Malam di tengah hutan adat Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau. Sebuah pondok darurat yang belum begitu siap pembangunannya, baru rangka dan atap yang terpasang sementara dindingnya adalah terpal plastik. Dari pondok di tengah hutan dengan lampu penerangan menggunakan generator listrik, terdengar alunan musik dangdut memecah sunyi dan gelapnya malam.
Lima orang yang ada di dalam pondok sedang asyik meneguk miras dan terkadang akan berjoget seperti orang gila. Mereka baru saja sampai di hutan itu pada pagi hari. Membawa kayu untuk mendirikan pondok, seng, generator dan peralatan lainnya. Mereka adalah penebang hutan ilegal karena sudah jelas dari status hutan yang merupakan hutan adat.
Tiga dari lima penebang liar itu ada yang membawa pisau komando dan tersangkut di pinggang dan satu orang lainnya ada yang memiliki senjata api laras pendek yang diselipkan pada punggung celananya. Hanya satu orang yang tidak mempersenjatai diri karena terlilit hutang, rela bekerja apa saja selagi tidak membunuh atau merampok.
Ketika lima orang itu asyik berjoget, tanpa mereka sadari ada dua kubu yang tengah mengintai untuk menyergap. Yang pertama adalah kedatangan dalam derap sepatu secara perlahan namun pasti, maju dalam dua tim membawa serta senjata laras panjang milik polisi hutan dan warga tempatan yang memberi informasi tentang kedatangan penebang liar sebagai pemandu.
Begitu polisi hutan yang terbagi dalam dua tim akan melakukan penyergapan, salah satu polisi muda dengan senjata laras panjang berjalan mengendap bersama rekan seniornya melihat dua kilatan cahaya kecil di antara gelapnya hutan.
Polisi muda yang berada di tengah timnya itu terdiam beberapa detik, tapi segera tersadar karena punggungnya ditepuk dari belakang agar terus maju oleh polisi senior. Itulah kubu kedua yang mengintai para penebang liar.
Dari dua sisi berbeda, depan dan belakang pondok polisi hutan itu saling berkomunikasi dan menunggu tanda untuk melakukan penyergapan. Begitu sebuah sinyal sebagai tanda untuk penyergapan dilakukan para polisi hutan langsung menodongkan senjata.
"ANGKAT TANGAN SEMUA!! KALIAN SUDAH DIKEPUNG!!!" teriak salah satu polisi hutan dengan menodongkan senjata pada lima orang lelaki di dalam pondok darurat. Namun para lelaki penebang liar yang sudah tahu resikonya dan mempersenjatai diri itu bergerak refleks untuk melarikan diri dengan berguling di lantai tanah dan melarikan diri dari sela dinding terpal. Hanya satu orang yang tidak melawan dan pasrah.
Tembakan peringatan tidak lagi mempan pada penebang liar bersenjata, polisi hutan langsung mengarahkan larasnya pada betis para penebang liar yang berusaha lari.
TRANK!!! Suara benturan senjata laras panjang polisi hutan dengan salah satu penebang liar yang menggunakan parang ketika disergap begitu keluar dari pondok darurat. Karena terlalu dekat polisi itu tidak menembak, ia menggunakan bodi senjata untuk melindungi diri lalu menghantam kepala penebang liar yang menyerangnya menggunakan gagang senjata. Begitu penebang liar itu tersungkur barulah polisi hutan itu menodongkan senjatanya dan melemparkan borgolnya pada warga tempatan yang menjadi pemandu. "Jangan bergerak!"
Warga yang menjadi penunjuk arah segera membantu menahan penebang liar dengan menggunakan borgol yang dilemparkan polisi hutan padanya.
Sementara itu penebang liar yang membawa pistol segera menjadi sasaran pertama timah panas pada betisnya karena terlihat mencabut pistolnya dari balik punggung. Penebang liar itu jatuh tersungkur dan meraung kesakitan.
DORR!! DOR!! Suara tembakan lainnya diarahkan kepada dua penebang liar yang telah berlari cukup jauh. Penebang liar itu pun terjatuh dengan luka tembak pada betisnya, namun salah satunya masih tetap berusaha melarikan diri karena sudah cukup jauh dari pondok darurat tetapi, gerakannya terhenti ketika melihat kilatan sepasang cahaya berwarna kuning dalam hutan di depannya.
Tiga penebang liar yang berusaha melarikan diri telah dikumpulkan di dekat pondok. Mereka merintih kesakitan, darah segar dari luka tembak pada betis masih mengalir. Penebang liar yang kepalanya terluka dan juga berdarah cukup banyak melihat kepada rekan barunya yang jongkok dengan tangan diborgol ke belakang sama sekali tidak terluka karena menyerahkan diri.
Mobil polisi hutan yang membawa para polisi dan warga tempatan sebagai pemandu yang sebelumnya dihentikan tidak jauh dari pondok penebang liar segera membawa para penebang liar yang terluka. Karena mobil itu kecil, maka dua polisi hutan, dua warga sebagai pemandu dan penebang liar yang tidak terluka terpaksa ditinggalkan dan akan segera dijemput.
Selagi menunggu jemputan datang polisi hutan yang tinggal bersama dua warga dan seorang penebang liar yang menyerahkan diri baik-baik, membakar pondok darurat agar tidak dimanfaatkan oleh penebang liar lainnya. Ketika menunggu api padam dan jemputan datang, polisi muda yang tinggal kembali melihat kilatan sepasang cahaya kuning bergerak di antar pohon dalam gelapnya hutan.
Polisi muda itu menyenggol lengan rekannya yang duduk menghadap pondok yang terbakar layaknya pesta api unggun. "Apa hutan ini terhitung jalur perlintasan 'nya'?"
"Jalur perlintasan apa? Bicara yang jelas!" sahut polisi senior itu tanpa memperhatikan polisi muda.
"Itu perlintasan yang warga sini sebut 'Datuk'!"
Polisi senior itu menoleh cepat ke arah polisi muda juniornya. "Jangan bercanda dengan sembarangan sebut namanya malam-malam di tengah hutan!"
Si penebang liar yang duduk termenung tiba-tiba melihat ke arah gelapnya hutan di seberang pondok yang tinggal bara. Dengan cepat ia lalu menggoyangkan bahu polisi hutan senior. "Pak, pak..."
"Aduh. Ini ada apa lagi? Apa minta ditinggal benaran kamu di sini?" kesal polisi senior sambil menoleh ke arah si penebang liar.
"Pak sepertinya ada yang datang karena bau amis darah bekas luka tembak rekan saya yang mencoba melarikan diri tadi!" bisik si penebang liar.
Si polisi muda paham apa yang dimaksud laki-laki itu. "Benar Bang Andi!"
"Pak Andi, ada baik kita berangsur pergi dari sini!" ucap salah satu warga tempatan yang menjadi pemandu sambil berdiri namun matanya memperhatikan jauh ke depan.
Polisi senior yang dipanggil Andi melihat ke arah yang diperhatikan pemandunya. Ia juga melihat kilatan sepasang cahaya kuning. Memperhatikan dengan seksama, setelah menyadari ada sesuatu yang lain, bukan sekedar 'Datuk' panggilan warga tempatan pada harimau, Andi segera membawa tim kecilnya berangsur mundur. Terlebih ketika mendengar suara aumannya.
Dalam gelapnya malam di tengah hutan yang mencekam, dengan gerimis dan kabut yang turun cukup tebal menambah kengerian dua anggota Polisi Hutan, dua warga sekitar yang baru melakukan penyergapan bersama terhadap penebang liar di hutan adat Rimbo Panjang.
Dua Polisi Hutan, dua warga tempatan dan satu tahanan itu terpaksa mengangsur kembali ke pos Polisi Hutan terdekat dengan berjalan kaki, karena saat menunggu jemputan terdengar suara auman "Datuk", sebutan warga tempatan untuk Harimau Sumatra serta sepasang kilatan warna matanya. Mereka berusaha sebisa mungkin tidak sampai terpencar meski ketakutan, nafas yang memburu karena terus berlari berpacu dengan rasa takut.
Awalnya mereka pikir kedatangan "Datuk" itu karena bau amis dari darah penebang liar yang kakinya terluka setelah berhasil ditembak oleh Polisi Hutan ketika penyergapan dan mencoba melawan, tapi daerah penyergapan sudah jauh ditinggalkan sebelumnya untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, namun terjadi juga. Dan hujan yang turun harusnya sudah mengurangi bau amis darah yang berceceran di tanah hutan. Semuanya juga sudah memutar otak untuk mengingat apa sempat melakukan hal yang terlarang tanpa sengaja karena pelarian mereka terasa hanya berputar-putar.
Hujan yang turun semakin deras, kabut yang turun juga bertambah tebal, kelelahan memuncak ketika kepasrahan akan apa yang terjadi diserahkan kepada Sang Pencipta. Dan keajaiban di tengah rasa putus asa itu pun terjadi, "Datuk" yang mengikuti mereka mungkin mundur untuk sementara di hujan deras karena kilatan sepasang mata itu sudah menghilang. Dua anggota Polisi Hutan, dua warga tempatan dan satu tahanan masih bersama, mereka terduduk di bawah pohon paling besar, diketahui dari rendahnya curah hujan yang turun dari pohon itu.
Ketika hujan reda dan langit pun mulai cerah, cahaya bulan yang terang setelah hujan memperlihatkan apa yang ada di sekitarnya meski masih tersisa sedikit kabut. Sebuah makam kuno terlihat di hadapan dua Polisi Hutan, dua warga tempatan dan satu tahanan. Makam yang pajang dan besar, jelaslah yang terkubur di makam itu orang yang berkedudukan tinggi di masa kerajaan Melayu kuno dan sepasang cahaya mata "Datuk" tadi pastilah prajurit gaib penjaga makam kuno itu. Dan tahulah ke lima orang itu apa penyebab mereka diikuti "Datuk" seolah tidak henti-hentinya, sebelum melakukan penyergapan penebang liar tadi pasti mereka memasuki kawasan terlarang tak kasat mata sehingga 'penjaga' makam kuno menjadi kesal.
Mereka terjebak dan kecil kemungkinan bisa kembali.