"Kamu yang tabah, Nak ...."
Bayangan Ibu Sumarlin membuat aku ingat kembali kalau aku sedang berduka.
Ini duka yang bagiku sangatlah dalam. Masih kuatkah aku?
Ayah Ibuku meninggalkan aku sendiri di sini. Kebakaran itu? Apakah masih ada yang tersisah? Kemegahan rumahku yang tiada tandingannya dengan para tetanggaku hancur sudah termakan api yang menyalah bersama ledakan itu.
"Fan ... Fana ...."
Aku mendengar suara terakhir yang aku dengar dari teman-temanku. Suara Ibu Sumarlin yang ikut tengah panik hanya karana melihatnya yang di mana aku langsung pingsan.
Ruangan yang dingin ini seperti membekukan air mataku, namun tidak akan pernah membekukan ingatanku agar tidak mengingat kejadian yang aku alami ini.
Bukan.
Ingatan ini sampai kapanpun akan tetap ada, tidak akan pernah bisa aku lupakan. Ini seperti dunia badai yang sangat sulit untuk aku terjang.
Aku sedang di mana?
Aku lupa. Ayah Ibuku.
Mereka berdua ada di mana? Apakah di Ruang UGD? Apa mereka berdua sudah keluar.
Aku ingin tahu, apa yang terjadi pada mereka berdua.
Tidak, jangan pernah bilang kalau mereka berdua benar-benar meninggalkanku. Benar benar tidak akan pernah lagi menemaniku.
Kemudian bersama siapakah aku?
Rumah yang terbakar itu mengingatkan aku yang tidak ada tempat tinggal lagi. Siapa yang akan membayar perawatan semua rumah sakit ini?
Aku mencoba terbangun dari ranjang yang amat tinggi ini.
Ya Allah, aku ini sudah tidak begitu tinggi namun di tempatkan di ranjang yang amat tinggi. Iya, seperti orang perempuan yang barusan melahirkan.
Tetapi apakah ini juga ruangan bersalin? Di mana aku berada sekarang? Ruangan apakah ini? Kenapa aku harus di infus?
Aghhhh sakit.
Infus ini rasanya bukan semut, melainkan seperti pisau kecil yang menusuk perlahan namun seperti melepaskan darah.
"Ibu ...."
Aku mendengar suara seorang laki-laki yang tiba-tiba membuka pintuku dengan tidak biasa.
. Iya, apakah dia baik-baik saja?
AHP 6
Pandanganku seketika menatap laki-laki itu.
Matanya yang haru binar seakan terganti seketika dengan mata yang tiba-tiba meredup. Lalu nafasnya yang terburu-buru seakan berganti seketika dengan nafasnya yang mencoba santai. Apakah dia salah ruangan?
Dia berjaz putih seperti lekas pulang dari kantor. Rambutnya lurus dengan potongan seperti pria muslim lainnya yang berbeda. Dia hanya tidak memakai peci.
"Maaf."
Itu yang diucapkan.
Aku menyambutnya dengan wajah heran dan penuh tanya. Tentunya aku masih berbaring dan tidak akan bisa menghampirinya. Ya tuhan, ngomong-ngomong kepalaku ini entah kenapa tiba-tiba pusing.
Laki-laki itu kembali menutup pintu. Wajahnya menyatakan kalau doa sedang kebingungan untuk melakukan apa.
Memang ruanganya sama kah namanya? Maksudnya ruangan pasien yang mau dijenguknya.
Sret.
Mataku menatap ada sesuatu milik laki-laki itu yang jatuh. Apakah itu surat? Bukan. Itu bukan surat sepertinya. Namun sapu tangan.
Aku mencoba bangkit kembali. Namun belum juga terduduk di atas ranjang. Kepalaku rasanya pecah. Seperti ada yang memukulku dengan amar keras.
Selang infusku yang awalnya jernih seketika terisi darahku yang memerah hingga mau menetes ke wadah cairan infus yang berkemas plastik itu.
Bagaimana ini?
"Ini iket kamu pakai, pakai baju abu-abu saja kamu. Soalnya Ibu baru beli iket yang abu-abu. Warna lainnya masih belum ada di toko soalnya."
Astaghfirullah.
Aku teringat kembali dengan Ibuku, walau sembari aku seperti melupakannya sejenak hanya karena laki-laki yang mebuat aku tertegun karena kedatangannya tadi yang salah ruangan.
Aku harus pergi dari sini. Ayolah Fana. Kamu akan tetap baik-baik saja. Bukankah kamu ingin bertemu dengan Ayah Ibu kamu?
Aku bangkit sebisa mungkin. Sakit sangat sakit.
Semua badanku pegal semua padahal aku tidak kenapa-kenapa. Aku tidak jatuh kecelakaan ataupun terkena tragedi ledakan di rumahku hingga terbakar.
Apa, inii karena aku pingsan dan langsung diinfus? Kenapa dokter langsung memberikan infus padaku?
Apakah di luar ruangan ini tidak ada yang menjagaku?
Aku mencoba turun perlahan di ranjang rumah sakit yang amat tinggi ini.
Ya tuhan, ini pasti mahal rumah sakitnya. Aku pakai ruangan pendingin.
Sudah jelas kalau ini adalah ruangan spesial. Siapa yang akan membayar ini?
Aku melangkah dengan merayapi tembok yang tidak mungkin goyah.
Rasanya seperti ingin terjatuh di tempat, namun aku harus tetap kuat.
Ya Allah apakah Ayah Ibuku masih di rumah sakit ini apakah sudah pulang?
Mengapa belum aku temukan kabar?
Ayah Ibu, kalian berdua adalah orang tua yang sangat baik. Namun mengapa Allah justru mengambil kalian berdua?
Bagaimana ceritanya memang? Kenapa tadi Ibu tidak mencegahku saja?
Mengapa Ayah sholatnya di rumah?
Mengapa tidak di masjid saja. Lalu kenapa Ibu ada di rumah? Kenapa tidak keluar saja meski prisnsip Ibu adalah keluar malam tidak boleh.
Pikiranku sidah keruh dengan semua ini. Besok akan ada ulangan harian, bagaimana aku akan bisa mengerjakannya? Tidak, semua itu tidak aku lalui.
Aku tidak akan menverjakan ulangan besok. Aku harus bersama Ayah dengan Ibuku sampai di penghirmatan terakhir sebagai seorang anak yang solihah.
Ibu tahukah? Aku tidak akan pernah bisa selembut ini bila Ibu tidak merubah diriku dan untuk kau, Ayah.
Aku tidak akan pernah menjadi wanita yang patuh bila tidak Ayah bentak ataupun Ayah marahi bila aku salah.
Apakah Ibu dan Ayah tidak mau membuka mata hanya untuk anak kamu ini? Anak yang tidak memiliki saudara. Anak semata wayangmu ini snagat membutuhkan kalian berdua.
Kalau memang Ayah Ibu tidak kuat karena dunia, setidaknya Ayah harus kuat hanya untuk Fana. Untukmu Ibu, kalau memang Ibu mau aku berhijab maka bagiku siap untuk berhijab terus.
Kalian berdua tolonglah janganlah tinggalkan Fana sendirian. Fana masih membuatuhkan kalian berdua. Sampai kapanpun. Kembalilah Ayah Ibu. Kalau memang kalian berdua sudah pada panggilan Allah. Tolong minta dispensasi waktu kepada Allah, agar Ayah Ibu itu bisa kembali bersama Fana.
Luka yang mana yang kalian berdua rasakan? Aku ingin merasakan luka yang sama.
Jangan bilang kalian berdua meninggalkan Fana sendiri itu seperti halnya memberikan luka yang sama untuk Fana. Kalian berdua tau, kalau kalian berdua meninggalkan Fana seperti ini. Fana benar-benar merasakan tidak keadilan.
"Kamu tidak apa-apa?"
Laki-laki yang sama yang memasuki pintu ruanganku tadi tidak sengaja menabrakku yang sempoyongan. Ya tuhanku, kalau aku tidak menemukan tembok di sini. Pasti aku akan terjatuh. Dia itu besar lagi. Bukan besar, tetapi ideal.
Sebentar, aku yang terlalu pendek atau dia tinggi?
Aku menatapnya sampai seperti melihat pesawat yang di atas itu lewat. Memang tingginya berapa?
"Tidak apa-apa."
Aku mengusap air mataku yang mengucur sangat deras meski belum sampai satu menit.
Ini adalah kesedihanku, aku harus menabahkan diriku snediri meski sulit.
Namun lihatlah sendiri, air mataku selalu mengucur tanpa meminta izin dariku. Berasa hatiku sudah remuk tidak karuan. Aku tidak tahu yang harus dilakukan apa? Namun aku berasa sangat sedih untuk saat ini. Meski sejenak aku memikirkan dan ingin meminta pada Allah, Ayah Ibuku haruslah kembali. Namun tidak, ini mustahil. Kamu harus tahu, Fana.
"Maaf."
Singkat banget yang dia ucapkan.
Manusia atau apakah dia ini? Sapu tangannya?
Aku melihat wajahnya yang datar dengan kulitnya yang kuning langsat. Ah bukan, lebih tepatnya dia putih tapi dia bukan bule. Dia laki-laki normal kulit indonesia saja. Aku seketika ingat saja sama laki-laki yang masuk kamarku tadi, yang lebih tepatnya salah ruangan.
"Kamu yang masuk ke ruanganku tadi, kan?"
Mataku yang samar-samar masih tertampung banyak air mata, menatapnya dengan pandangan yang agak memburam.
Tidak mungkin aku salah dengan wajah yang barusan aku lihat.
"Iya, itu aku."