.

Keelokan yang diberi pada hari itu juga sangat berbeda bila dibandingkan semasa kelas sebelas, rasanya sekarang hati telah menyatu dan dibuktikan dengan kebadian. Semakin hari terasa rindu kian memuncak untuk terus berusaha hadir disisinya.

Saat di rumah seorang sahabat dekatnyapun "Insantri" membawaku dalam gumpalan kasih sayang dengan tatapan serta gerakannya hari itu. Ingin kusampaikan sebuah untaian kata padanya saat indah itu "Insantri" duduk di samping namun, ia tidak membawa henponnya . aku tidak mengerti dan merasa sedikit curiga padanya, mengapa ditinggal henponya.

Sekitar pukul 16.30 menit, "Insantri" bersama teman dekatnya beranjak dari tempat duduk untuk memetik cabe ke sawah sebagai cendra mata buat sang pujangga. Setelah kembali, ia mengajakku untuk sholat ashar berjamaah. Dengan tingkah serta selalu diberikan arahan bagiku menandakan sebuah kepastian menggapai sebuah impian walau masih dalam menjalani proses perkuliahan.

Sang pujangga tetap berusaha menuntun untuk menghantarkanya ke bangku perkuliahan hingga menjadi seorang penerang dalam keluarga besarnya di sebuah perkampungan tempat tinggalnya.

Karena semakin memuncaknya rasa rindu padanya dan iapun sanggup memberikan kebadian maka akan semakin membuatku lebh giat serta berusaha membuatnya sukses sesuai keinginan keluarga.

Setelah pujangga pulang,, "Insantri" mendengar ucapan ayahnya"Hantarkan dia", mungkin karena ucapan itu dan rasa rindu maka ia berada di belakang sepeda motor yang aku kendarai. Saat berpisah di sebuah pertigaan sebenarnya, pujangga ingin mengambil tangannya akan tetapi ia hanya bisa menatap dengan bola matanya. Dengan itu pula membuatku tak tenang dan selalu membayangkan semua gerak geriknya sore itu lantas, pada malam hari aku ditemani bantal yang sengaja ditinggalkan untuk menjadi penggantinya.