Selamat Membaca
Cangcimen ... cangcimen ... cangcimen ....
Seorang anak lelaki yang berdagang asongan di terminal, membuat mataku tertuju pada punggungnya. Ya, kulihat ia sedang menggendong seorang anak perempuan berusia kira-kira sekitar dua atau tiga tahun. Punggung anak lelaki itu menggendong, sedangkan tangannya menjinjing barang dagangannya. Ternyata masih ada yang hidupnya lebih susah dariku, batinku.
"Bi, anak itu jual apa sih? Namanya baru kudengar. Cangcimen. Lucu sih namanya. Hihi," ujarku seraya menunjuk anak lelaki itu dengan jari telunjuk tangan tanganku. Sedangkan tangan kiriku, digunakan untuk menopang dagu karena mulai bosan menunggu bus.
"Ooh. Non mau beli itu? Cangcimen itu, kacang, kuaci, permen. Kalau Non mau beli, biar bibi panggil anaknya." Bi Surti membuatku tertawa geli saat mendengar kepanjangan dari nama itu.