Jin Rong adalah Kaisar Kekaisaran Bunga. Kendati demikian, ia hanyalah bunga lemah di hadapan suaminya. Faktanya, ia bahkan lemah di hadapan pria manapun.
Di Kekaisaran Bunga, sudah menjadi rahasia umum bahwa Jin Rong adalah mainan para bangsawan. Bahkan gelar Kaisar Teratai Emas yang disematkan padanya tidak lebih dari sebuah pelecehan verbal.
Ada ungkapan umum yang berkembang di kalangan bangsawan bahwa, "Emas selalu mulia, sementara teratai yang indah dapat tumbuh di mana saja."
Hati Jin Mu sakit setiap kali memikirkan ibunya direndahkan. Ia tahu bahwa banyak orang menganggap remeh dirinya dan diam-diam menertawakannya di belakang.
Pernah sekali ia menguping percakapan kasim istana.
"Bukankah Kaisar Teratai Emas suka ditindih lelaki mana saja?"
"Dia bahkan ditindih kuda jantan."
"Serius?"
"Yah, kudengar semalam Komandan Gerbang Utara menarik rambut kaisar ke istal prajurit dan melemparkannya pada sekelompok kuda jantan."
"Bagaimana seorang komandan bisa begitu berani?"
"Tidakkah kau tahu, menurut aturan Tuan Han, kaisar bebas di malam hari."
"Sungguh sia-sia memberikannya kepada kuda. Bukankah kita juga bisa menjadi kuda bagi kaisar?"
"Nah, kamu perlu menunggu giliranmu. Kita semua akan mendapat bagian.. haha"
"Sekarang aku bertanya-tanya siapa ayah biologis Pangeran Jin Mu?"
"Yah, mungkin saja dia anak seorang kasim."
"Atau mungkin seekor kuda? Hahaha"
"Astaga! Itu lelucon paling absurd abad ini!"
Kedua pelayan berlalu begitu saja. Meskipun itu membuat Jin Mu kesal--sehingga mendorongnya berkultivasi mati-matian--Dia paham bahwa dia tak bisa berbuat lebih. Kenyataannya, dia justru mengalami penyimpangan qi dan terluka parah.
Keluarga Jin hari ini hanyalah boneka para bangsawan. Fakta bahwa tidak ada kudeta yang terjadi sudah merupakan keberuntungan bagi mereka, kalau bukan keajaiban.
Ayah Jin Mu, Han Xiao, selalu cuek dengan pandangan orang lain. Nampaknya, dia sendiri menikmati istrinya digauli banyak lelaki. Semua orang di Ibukota Rye tahu sifat bengkoknya, karena itu ketika dia mengajukan lamaran terhadap Jin Rong, banyak bangsawan serempak mendukungnya.
Sesungguhnya Jin Mu telah sampai pada titik di mana dia meragukan Han Xiao sebagai ayahnya. Lagipula pria paruh baya itu memang hampir tidak punya campur tangan terhadap dirinya sama sekali. Mereka jarang berkontak sebelumnya. Kecuali dalam lima bulan terakhir, Han Xiao rutin mengecek kemajuan Jin Mu.
Para tabib yang melihat perilaku Han Xiao sangat tersentuh dengan cinta ayah kepada anaknya ini. Tapi Jin Mu yang tahu, alasan paling masuk akal bagi ayahnya untuk datang mengecek adalah agar dia bisa terus memeras ibunya.
Dalam lima bulan terakhir, Jin Rong yang kalang kabut tidak bisa sabar menunggu hasil dari tabib istana, dia telah mengundang banyak tamu dari negara luar untuk datang membantu. Para tabib, alkemis, juga orang suci datang satu per satu menuju Ibukota Rye. Santu Fajar adalah salah satunya.
Hanya Han Xiao yang tahu pembayaran macam apa yang diminta para tamu dari Jin Rong.
'Apakah pak tua itu benar-benar ayahku? Kenapa rasanya dia lebih jelek dariku?'
"Kenapa melamun? Ambil darah ini dan minumlah, ini tak akan membahayakanmu. Percayalah pada ibu."
Merasa pikirannya ditarik kembali ke dalam kenyataan, Jin Mu berkonsentrasi pada lingkungan sekelilingnya. Ini masih kamarnya. Ayahnya telah keluar dari ruangan ini beberapa saat yang lalu. Kini hanya dia dan ibunya yang tersisa.
Wanita cantik itu masih memengang darah kilin di kedua tangannya sambil menyodorkannya kepada Jin Mu.
Jin Mu menarik napas dalam-dalam. Ia meraih mangkuk perak dari tangan ibunya dan menatap obyek itu dengan takjub sekaligus takut. Darah kilin itu tidak berbau sama sekali. Tetapi buih dan letupan di permukaan cawan membuatnya ragu.
'Apakah aku akan mati jika menelan ini? Ini lebih terlihat seperti lava daripada darah.'
Sebetulnya Jin Mu merasa takut untuk meminum darah kilin yang mendidih, tetapi memikirkan kembali pengorbanan ibunya demi semangkuk darah ini, Jin Mu menguatkan tekad dan mulai menyesapnya.
Darah itu begitu kental dan agak pahit. Itu masuk melalui tenggorokan dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Jin Mu meneguk perlahan hingga tetes terkhir. Tak berselang lama, ia merasa seolah api sedang merayapi tubuhnya dan menuju ke dantiannya.
"Seperti apa rasanya?"
"Rasanya seperti terbakar."