"Papa sedang apa?"
Pria setengah baya itu sontak berbalik. Sepasang alisnya tampak naik. Disertai deru napas yang memburu. Ada gurat tak santai dari setiap lekuk di raut wajah. Raganya mematung, keringat dingin bermunculan menyerupai benih jagung.
"Menunggu mamamu," ucapnya terlampau singkat.
Gadis yang sebelumnya bertanya, kini berbalik dibuat bingung. Alisnya hampir bertaut, berjalan lebih dekat pada pria tersebut.
"Mama ada di kamar, ia tidak pernah keluar semalam ini," balasnya dengan satu tarikan napas.
Mendengar hal itu, pria dengan tubuh tegap tersebut langsung pergi. Membiarkan gadisnya terdiam seraya memandangi langkah-langkah lebarnya.
"Semakin hari Papa bertambah aneh," gumamnya.
Baru satu langkah berbalik, bunyi ketukan pintu yang amat lirih terdengar. Bola mata gadis itu bergerak, segera menatap jam dinding.
"Pukul satu dini hari. Siapa tamunya?"
Tanpa berlama-lama, gadis itu membuka kunci yang ternyata sudah terbuka sejak sebelumnya. Sempat menaruh curiga dalam keterpakuan, tetapi kembali mendengar ketukan pintu.
"Maaf, mencari siapa?"
"Kamu Alamanda, ya?"
"Iya."
Gadis bernama Alamanda itu pun sedikit terkejut. Setelah pintu utama dibuka lebar olehnya, muncul seorang wanita berpenampilan tak pantas. Paha dan dada diumbar dengan bebas. Bibir merah merona dengan bulu mata badai yang sepertinya sudah bertautan dengan bulu mata aslinya.
"Maaf, Anda mencari siapa, ya?" tanyanya berulang.
Wanita yang hanya setinggi bahu Alamanda itu sedikit bingung. Tampak keras berpikir.
"Pacar saya," ungkapnya.
Nada bicara amat lirih, terdengar bergetar, disertai tunduk kepala yang semakin dalam.
Sejenak Alamanda mengistirahatkan isi kepalanya. Berusaha untuk menepis segala maksud yang sebenarnya telah menjurus. Pada sebuah kejadian yang sebelumnya telah ia curigai.
"Pak Adnan?" Dengan hati-hati Alamanda bertanya.
Mengangguk juga wanita itu.
Menahan amarah, Alamanda berjalan dengan langkah amat lebar. Menghampiri sebuah ruangan yang berseberangan dengan ruang tamu. Pintu utama masih dibiarkan terbuka. Dengan kasar, pintu ruangan yang kini sudah ada di hadapan, didobrak olehnya.
Seorang pria sedang duduk dengan gusar, sedangkan di atas tempat tidur, seorang wanita cantik seharusnya sedang terlelap. Namun, kini membuka mata dengan lebar karena bunyi pintu yang berbenturan keras dengan tembok.
Setengah lancang, Alamanda bergerak cepat menarik pergelangan tangan pria yang bernama Adnan tadi. Ditariknya menuju ruang tamu. Menemui wanita yang telah mengaku sebagai simpanan sang Papa.
"Alamanda, kamu kenapa, Nak?"
Tatapan Alamanda hanya tertuju pada satu titik. Di mana wanita penggoda telah siap sedia menyambut di depan sana. Teriakan bundanya pun dihiraukan.
Brak!
Tubuh Adnan terbentur di pintu. Tepat di samping wanita dengan tubuh yang terekspos ke mana-mana.
"Alamanda!" teriak Adnan.
"Pacarmu, bukan?" Terdengar lirih, penuh tekanan, serta amarah yang merekah-rekah.
Usapan lembut terasa di pundak Alamanda. Ternyata bundanya ikut keluar karena keributan yang tercipta.
"Sudah, Alamanda. Jangan membuat kegaduhan dini hari."
"Bukan Manda, Bun. Namun, suamimu yang tak punya akal!"
"Dia ayahmu."
"Pecinta jalang, bukan?"
Plak!
Telapak tangan kanan Adnan tampak memerah. Tatapannya nanar.
Sedangkan Alamanda hanya menampilkan senyum getir. Seolah perih di pipi tak dibuat rasa.
"Bun, Bunda ha—"
"Bunda sudah tahu."
Bola mata Alamanda bergerak menatap satu per satu manusia yang ada di sekelilingnya. Tak percaya dengan fakta. Rahasia teramat besar, ternyata disembunyikan darinya.
"Ya, sudah. Biarkan saja kalau begitu. Biar pria ini bersama dengan jalang pilihannya." Rasanya sudah pasrah jika harus menerima semua kenyataan pahit. Alamanda tidak ingin sakit, karena bundanya jauh lebih sakit. "Ah, iya, siapa namamu?"
Tatapan Alamanda menjurus pada wanita yang telah mendatangkan kehancuran dalam keluarganya.
Masih dengan menunduk, wanita itu menjawab, "Lestari."
"Baiklah, lestarikan kebiasaan burukmu," timpalnya.
Adnan masih tercengang dengan ucapan dan kelakuan Alamanda yang sangat berani. Selain itu, juga merasa bersalah karena telah membiarkan emosinya menguasai. Hingga membuat tangannya sampai menyakiti Alamanda.
"Selama kalian bersama, sudah melakukan apa saja? Banyak? Yang pasti hal-hal negatif."
"Cukup, Alamanda. Jangan salahkan Lestari dalam hal ini!" Adnan terus menimpali dengan pembelaan yang ditujukan pada Lestari.
Bibir Alamanda tertarik ke samping. "Oh, tentu tidak. Aku tahu, Pa. Yang namanya perselingkuhan, sampai kapan pun tidak akan terjadi jika dari kedua belah pihak tidak saling memiliki rasa. Perselingkuhan tidak akan terjadi jika hanya satu pihak yang maju. Digoda? Oh, tentu tidak akan tergiur jika imanmu kuat! Karena yang sah sudah tentu lebih menggoda dan halal hukumnya. Sedangkan dia? Astagfirullah, Pa. Tergoda dengan apanya? Khilaf? Khilaf adalah basinya sebuah alibi!"
Semua terdiam. Terutama bundanya yang tampak begitu tegar. Meski pada nyatanya ada sesuatu yang telah hancur. Sampai kapan pun, sesuatu yang telah hancur tidak akan pernah bisa kembali utuh.
"Kurang apa, Bunda? Cantik, pandai merawat diri, memasak juga bisa, sabar, penyayang, penampilannya selalu tertutup, bahkan Bunda adalah orang yang sudah menemani perjalanan Papa. Dari mulai Papa lontang-lantung dan sekarang sudah memiliki bisnis sendiri. Bisnis yang sudah cukup besar. Aku tidak benci Papa. Hanya tidak suka dengan perubahan yang semakin menuju pada arah yang salah."
"Kamu jangan bergaya menjadi orang dewasa. Kamu tidak mengerti apa-apa tentang dunia!" ujar Adnan dengan tegas.
Senyum getir begitu kentara. Alamanda tak membiarkan satu tetes pun air mata mengalir di pipinya.
"Silakan jika ingin pergi. Bersenang-senang dengan malam, bersama wanita yang sudah Papa pilih demi kepuasan diri, bukan?"
"Sekali lagi kamu berucap kotor dan kasar, jangan salahkan didikan Papa yang akan semakin berubah ke depannya," ancamnya.
"Oh, silakan. Aku tidak peduli dan mentalku terlalu kebal hanya dengan perlakuan yang tak wajar."
Setelah itu, Adnan benar-benar pergi bersama Lestari. Masuk mobil dan segera meninggalkan halaman rumah. Memaksa satpam yang berjaga untuk ikut terbangun di dini hari.
Masih dengan mengatur napas, Alamanda berusaha menutup pintu utama, kemudian menguncinya. Membiarkan bundanya lebih dulu duduk di sofa.
Sejak awal, Alamanda tidak sadar bila pembantu di rumahnya juga terbangun. Mengintip serta menguping pembicaraan mereka. Dari ketiga pembantunya, ada satu orang yang usianya sekitar 25 tahun. Terkenal dengan kebiasaannya menggosip ke sana-kemari.
Tatapan Alamanda menajam.
"Tidak ada pekerjaan di dini hari. Jangan ikut campur jika tak ingin pekerjaan kalian berakhir pagi nanti!"
Setelah mendengar ancaman itu, ketiganya bubar dan segera menuju kamar masing-masing.
Cukup iba ketika melihat bundanya duduk termenung di sofa. Alamanda pun segera menghampiri dan duduk di sampingnya.
"Ada yang tidak kamu ketahui. Jangan mudah berkata kasar serta menghakimi." Tatapan bundanya teramat kosong. Jauh menerawang ke depan sana.
Namun, sejurus kemudian, wanita itu menatap Alamanda. "Jangan lihat dan dengar begitu saja. Namun, ulik lebih jauh, maka kamu akan menemukan jawaban yang sesungguhnya."