Chereads / Love Story Alena / Chapter 7 - Sendirian di Rumah

Chapter 7 - Sendirian di Rumah

"Alena cepat setrika baju saya!" teriak Febi.

"Iya ma," sahut Alena yang masih sibuk memasak di dapur rumah mewahnya.

Nanti sore Febi bersama dengan suaminya akan pergi ke acara yang cukup penting jadinya ia ingin berpenampilan semenarik mungkin. Karena saat ini di rumahannya tidak ada asisten rumah tangga maka segala sesuatunya dibebankan kepada Alena. Termasuk memasak, mencuci dan menyetrika pakaian.

"Saya mau pergi bareng teman-teman saya enggak mah kalau keadaan rumah harus sudah beres semuanya ketika saya pulang. Denger Alena?" teriak Febi.

"Iya Mama, Alena denger kok," sahut Alena.

Setelah itu Febi pergi untuk arisan bersama dengan teman-temannya sedangkan Alena harus sibuk berkutat dengan pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai.

"Capek banget, mana pekerjaan yang lain masih banyak lagi," gumam Alena sambil merapihkan makanan yang ada diatas meja makan.

Setelah selesai memasak dan merapihkan makanan diatas meja makan, ia segera pergi untuk mengambil sapu. "Lebih baik aku nyapu dulu atau nyuci pakaian Mama sama Papah dulu ya?" batin Alena dalam hatinya.

"Lebih baik aku nyuci aja dulu aja kali ya supaya nanti pakaiannya cepet kering juga dan bisa aku setrika lebih cepat," ucap Alena sambil terlukis senyuman tipis disudut bibirnya.

Saat ini hanya Alena yang ada di rumahnya karena Papahnya sudah pergi bekerja sedangkan Mamanya sudah pergi untuk bertemu dengan teman-teman arisannya.

Dalam benak Alena ia sebenarnya merasa khawatir jika nanti perusahaan sang papah bangkrut, Mama Febi akan meninggalkannya.

"Semoga aja Mama Febi bisa setia sama Papah," gumam Alena.

Sekarang Alena sudah berada di kamar orangtuanya yang begitu mewah dan besar namun sayangnya kamarnya begitu berantakan serta banyak barang-barang dan juga pakaian yang berceceran dimana-mana. "Ya ampun ini kamarnya berantakan banget, memang setelah ART di rumah ini pergi, rumah ini semakin berantakan karena aku sendiri enggak bisa menghandle semuanya jika hanya sendirian," ucapnya sambil menata beberapa barang-barang milik Mama Febi yang tercecer diberbagai sudut yang ada di kamarnya.

Ketika berada di kamar ini tiba-tiba saja Alena teringat dengan perkataan yang sering dilontarkan Mama Febi kepada dirinya. Jika dirinya hanyalah seorang anak hasil perselingkuhan dan tidak diharapkan keberadaannya di rumah ini.

"Mama sama Papah memang enggak mengharapkan aku dan jadinya aku harus memberikan yang lebih untuk mereka, aku ingin menjadi yang terbaik dan tentu saja aku juga ingin mereka bangga memiliki aku meskipun aku hadir di rumah ini tanpa diharapkan," gumam Alena.

Sakit memang jika harus mengingat kembali pernyataan pahit itu namun nampaknya Alena sudah terbiasa dengan hal itu hingga sekarang ia mulai terbiasa dengan ucapan-ucapan jahat yang keluar dari mulut Mama Febi.

"Aku hanya ingin buat Mama sama Papah bangga dan menyenangkan hati mereka. Meskipun Papah itu begitu sibuk dan tidak pernah memerhatikan aku tapi aku sayang sama dia, aku enggak mau kehilangan dia karena bagaimanapun laki-laki yang saat ini aku percaya dapat membahagiakan aku hanyalah Papah," gumamnya pelan.

Alena melihat foto Mama Febi dan juga Papahnya yang tersimpan cantik diatas nakas, ia pun meraihnya kemudian mengelus dan mengecup foto tersebut. Rasa sayangnya terhadap Mama Febi juga begitu besar meskipun selama ini Mama Febi selalu menyiksa dan menyakiti hatinya.

"Aku mencintai kalian meskipun mungkin kalian membenci bahkan tidak menginginkan keberadaan aku di rumah ini," ungkap Alena sambil mengelus frame foto yang ada dalam genggamannya.

Saat ini Alena memang belum benar-benar mengontrol dirinya, terkadang ia juga sedih namun juga ia juga tiba-tiba bahagia. Sudah berbagi macam luka yang menorehkan hati Alena hingga terkadang ia ingin sekali mengakhiri hidupnya namun ia juga terkadang ingat kembali dengan impian-impiannya yang belum tercapai. Ia juga sering memotivasi dirinya sendiri untuk tetap semangat dan juga sabar serta ikhlas dalam menjalani semuanya.

Tidak terasa tetesan air mata keluar dari pelupuk mata Alena. "Aku jadi penasaran apakah memang ibu kandung aku itu sudah meninggal atau justru belum? Tapi aku kok merasa jika ibu kandung aku itu masih hidup entah karena apa mungkin karena ikatan batin kita. Enggak tahu kenapa," lirih Alena.

"Kalaupun ibu kandung aku masih hidup apakah dia akan bersikap sama seperti Mama Febi? Apakah dia bangga memiliki anak seperti aku?" batin Alena, banyak berbagai macam pertanyaan dalam benak Alena.

Saat ini yang dibutuhkan Alena hanyalah teman curhat untuk berbagai cerita tentang semua permasalahan yang menimpa kehidupannya. Dari mulai batal menikah karena tunangannya membuat kesalahan yang sangat membuat hatinya sakit hati hingga kenyataan pahit yang akhir-akhir ini terungkap jika Alena hanyalah anak hasil persembahan sang Papah.

"Sebenarnya Mama Febi pantas aja selama ini selalu memperlakukan aku dengan sangat kasar mungkin itu cara dia untuk membalaskan rasa sakit hatinya karena dikhianati oleh Papah. Aku juga benar-benar enggak habis pikir kenapa Papah dulu bisa mengkhianati Mama Febi mungkin saja kalau pada saat itu Papah enggak melakukan hal itu semua ini tidak akan terjadi dengan aku," rintihnya yang merasa jika hidupnya ini terlalu rumit.

Setelah itu Alena langsung menarik nafasnya dan setelah itu ia mengembuskan dengan perlahan dan pelan hingga membuat hatinya merasa lebih lega dan tenang.

"Sekarang aku udah mulai lega dan tenang lebih baik aku jangan nangis terus karena kalau terus nangis kayak gini pasti pekerjaan rumah yang lain enggak keurus dan nanti Mama Febi keburu datang," ucapnya pelan sambil menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi cantiknya.

Setelah selesai merapihkan barang-barang milik Mama Febi, Alena segera menyapu bagian sudut kamar mewah orangtuanya dengan perlahan dan memastikan jika tempat yang sudah ia sapu itu benar-benar bersih karena Mama Febi sangat tidak menyukai debu. Bahkan ia tidak akan segan-segan memanggil Alena meskipun Alena sedang tertidur jika ada debu di kamarnya

Alena melakukan semua pekerjaannya dengan ikhlas dan sabar meskipun seharusnya wanita seusianya itu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi atau paling tidak bekerja di Perusahaan besar. Namun Alena harus menerima kenyataan jika Mama Febi melarangnya untuk kuliah dan bekerja, Mama Febi justru menyuruh Alena untuk fokus membersihkan dan membereskan rumah mewahnya sendirian.

Mama Febi juga memecat ART hanya karena Alena bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan juga menyapu halaman depan rumah.

"Kalau aja ART yang kerja di rumah ini dulu enggak Mama pecat pasti aku enggak akan keteteran dan juga kecapekan melakukan semua ini," keluh Alena.

Setelah selesai menyapu, ia segera mengambil lap pel dan langsung mengepel kamar mewah itu. Kucuran keringat sudah membasahi keningnya, perutnya juga sudah sangat lapar namun ia terpaksa harus mengabaikannya karena takut saat Mama Febi datang namun pekerjaan rumah juga tidak kunjung selesai.

Alena juga mengambil beberapa baju kotor milik Mama Febi dengan hati-hati untuk ia cuci.