Chereads / My Sweet Blood / Chapter 2 - Lelaki Pendamba Bulan

Chapter 2 - Lelaki Pendamba Bulan

Ann celingukan ke segala arah, memastikan bahwa ia berada di tempat yang tepat. Cuacana dingin semakin menggila, angin bertiup semakin kencang. Ia merasakan kedua kakinya mati rasa dan bertanya-tanya berapa lama lagi waktu yang tersisa sebelum seluruh anggota tubuhnya membeku, seperti sebongkah es yang sangat besar.

Ann mendongak ke atas, awan di langit berwarna kusam keabu-abuan, bergumpal-gumpal seperti tumpukan kapas yang sudah lapuk digerogoti usia. Ia tidak tahu pukul berapa, jam di tangannya mati dan ponselnya kehabisan baterai. Namun, dari bentuk awan yang mulai menggelap dan embusan angin yang bertiup semakin dingin, matahari sebentar lagi akan kembali tertidur dan menggantungkan bulan di langit sebagai gantinya. Ann sudah harus berada di dalam motel sebelum malam semakin larut, jika tidak, ia pasti akan berakhir menjadi manusia salju yang beku.

Ia memalingkan wajah ke arah depan, pada jajaran bangunan-bangunan berdiri megah; rumah-rumah warga, bar-bar kecil menyediakan minuman dalam gelas berukuran besar dan botol-botol anggur berwarna bening, motel-motel berdinding cerah, dan beberapa bangunan yang tidak diketahui difungsikan sebagai tempat apa.

Tak ada siapapun yang berkeliaran di luar. Semua orang memilih mengurung diri di dekat perapian yang menyala, menjauhkan diri dari suhu udara yang bisa menyebabkan hipotermia, sambil menikmati segelas coklat yang hangat di depan televisi, menonton acara favorit.

Ann berjalan ke arah persimpangan jalan yang licin, hamparan salju menutup seluruh jalan, mengubah warna aspal yang legam menjadi seputih kapas yang baru saja di petik dari pohonnya. Ann memandang ke segala arah untuk mencari informasi yang berguna, kemudian ia melihat papan petunjuk berdiri kesepian di pinggir jalan, permukaannya putih tertutupi salju.

Ann berjalan ke arah papan petunjuk, melawan deruan angin yang menebarkan hawa dingin, kedua kakinya terasa berat saat melangkah. Dengan menggunakan telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan dari bulu domba, Ann mengusap papan pentujuk itu. Pada salah satu papan petunjuk jalan, Ann melihat tulisan 'whitertown' pada sebuah papan baja. Ia berada di tempat yang benar. Ann hanya perlu mencari Motel Snow House, nama motel yang sudah ia pesan melalui layanan online.

Ada dua persimpangan di Whitertown, sebelah kirinya ada jalan kecil yang membentang seperti seekor ular yang berkelok-kelok, sementara di sisi kanan jalannya lurus seperti busur panah. Di sisi kedua jalan itu bangunan-bangunan berdiri gagah, atapnya menanggung tumpuk salju. Ann tidak yakin harus berjalan ke sebelah man

Tidak berapa lama, dari arah timur, tempat dimana gunung salju abadi berdiri tegak, menatap kota Winterbrug dengan tatapan angkuh, muncul sebuah mobil jeep hitam ke arah Ann. Kedua bola lampunya menyala, bersinar ke emasan mengarah pada jalanan. Ann segera meloncat ke pinggir jalan untuk meminta bantuan.

"Hey, bisakah kau menolongku?" Ann berteriak sambil melambaikan tangannya.

Mobil Jeep hitam itu berhenti di pinggir jalan di dekat Ann, lampunya masih menyala dan suaranya mesinnya menderu nyaring. Kaca mobil itu diturunkan, dari balik kaca hitam tersebut kepala seorang lelaki menjorok ke luar. Di dalam mobil jeep itu ada dua orang laki-laki, penduduk asli. Ann langsung mendekatinya, sambil berkata,

"Halo, maaf mengganggu waktu perjalanan kalian, tapi bisakah kalian menunjukkan arah jalan ke Motel Snowhouse?" tanya Ann dengan ramah, berharap dua orang di dalam mobil itu bersedia menunjuk arah yang benar.

Kedua lelaki itu saling berpandangan, senyuman yang ganjil tergambar di kedua bibir mereka. Salah satu dari mereka menjawab,

"Tentu saja. Kau bisa ikut dengan kami," kata pengemudi mobil Jeep, tubuhnya lebih kecil dari lelaki di sampingnya, tetapi kedua bola matanya jernih, seperti es yang baru saja mencari.

"Kami bisa mengantarkan kamu ke sana," kata lelaki satunya lagi, suaranya berat.

Untuk sesaat Ann tak menjawab, ia ragu.

"Kami bekerja di sana," kata pengemudi bermata cemerlang saat melihat keraguan yang tergambar jelas di wajah Ann.

"Oh, ya? kebetulan yang menggembirakan." Ann akhirnya merasa lega.

Pintu belakang Jeep hitam itu terbuka, Ann segera masuk ke dalamnya tanpa merasa curiga sedikitpun.

****

Tak jauh dari mereka, seorang lelaki misterius mengawasi gerak-gerik mereka, terutama tingkah Ann. Kedua tangannya mengepal saat melihat Ann masuk ke dalam mobil Jeep itu.

*****

Suhu di dalam mobil jauh lebih hangat dari pada di luar. Ann meletakan ranselnya di samping, didekat tumpukan kardus. Mobil itu dipenuhi oleh barang-barang, kaleng minuman bersoda -Ann menginjak salah satunya, juga tumpukan barang yang tidak Ann ketahui di belakang kursi. Pengharum mobil yang menggantung di depan dekat kaca spion tengah tidak mampu menetralisir bau apek yang menguar di udara. Sesaat Ann merasakan gejolak mual saat lambungnya memberontak, ia menahan diri agar tidak muntah di atas kursi.

"Terima kasih atas tumpangan kalian," kata Ann.

"Namaku Jack dan itu rekanku, Roland," kata lelaki bertubuh pendek dengan ramah. Lelaki yang disebut Roland mengangguk, ia memakai penutup kepala berwarna senada dengan jaket hangatnya, cokelat.

"Tampaknya kamu datang dari tempat yang cukup jauh," kata Jack sambil mengendarai mobilnya. Mobil Jeep meluncur pelan ke arah jalan yang berkelok-kelok, menderai tumpukan salju yang menutupi jalan, menyisakan tapak ban membentuk lubang di atas permukaan jalan bersalju yang cukup tebal.

"Ya, lumayan menguras tenaga," jawab Ann. Sebenarnya kata yang paling tepat adalah; Ia sangat lelah, kakinya mati rasa, dan perutnya berteriak nyaring, meminta untuk diisi.

"Kalau begitu selama datang kota Winterbrug," kata Roland, suaranya berat, bibirnya hitam, tembakau telah mengikis warna bibirnya.

"Terima kasih banyak," Ann tersenyum.

"Tempat yang menjengkelkan. Musim dingin tak pernah berakhir, membuat kulit penduduknya mengerut seperti karet." Roland terkekeh-kekeh dengan suara getir.

"Aku juga bertanya-tanya, apa yang di cari oleh para turis di tempat mengerikan ini? Tidak ada yang istimewa di tempat terkutuk ini, kecuali hawa dinginnya yang menyebalkan." Jack menggerutu.

"Kudengar aurora di sini sangat indah," Ann menimpali.

"Kau salah besar Nona," Roland menoleh ke arah Ann.

"Keindahan aurora di Winterbrug tak ada tandingannya. Seolah Tuhan sendirilah yang mengambil warna dari surga dan menyapukannya di atas langit. Indah sangat indah," kata Roland, matanya berbinar terang.

Ann terpesona pada cara penduduk asli menyambut kedatangan turis asing dengan ramah. Senyuman mereka sangat hangat, seperti mentari pagi. Roland dan Jack contohnya, walau Wintertown adalah kota yang dingin, tetapi tidak membuat kepribadian penduduknya menjadi beku apalagi antipati.

Akan tetapi, Ann keliru. Keramahan berlebihan yang ditawarkan oleh orang asing seharusnya diwaspadai, terlebih jika datang seorang diri. Karena tidak pernah ada yang tahu apa yang disembunyikan oleh orang lain di balik senyum yang hangat.

"Apakah masih jauh?" tanya Ann.

Mobil sudah berjalan cukup lama, melewati rumah-rumah yang berjajar, juga melewati danau kecil yang beku, tetap mereka belum sampai juga di tempat tujuan. Ann mulai bertanya-tanya benarkah jalan yang mereka lalui?

"Sebentar lagi sampai, tuh, atapnya sudah terlihat," kata Roland, telunjuknya mengarah pada bangunan di atas bukit .

Ann melongok ke arah yang ditunjuk oleh Roland, menatap sebuah bangunan di atas bukit, tumpukan salju membeku di atas atapnya.

Mobil yang mereka tumpangi menanjak ke arah bukit, di sisi-sisi jalan berdiri pepohonan yang merana, daun-daunnya membeku, cabang-cabangnya mencuat ke atas seperti tangan-tangan kurus bersarung tangan putih. Ada juga yang menunduk ke bawah, menahan beban salju yang menempel di daun-daunnya.

Mobil sudah berada di puncak bukit, berbelok ke arah kanan, lalu berhenti di depan sebuah bangunan tua. Roland turun dari mobil di ikuti oleh jack.

Ann merasa ada yang ganjil, bangunan di depannya tidak seperti sebuah motel yang ia lihat di ponselnya. Bangun itu lebih mirip kastil tua yang tidak berpenghuni, pada sisi kanan dan kirinya, pepohonan yang beku menjulang ke langit. Batang-batangnya sangat besar dan menghitam, di atas dahan-dahan pohon bertengger gagak-gagak sehitam arang, matanya semerah darah.

Kaok! Kaok!

Gagak-gagak itu mengaok dalam keheningan, beberapa ekor di antaranya terbang di udara, lalu hinggap di atas mobil yang Ann tumpangi. Ann mendekap tasnya, perasan cemas menghantamnya tanpa ampun.

"Keluarlah, kita sudah sampai!" Jack menggedor pintu mobil dengan kasar. Namun, Ann semakin merapatkan diri, ia menolah keluar.

"Keluar! Kubilang kita sudah sampai."

Roland berteriak, kedua tangannya membuku pintu mobil, merangsek masuk dan menyergap tubuh Ann yang kurus, lalu menarik tangan Ann dengan kasar.

Ann memberontak sekuat tenaga, kedua tangannya mencengkram kursi mobil dengan erat. Namun, tenaga Ann tidak sebanding dengan kekuatan Roland. Tangan Ann terikat, tubuh kurusnya digusur seperti sekarung tepung yang ringan ke arah kastil yang gelap. Ann ke sudut ruangan.

"Lepaskan aku, Bedebah! " Ann berteriak, ia menendang-nendang kakinya ke udara.

"Kau memang wanita pemberani." Jack menghampirinya lalu mendongakkan dagu Ann dengan kasar. Kemudian menyumpal mulut Ann dengan sebuah kain merah. Bau darah menusuk hidung Ann, perutnya bergejolak menahan mual.

"Atau bodoh."Jack tertawa, matanya berbinar dan buas, seperti seekor serigala menemukan mangsanya.

"Ada sesuatu yang menarik dari dirimu, Nona. Aroma tubuhmu sangat harum."

Jack mengendus-endus rambut, wajah, dan leher Ann yang mulus seperti seekor anjing kelaparan menemukan makanan yang tersembunyi di balik plastik tipis.

"Darah yang mengalir dalam tubuhmu adalah darah yang dikutuk sekaligus diburu oleh semua mahkluk malam. "

Tangan Jack menyentuh leher Ann, kuku-kukunya menjadi panjang dan runcing. Kemudian, Ann menjerit tanpa suara, lehernya terasa terkoyak, darah segar merembes keluar. Ann merasakan sakit yang luar biasa.