Angin berhembus sejuk, sepoi-sepoi. Pohon-pohon kelapa menari dengan riang, diiringi alunan ombak yang menyapa tepi pantai. Pasir putih bersih menjadi alas kaki, saat seorang anak melontarkan kata-kata yang tak terduga dari bibir mungilnya.
Di dekat pantai, terdengar bunyi pedang-pedangan kayu milik Axijim yang saling beradu. Di tengah permainannya bersama sang ayah, tanpa aba-aba, Axijim berkata,
"Ayah, Ayah! Saat aku dewasa nanti, aku ingin menjadi penegak perdamaian dan keadilan di muka bumi ini," ungkap Axijim dengan penuh semangat.
Saat itu, Axijim baru berusia sekitar 5 tahun.
Ayahnya tercengang mendengarnya. Ia bertanya dalam hati, "Bagaimana bisa anak seusianya memikirkan hal seperti itu?"
Sang ayah terkagum mendengar ucapan anaknya yang tidak terduga itu. "Bagus, anakku," ujarnya dengan perasaan kagum dan gembira.
"Jika kau besar nanti, jadilah seperti apa yang kau inginkan saat ini. Janganlah kau terlena dengan dunia, hingga kau lupa dengan kata-katamu itu," Cepheus, ayah Axijim, melanjutkan nasihatnya.
"Baiklah, Ayahku," jawab Axijim.
"Maukah kau tahu, Nak, bahwa aku, ayahmu, sangat senang mendengar ucapanmu itu?" tanya sang ayah sambil memeluk anaknya. Air mata haru menetes di pipinya tanpa sepengetahuan sang anak.
Axijim telah mengungkapkan sesuatu yang sungguh luar biasa.
Sang ayah pun memberikan nasihat yang sangat berarti, yang akan selalu dikenang oleh Axijim. Nasihat emas itu menjadi motivasi diri bagi jiwa Axijim, kapan pun dan di mana pun.
Hari ini tidak akan pernah terlupakan dalam benak dan pikiran Axijim. Hari yang sangat bersejarah baginya.
**
Mentari mulai tergelincir ke ufuk barat, menandakan sore telah menjelang. Axijim dan sang ayah mengakhiri permainan pedang-pedangan mereka di tebing yang menjulang tinggi di atas tanah lapang, menghadap ke pantai yang indah dan memesona. Perasaan haru bercampur bahagia dan gembira menyelimuti hati mereka.
"Ayo, Nak. Hari sudah sore. Kita pulang. Ibu dan adik pasti sudah menunggu."
"Baiklah, Ayah."
Ayah dan Axijim pun berjalan pulang. Setibanya di rumah, mereka disambut dengan senyuman hangat oleh ibu dan adiknya yang sudah menunggu dengan sabar di depan pintu.
Salam, Bu, dek. Selamat sore. Kami sudah sampai di rumah," ucap Axijim.
"Selamat sore, Cassi," ujar ayah pada istrinya, Cassiopeia.
"Sore semua," jawab sang ibu dan adiknya.
"Ayo, kita bersiap untuk makan malam bersama. Ibu dan adikmu sudah menyiapkan makanan untuk kalian berdua," lanjut Cassi.
"Benarkah? Terima kasih, ibu. Adek juga, makasih ya," ungkap Axijim.
"Terima kasih ya, istriku," ujar ayah dengan penuh kasih sayang.
(Ayah menghampiri Andromeda), "Terima kasih ya, Andromeda. Kau memang putri ayah yang rajin," sambil mengusap kepala Meda, panggilan untuk Andromeda.
"Bagaimana dengan saya, Yah?" tanya Axijim dengan sedikit kecewa.
"Hey, kamu juga ya, anakku, Axijim," sambil mengelus kepala anaknya sambil sedikit tertawa.
Mereka semua masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan.
Makan malam bersama pun dilaksanakan. Axijim membentangkan tikar sederhana, sedangkan Meda dan ibu menyiapkan makanan untuk dihidangkan di tikar tadi. Ayah hanya diam menanti saja, menunggu semuanya siap.
"Yeah, sudah siap, mari kita makan!" ucap Axijim bersemangat.
"Ayo!" lanjut Meda.
"Syukur atas semuanya, mari kita makan!" ayah meneruskan.
"Mari!" ibu juga meneruskan.
Mereka semua makan dengan lahapnya.
"Emm, enaknya," puji Axijim.
Tidak ada makanan yang tersisa di atas tikar. Semuanya habis, ludes, tanpa bekas. Sepertinya mereka sangat lapar malam itu.
**