Suatu ketika pada lautan yang luas, terjadi gejolak yang dahsyat. Gelombang air laut di Ratnakara berasal dari lautan susu yang dijaga oleh seorang deva—gelar bagi penguasa tertentu—bernama Sagar. Nama lautan susu tersebut adalah Kṣirasāgara. Goncangan itu membuat para deva menjadi heboh. Adalah Pawana si deva pengendali angin, memberi kabar kepada raja para deva, Sakra tentang tragedi di Ratnakara.
"Bagaimana keadaan Sagar? Apakah dia baik-baik saja?" Sebagai seorang raja, dia mengkhawatirkan salah satu deva-nya.
"Maafkan hamba, Raja para Deva. Mengenai keadaan Deva Sagar, hamba tidak mengetahui sama sekali." Pawana menjawab takut-takut.
Mata Sakra memelotot garang, hingga membuat Pawana hendak melanjutkan perkataan.
"Namun, saudariku, Devi Anila telah mengabarkan kalau situasi di sana terkendali."
"Terkendali atau terkendala, aku tidak bisa memastikan. Namun, jika kabarmu salah, aku bisa memastikan nyawamu kuserahkan kepada siluman ular."
Pawana berkeringat. Ancaman terkesan main-main itu, tampak begitu serius.
"Panggil semua deva-deva petinggi dan bawa mereka ke Ratnakara, sekarang!"
"Baik, Raja Deva." Pawana menerima titah.
Sementara di Kṣirasāgara, Sagar tengah berupaya menghalau Barunaga—seekor ular besar penghuni lautan, yang senantiasa memangsa para makhluk laut dengan beringas—yang hendak mengambil sebuah peti emas darinya.
"Berikan peti itu kepadaku, Deva Sagar! Kalian para deva terlalu tamak untuk menguasai semua benda yang ada di lautan dan daratan."
"Memberikannya kepadamu? Kau pasti memakan rumput laut Citramaya lagi." Sagar menyeringai.
Rumput Laut Citramaya adalah tanaman memabukkan yang bisa membuat orang yang mengonsumsinya menjadi hilang akal, berhalusinasi dan semacamnya. Kalimat Sagar barusan memang tengah mengejek ular laut itu dengan mengatakannya hilang akal.
Barunaga yang merasa terhina, menyemburkan api. Namun, elemen panas yang biasanya berkobar ketika diembuskan melalui mulutnya, kini tak bertaji.
Sagar menyeringai. "Ini adalah Kṣirasāgara, Barunaga. Tempatku, wilayahku. Selain peti emas itu adalah milikku, kemampuanmu pun tidak ada apa-apanya."
"Aku yang mengaduk Kṣirasāgara kesayanganmu ini, Sagar! Aku yang mengaduk, maka akulah pemiliknya!"
"Oh, jadi kaulah sumber masalah mengenai terguncangnya Lautan Ratnakara, Barunaga?" Suara dari belakang Barunaga terdengar.
"Kalian para deva … apakah memang senang mengeroyok?" Baruna memprovokasi. "Jawablah, Raja Deva! Sungguh aku sangat penasaran."
Sakra menodongkan tongkat petir bernama Wajira, yang tak lain adalah senjatanya. "Kaulah yang lebih dahulu membuat ulah, Barunaga."
Sakra mendekati Barunaga. Ular itu bergerak mundur. Tongkat petir milik Sakra pernah membantai banyak musuh dan tidak terkalahkan. Seluruh dunia tahu, Wajira begitu sakti. Satu-satunya yang menyamai Wajira adalah senjata tajam yang memiliki bilah panjang dengan dua sisi tajam pedang milik Sagar, Pedang Janitra.
"Jika kau tidak seenaknya mengaduk-ngaduk lautan susu milik Sagar, Ratnakara takkan terguncang. Dan kami pun takkan berada di sini untuk mengepungmu." Pawana geram dan ikut menodongkan kipas lipat yang mampu mendatangkan badai dan topan bernama Prana.
"Luar biasa para deva ini! Ada Sagar, ada Sakra dan Pawana. Oh, aku yakin sebentar lagi Soma dan Arka pun ikut bergabung." Barunaga mencibir perlakuan para deva yang dirasanya selalu ikut campur dalam setiap masalah.
"Kau lupa menyebutkan namaku, Barunaga. Dhumaketu Agni." Si penguasa api mendekat.
Sejak tadi, Dhumaketu Agni sudah ada di sana, tetapi tidak menonjolkan diri. Dua deva lainnya, yakni Soma dan Arka ada di permukaan laut, berjaga-jaga jika Barunaga melarikan diri.
"Persetan! Yang pasti, aku adalah pemilik peti emas yang ada di tangan Sagar!" Si Ular Laut Barunaga naik darah.
Pertempuran pun tidak terelakkan. Barunaga berhasil melukai lengan Sagar yang mendekat peti di dada. Sakra pun memerintahkan deva lain untuk menyerang Barunaga secara serentak.
"LICIK! KALIAN BENAR-BENAR TIDAK TAHU MALU! TERKUTUKLAH KALIAN, PARA DEVA!"
Jelas sekali, Barunaga kalah dari segi jumlah dan kekuatan. Dia melarikan diri, dan dengan cepat ditangkap oleh Arka dan Soma untuk diserahkan kepada deva dharma yang kelanjutan nasib si ular laut adalah berakhir di dunia bawah, dipenjarakan dan dirantai kuat.
Dengan menggunakan wahana Sakra, yakni awan yang disebut Meghawahana, para deva itu pun menuju istana Sakra. Kecepatannya begitu tinggi, hingga hanya butuh beberapa saat saja untuk sampai.
Sesampainya di sana, Devi Shachi yang juga kerap disapa Sakrani—istri dari Sakra, menyambut.
"Salam kami kepada Anda, Deva Rani." Seluruh deva kecuali Sakra membungkuk penuh penghormatan.
Devi Shachi tersenyum. Setelah itu, para deva pun berkumpul di aula istana Sakra. Duduk menikmati hidangan yang disediakan oleh para hapsari—peri golongan di bawah para deva. Setelah jamuan selesai, Sagar diminta ke tengah, menghadap raja mereka.
"Sejak tadi, sebenarnya aku penasaran, apa isi dari peti emas itu. Kurasa, Deva Sagar tidak keberatan untuk menunjukkannya kepada kita."
Sagar tersenyum simpul, sudah menduga sebelumnya bahwa raja mereka akan meminta demikian. Jawaban yang akan ia berikan juga telah dipikirkan jauh hari.
"Tentu saja, Yang Mulia. Namun, apa pun isinya, hamba meminta atas kerelaan Anda untuk memiliki peti emas dan isinya ini."
Raja Deva tertawa. "Tentu saja itu akan menjadi milikmu. Aku hanya penasaran."
Dibukalah peti emas tadi, sinar keemasan pun muncul. Para deva melongo karena takjub. Lebih takjub lagi, ketika mengetahui isi di dalam peti.