Chereads / SANG PENJAGA TERAKHIR / Chapter 5 - 5. Cindaku

Chapter 5 - 5. Cindaku

Kurang dari satu setengah jam berjalan mengikuti Mori yang dipandu oleh dua pasang cahaya mata "Datuk" dan tidak mencapai jarak empat kilo meter dari tempat Mori menemukan tim pencari lain yang sudah memasuki daerah terlarang, akhirnya di sebuah tanah lapang yang hanya ditumbuhi rumput yang seolah terawat walau hanya beberapa meter luasnya, terlihatlah sebuah makam kuno di tengah hutan.

Makam kuno yang besar dan panjang mencapai empat meter, tinggi satu meter setengah. Di buat dengan tiga tingkat, yang paling bawah adalah alas makam dengan lebar mencapai dua meter dan tinggi tiga puluh senti meter, bagian yang kedua dibuat sedikit lebih besar dari bagian teratas lalu di bagian atas itulah tertanam dua nisan dengan aksara Arab Melayu klasik khas masa kerajaan Melayu lama dan kerikil putih bersih yang seolah terawat memenuhi bagian atas makam selain batu nisan.

Di bawah pohon yang tidak jauh dari makam tua yang begitu besar, terlihat dua orang polisi hutan, dua warga tempatan dan seorang tahanan yang tertidur berdekatan. Tim pencari yang melihat ke delapan orang itu segera berlari untuk memberi bantuan medis.

Ternyata begitu mudahnya ke lima orang yang sempat dinyatakan menghilang selama tiga hari itu dibangunkan dan ke lima orang itu mengira baru saja istirahat setelah berlari berputar-putar. Tim pencari benar-benar merasa bersyukur ke lima orang yang dicari itu baik-baik saja, mereka hanya kelelahan, kedinginan dan tentu saja juga kelaparan.

Minuman dan makanan yang sengaja dibawa untuk dua Polisi Hutan, dua warga dan satu tahanan yang baru ditemukan itu segera diberikan untuk mengisi tenaga ke lima orang itu.

Ketika tim pencari lain sedang sibuk memeriksa lima orang yang baru ditemukan, Mori melangkah pelan mendekati makam kuno, penasaran. Di balik makam kuno ketika Mori mendekat karena merasa ada yang sedang menunggunya, terlihat seorang anak laki-laki berpakaian melayu hitam-hitam khas bangsawan yang seusia dengan Mori duduk di alas makam. Anak laki-laki itu jelas berwajah campuran, bertubuh tinggi, mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti meter lebih tinggi dari Mori pastinya.

 Anak laki-laki itu tersenyum melihat Mori.

"Jadi kamu yang memanduku ke tempat ini?"

Anak laki-laki itu mengangguk, masih tersenyum ramah.

"Itu makam kamu?"

Anak laki-laki itu menggeleng pelan, masih memasang senyum.

"Apa kamu penjaga makam ini?"

Anak laki-laki itu menggeleng lagi.

"Lalu kenapa makam itu menjadi penyebab daerah terlarang?"

"Makam ini hanya makam kosong, makam tanda. Memang ada yang menjaga, tapi hanya sekedar untuk membuat tidak ada yang berani merusak hutan atau pun berbuat yang macam-macam dengan hutan ini!"

Mori lebih memperhatikan anak laki-laki berpakaian Melayu hitam, anak itu terlihat sangat nyata tidak seperti makhluk kasat mata yang sering dilihatnya, dia mempunyai ekspresi, mata yang memancarkan cahaya kehidupan dan... Penasaran, Mori pun mendekati anak laki-laki itu dan juga lebih memperhatikan makam yang didudukinya apa benar seperti perkataannya hanya sebuah makam tanda, Mori tidak percaya karena anak laki-laki itu berwajah campuran.

"Tidak apa-apa kamu tidak percaya." Tiba-tiba anak laki-laki itu berbicara seolah dapat memahami apa yang dipikirkan Mori. "Aku jauh lebih dahulu ada dibanding masuknya bangsa yang menduduki negara ini. Aku tidak minta dikembalikan ke tempat asal seperti bangsa bermata biru yang pernah kamu temui."

"Lalu apa mau mu memanggilku ke makam tanda ini?"

"Aku hanya ingin melakukan lima hal. Yang pertama jelas untuk membantu kamu mengembalikan orang-orang yang terjebak masuk daerah terlarang."

"Membantu?!"

Anak laki-laki itu mengangguk. "Untuk membuktikannya mendekatlah, masuk ke dalam batu-batu yang mengelilingi makam."

Mori mengikuti perkataan anak laki-laki itu, melangkah masuk ke dalam batu-batu seukuran kepalan tangannya yang baru terlihat olehnya mengelilingi makam.

 Anak laki-laki itu mengangguk.

"Kalau begitu apa yang kedua?"

"Yang kedua, aku hanya ingin melihatmu dan yang ketiga meminta sedikit waktumu untuk berbicara."

"Oke, sekarang kamu sudah melihatku dan sedang berbicara denganku. Terus apa yang keempat dan kelima?"

"Yang keempat... sebenarnya ini hanya persiapan kelayakan kamu."

"Persiapan kelayakan? Persiapan apa?"

"Lima tahun lagi, di usiamu yang ke sembilan belas kamu akan tahu. Dan lima, yang terakhir... Meskipun kamu kuberi tahu sekarang, tapi itu pasti akan percuma karena nantinya kamu akan melupakan semua yang terjadi di sini karena kemampuanmu yang masih terbatas..."

 Mori terdiam mulai merasakan takut karena aura dengan keberadaan anak laki-laki di hadapannya, Mori mundur perlahan saat anak laki-laki berpakaian melayu berdiri. "Tapi tetap saja aku penasaran dan mau tahu hal ini tentang apa?"   

Anak laki-laki itu kembali duduk dan cukup membuat Mori bisa bernafas lega karena aura anak itu tidak biasa. Bukan manusia biasa dan bukan pula makhluk tak kasat mata yang sering dilihatnya.  

"Baiklah, kalau kamu begitu penasaran dan tidak sabar menunggu usiamu cukup, begitu juga dengan kemampuanmu."

Mori mengangguk tegas.

"Sebelum memulai lebih lanjut. Aku mau menanyakan sesuatu yang mungkin kamu pernah dengar sebelumnya walau tidak lengkap ceritanya atau justru ditambah bumbu-bumbu sehingga terdengar aneh, mustahil atau apa pun istilah orang sekarang. Apa kamu tahu itu Cindaku?"

Mulut Mori sedikit terbuka mendengar kata 'Cindaku'. Meski tidak begitu tahu mengenai makhluk mitos itu, tentu saja Mori pernah mendengarnya. "Manusia yang dapat berubah menjadi harimau. Seperti werewolf yang ada di Eropa. Bukankah itu hanya mitos?"

"Tentu saja bukan sekedar mitos kosong!"

"Jadi Cindaku sungguh ada?!"

"Kalau kamu tidak percaya lalu bagaimana cara kamu bisa menjelaskan kalau kamu bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata?"

"Kata ayah dan ibu, ini kemampuan yang diturunkan kakek dari pihak ibu."

"Apa kamu pernah bertanya langsung pada kakekmu?"

Mori menggeleng. "Kakek tinggal di Bukit Tinggi. Aku sering ke sana. Pernah bertanya, tapi kakek berharap aku tidak memiliki kemampuan yang sama dengannya."

"Baiklah, sekarang akan aku jelaskan apa itu Cindaku. Cindaku itu adalah manusia biasa yang mempelajari ilmu magis untuk menjaga hubungan baik manusia dengan harimau. Cindaku memang dapat berubah menjadi harimau atau setengah harimau, tapi hal itu dilakukan hanya untuk menjaga keseimbangan hubungan antara harimau dan manusia. Jika ada cerita lain mengenai Cindaku, itu berarti pemilik kemampuan itu tidak menggunakan kemampuan yang diturunkan kepadanya dengan bijaksana!"

"Hum... jadi Cindaku itu sebuah kemampuan yang diturunkan langsung pemilikinya pada keturunannya? Jangan katakan kalau aku ada hubungannya dengan Cindaku?!"

Anak laki-laki tadi hanya tersenyum.

Mori menggelengkan kepalanya. "Itu tidak mungkin!"

"Tidak ada yang tidak mungkin. Kakekmu menolak kemampuan yang diturunkan kepadanya karena dia tidak mau tergoda menyalahgunakan kemampuannya sebagai penjaga!"

"Ja, jadi kalau itu benar... apa artinya aku juga bisa berubah menjadi harimau?"

"Ya, tentu saja bisa." Sahut satu suara perempuan yang muncul dari kegelapan, memperlihatkan sosoknya dalam perwujudan sempurna sebagai harimau.

Mori bergerak refleks mundur dan naik ke atas makam kuno.

"Tidak sopan! Meski pun itu hanya makam tanda." Ucap harimau yang semakin mendekat.

"Ta, tapi, aku takut dan ini hanya refleks saja..." seru Mori dengan tergagap karena ketakutan.

"Tidak apa-apa. Turunlah." Ucap anak laki-laki tadi dengan tertawa kecil melihat tingkah Mori yang di luar perkiraannya.

Mori mengangguk dan turun perlahan. Ketika Mori sedang turun, sosok harimau tadi sudah ada di balik makam dan ketika menginjak tanah, Mori melihat harimau tadi dalam sekejap mata telah merubah sosoknya menjadi manusia perempuan yang sangat cantik dengan kemeja hitam, celana kulot berwarna coklat dan sepatu sneaker.

"Inilah wujud asliku. Manusia sama sepertimu. Akulah yang menjadi pemandumu dari pos polisi." Ucap perempuan itu.

Mori menunjuk anak laki-laki di hadapannya. "Jadi bukan dia yang tadi?"

Perempuan itu menghela nafas kesal. "Tampaknya kamu harus diajari sopan santun!"

Sementara itu anak laki-laki yang berbicara dengan Mori dari awal hanya diam saja dan tersenyum lebar.