Chapter 3 - 3. A Reason

Mata Barrion melotot tak terkira, entah tadi dia melamun sebentar saja sampai tak melihat di hadapannya ada Neira yang sibuk kesana-kemari untuk urusan keselamatan. Kini keduanya tanpa sengaja berdempetan dan tidak ada jarak sama sekali karena bertubrukan tadi, sehingga Barrion terkesiap tak terkontrol lalu mendorong kuat-kuat tubuh gadis itu hingga tersungkur ke belakang dan menubruk kain tebalnya camp.

"Aish! Sakit tahu!" teriaknya lagi.

"Manusia kasar, perangai buruk lagi! Pergilah ke Negara anda, Tuan! Di sini anda selalu bikin masalah!" umpat Neira yang benar-benar sakit hati, setelah dia yang menabrak Neira, dia pula yang mendorong tubuh Neira sehingga makin menjauh.

"Kau jangan kurang ajar, Tuan tampan! Mentang-mentang anda bertampang dan seperti orang kaya, tidak seharusnya kau menyakiti suster di sini, semua nyawa bergantung kepada kami! Seperti orang yang tidak pernah sekolah saja!" Suster May, teman Neira membantu Neira untuk bangun dan memunguti alat medis yang turut berjatuhan.

Neira dan May segera meninggalkan orang kolot itu dan hampir semua pandangan mata tertuju kepada dirinya yang memang tidak punya adab di tempat orang, padahal dirinya adalah tamu, juga korban perang yang sudah dibantu oleh petugas medis yang di sini, terutama suster Neira. Barrion bangun dan berjalan bak orang linglung memikirkan kelakuan dan perkataannya yang mungkin tidak seharusnya ia berikan di Negara orang. Mungkin dirinya harus mengemas sikapnya di Proksia selama ini dengan lebih baik lagi di sini.

Tak hanya itu, hal yang menjengkelkan selanjutnya bagi Neira adalah, suasana sudah menjelang malam. Neira seperti biasa ingin ke kamar mandi, karena memang kamar mandi sangat terbatas, sedangkan begitu banyak orang yang menghuni base camp membuat semua harus mengutamakan kesabaran. Neira berlari menuju kamar mandi, lalu tanpa sengaja saat ia masuk ke kamar mandi yang setengah terbuka. Dia histeris dan berteriak sekencang-kencangnya. Di sana ada seseorang yang sudah setengah telanjang dan tidak menutup pintunya.

"AAAAAAAA!!!" Melengkingnya suara Neira.

Saking kagetnya Neira mengambil apa saja yang ada di sekitarnya untuk menimpuk orang itu, kali ini ada karung berisi terong di area dekat dengan kamar mandi. Ia lemparkan ke kepala orang itu.

"Auw! Hentikan!" Lelaki itu buru-buru memakai pakaiannya.

"Dasar orang mesum! Anda mau apa?! Kalau di kamar mandi, apalagi tinggal bersama banyak orang harus tutup pintu, tolol! Anda sengaja mengundang para wanita melihat anda begini? Biar apa coba?!" umpat Neira meledak-ledak.

"Kamu kenapa? Di tempatku kamar mandi untuk bersih-bersih diri sangat luas dan tidak pernah ditutup, itupun tidak ada yang berani masuk ke dalam." Pembelaannya.

"Itu, kan rumah anda! Ini bukan rumah anda! Dasar orang aneh, sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, bisa gila aku setiap saat bertemu dengan anda!" Neira segera menuju kamar mandi satunya dan dia benar-benar menjalani hari yang sangat melelahkan.

Barrion melongo. Dia kena marah dan bahkan tak tahu apa salahnya? Benar saja prinsip hidupnya, membenci dan menjaga jarak dengan perempuan atau hidupnya bisa berakhir tragis seperti ayahnya atau kakaknya. Barrion menggeleng kepala dan tidak pernah ingin memikirkannya. Hal inilah yang mendasari dia selama tiga puluh tahun ini tidak pernah berkontak fisik atau berdekatan dengan makhluk bernama perempuan. Bahkan dari kaum manusia serigala sekalipun.

Di dalam base camp, satu jam berlalu. Ada sebuah teriakan lagi disertai tangisan, seorang jenderal yang banyak dikenal oleh tim medis tengah berdarah-darah terluka parah ditandu oleh para perawat pria. Jenderal Richard, pria paruh baya yang usianya sudah melebihi setengah abad, namun semangatnya yang berkobar demi Negerinya ini melebihi para pejuang muda. Beliau adalah sahabat ayah Neira, beliau adalah saksi di mana ayah Neira menghembuskan nafas terakhirnya di Medan perang kala itu.

"PAMAAAAN RICHAAARD!! Neira berlari sambil menangis tersedu-sedu. Dia memeluk pria yang tidak muda lagi itu.

"Jenderal terluka sangat parah! Kita upayakan dengan maksimal, ayo ambilkan oksigen! Ambilkan peralatan operasi!" teriak dokter muda yang sangat panik. Dokter Vigian.

Pemandangan memilukan dilihatlah oleh Barrion yang tadinya sedang berbaring santai, guratan kepanikan dan bergegas-gegas menangani serta wajah yang penuh keseriusan terlihat jelas di antara mereka semua. Neira, perempuan yang sedikit mencuri perhatian Barrion karena sikapnya yang sangat aneh dan kasar itu, membuat Barrion terkesima, begitu melihat air mata dan tangisan yang meraung-raung dari suaranya itu bertolak belakang dengan sikap yang ditunjukkan kepadanya selama ini.

Barrion melangkah perlahan, mendekati kerumunan orang yang sedang kerepotan dan berusaha menangani si jenderal tadi.

Barrion mendekat lalu memecah kerumunan itu, dia meminta space untuk dirinya ikut andil dalam pengobatan ini, dia menatap serius wajah Neira yang masih berurai air mata, lalu semua orang menatap dirinya bergantian. Mungkin bertanya-tanya, mau apa Barrion berada di tengah petugas medis yang sedang serius-seriusnya.

Dia dengan bahasa tubuh menyentuh orang tua yang terluka itu, dia menggunakan bahasa tubuh, ia mengangguk dan meminta izin untuk membantu mereka.

"Izinkan aku melakukan sesuatu untuk membantunya, barangkali aku bisa," ucap Barrion sehingga semua merenggangkan kerumunan, Neira menatap tak berkedip dan lalu mundur beberapa langkah.

Barrion menyentuh dada pria yang berlumuran darah. Hingga terlihat wajah meringis kesakitan, lama-kelamaan berwajah tenang. Barrion menyalurkan tenaga dalam dan rasa kesembuhan kepada orang yang disentuhnya itu. Neira merasa takjub, sahabat ayahnya itu dengan perlahan menutup mata dan tertidur dalam ketenangan.

"Bawa dia beristirahat, agar segera pulih. Berilah dia obat yang kalian punya. Barrion berjalan meninggalkan posisi awalnya. Dia berjalan sedikit sempoyongan sambil terus berjalan menuju tempat duduknya tadi seperti semula, banyak yang terkesima dibuatnya. Pemuda asing itu benarkah bisa meringankan sakit orang yang sedang terluka? Apalagi Neira? Dalam hatinya sangat bahagia berhasil membuat paman Richardnya itu tertidur pulas dalam kesakitannya.

"Kamu dan yang lain pasti sangat lelah, selama tiga tahun harus hidup dalam kungkungan peperangan ini?" tanya Barrion masih dalam jarak yang cukup jauh, Neira langsung berkaca-kaca.

"Sangat! Tetapi kami tak punya pilihan lain, yang ada dalam otak kami sekarang bagaimana berusaha bermanfaat untuk semua." Dia menunjuk korban berjatuhan yang sudah bergolek tak beraturan di lantai karena tempat yang tidak memadahi. Sempit dan pengab.

"... Sampai titik darah penghabisan kami, hanya itu yang bisa kami lakukan." Lagi, dia menyeka air matanya.

Wajah yang nampak lelah namun tetap memancarkan kecantikan tersendiri yang alami itu membuat Barrion sedikit bertanya-tanya, ia sungguh merasakan sesuatu di hatinya yang selama ini belum pernah ada, "dia, perempuan, Barrion! Semua perempuam jahat kecuali nenek tercinta! Pada dasarnya Barrion tak bisa menolak naluri kelelakiannya.