Di suatu desa yang bernama Kampung Jeramba, seorang gadis yang ayu parasnya, sedang duduk termenung di kursi yang sudah reot.
Dia bernama Yacinta Reina, seorang gadis berumur 23 tahun, yang sedari kecil hidup bersama dengan Paman serta Bibi nya.
Cinta, hidup dalam kesengsaraan, tak jarang kedua Paman dan Bibi yang sudah ia nggap sebagai orang tuanya itu, mencaci bahkan melayangkan pukulan untuk Cinta, jika saja Cinta tidak melakukan hal yang di inginkan mereka.
Saat ini, gadis berhidung mancung dengan pipi yang tirus itu, sangat merindukan orang tua yang sudah terlebih dahulu di panggil oleh yang maha kuasa.
Kejadian tragis 18 tahun yang lalu, merenggut nyawa kedua orang tua yang sangat ia cintai itu. Cinta harus menelan kenyataan pahit ketika ia harus hidup seorang diri.
Kecelakaan itu, masih selalu terngiang di telinga Cinta, entahlah kehadiran orang tuanya masih sering hadir di mimpinya saat ia tertidur di malam hari.
Namun, Paman Hamid serta Bibi Absah, dengan suka rela merawat Cinta, namun lama kelamaan, hidup dalam kemiskinan, membuat Paman Hamid dan Bibi Absah, menjadi kesal dengan biaya hidup yang semakin bertambah dengan di iringi usia Cinta yang juga bertambah.
Kasih sayang yang mereka berikan, hilang sudah saat, 5 tahun lalu, tepatnya saat Cinta berumur 17 tahun di lamar oleh seorang saudagar kaya di desa itu.
Namun, dengan halus Cinta menolaknya, karena ia tidak mau di jadikan istri ke empat dari lelaki yang sebenarnya sudah tua itu.
"Cinta!!!" Terdengar oleh telinga Cinta, suara lengkingan Bibi Absah yang memanggilnya dari dalam.
Hal itu, membuat lamunan Cinta membuyar, ia harus segera menghampiri Bibi Absah sebelum ia memaki Cinta karena terlambat untuk menghampiri wanita yang sudah berumur setengah abad itu.
"Ada apa Bik?" tanya Cinta ia melihat kalau wajah Bibi Absah sudah memerah akibat menahan marah.
Padahal Cinta sendiripun sudah mengerjakan pekerjaan rumah, yang selalu ia kerjakan.
"Apa yang kamu lakukan pada Moa hah?!" tanya Bibi Absah dengan suara yang melengking, memenuhi seluruh ruangan berdinding papan itu.
Cinta mengerutkan dahinya dua kali lipat, ia tidak melakukan apapun pada Moa, anak satu-satunya Bibi Absah dan Paman Hamid.
Moa adalah anak yang sangat di manja, semua keinginan wanita berumur lebih muda dua tahun dari Cinta itu harus selalu di turuti.
Meski hidup dengan keadaan terbatas, Moa memiliki gaya yang tak biasa, bahkan ia bisa menjual barang yang ada di rumah itu hanya demi menuruti gengsinya.
Saat ini, Moa sedang menjalani pendidikan tinggi, yaitu kuliah di universitas di desa itu, dan jaraknya pun cukup dekat dengan rumah yang mereka tinggali.
Sedangkan Cinta, ia harus berhenti sekolah, karena keadaan ekonomi, dan Paman Hamid yang selalu menyuruh untuk memutuskan sekolah di tengah jalan.
Cinta, melapangkan dadanya, ketika ia harus berhenti di kelas dua SMP, pendidikan yang cukup rendah untuk sekarang.
Sedangkan Moa, mereka menyekolahkan Moa pada jalur yang tinggi, padahal dari masalah nilaipun, Cinta sering menduduki peringkat pertama berbeda dengan Moa, yang bersekolah hanya untuk menutupi gengsi saja.
"Aku tidak melakukan apapun pada Moa Bik," ucap Cinta, ia menundukan kepalanya.
"Berikan tas yang kamu beli kemarin pada Moa!!" Bibi Absah, memerintah hal yang membuat Cinta seketika mendongakkan kepalanya.
Bukan apa, Tas yang baru saja di beli oleh Cinta, kemarin siang, adalah tas impiannya sejak dulu, dan Cinta menabung dari hasil bekerjanya untuk bisa membeli tas itu sendiri tanpa harus membebani paman dan bibinya.
"Tapi Bik, itu adalah hasil kerja kerasku, aku tidak mungkin melakukan itu." Lirih Cinta, dengan wajah yang mulai terasa panas.
"Cepat berikan tas itu pada Moa, setidaknya kamu harus membalas kebaikan kami." Pak Hamid ikut berbicara, sepertinya ia baru saja dari belakang rumah, karena telah memberi makan ternaknya.
Dengan kebesaran hatinya, Cinta mengambil sebuah tas yang memang indah, dan sebenarnya sudah menjadi incarannya sejak dulu.
Cinta melihat Moa, yang terduduk diam seraya menatap lurus di cermin, entahlah sebenarnya Moa bisa saja mendapatkan apa yang lebih bagus dari Cinta, tapi setiap apapun yang di punyai oleh Cinta, Moa pun selalu menginginkannya.
"Moa." Panggil Cinta, dengan lembut, ia berdiri di ambang pintu.
Moa melihat ke arah Cinta, dengan tatapan sinisnya, sebenarnya memang Moa sudah meminta tas itu pada Cinta, tapi dengan halus Cinta menolak, karena itu hasil kerja keras yang ia kumpulkan.
"Ngapain kamu kesini?" tanya Moa, menatap nyalang pada Cinta, Moa sama sekali tidak pernah bersikap sopan pada Cinta, padahal Cinta lebih tua darinya.
"Ini tas untuk kamu." Cinta menyerahkan tas kesayangannya pada Moa dengan lapang dada.
Dengan sumringah, Moa berdiri dari duduknya dan langsung berlari mengambil tas selempang itu, ia lalu menyuruh Cinta pergi tanpa berterimakasih lagi.
Dada Cinta terasa begitu sesak, sedari dulu, selalu saja begini, Paman dan Bibinya tidak pernah menasehati Moa, rasa sakit itu terus saja menyeruak.
Cinta pergi ke sebuah sungai, dengan mengayuh sepeda yang cukup cepat, Cinta akhirnya sampai di sungai kecil namun sangat indah.
Cinta terduduk di atas batu besar, yang bertengger kokoh di atas air mengalir itu. tidak ada siapapun di tempat itu, ketenangan, dan kehijauan di tempat itu mampu membuat perasaan Cinta menjadi tenang.
Leo, seorang pemuda yang sedang mencari swa foto yang indah, melihat pemandangan yang bagitu bagus, dan pemandangan itu adalah Cinta.
Leo tidak menyia-nyiakan itu, dengan segera lelaki berwajah tampan itu langsung memotret Cinta tanpa sepengetahuan sang empunya.
Sebenarnya, Leo adalah seorang pria yang mempunyai bisnis disebuah kota, ia pergi ke kampung untuk mencari mangsanya.
Dan pandangan Leo, tertuju pada Cinta, sejak 2 Minggu yang lalu, seorang gadis yang mempunyai etika baik, dan tidak suka keluyuran saat malam hari.
Setelah selesai dengan hobinya, ia segera melangkahkan kakinya mendekati Cinta, wanita yang baru satu bulan ini ia kenali.
"Ehm," Leo berdehem, membuat Cinta, seketika menoleh.
"Sedang apa di sini?" tanya Leo, dan duduk di samping Cinta.
"Tidak apa-apa. Hanya sedang menikmati indahnya sungai ini saja." Cinta berdusta. Untuk menutupi rasa sakitnya.
Namun Leo melihat kalau mata Cinta sembab dan memerah, sepertinya Cinta habis menangis.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Leo, dan menaikkan kedua alisnya.
Cinta yang ingin mendapatkan teman curhat, seketika senang melihat kekhawatiran Leo, pemuda yang baru ia kenal satu bulan yang lalu, dan Leo mempunyai sikap yang baik.
Cinta menceritakan semua keluh kesahnya pada Leo, ia juga menceritakan kejadian barusan yang membuat hatinya menjadi sakit.
Leo menyeringai mendengar cerita dari Cinta ia rasa, ini adalah kesempatan yang sangat baik, dan tidak boleh ia sia-siakan begitu saja.
"Menikahlah denganku, aku akan membuatmu bahagia, tanpa ada yang bisa menyakitimu lagi, aku akan membawamu pergi dari sini."