"Ranaya....maafkan kakak"
"Ma'af.....?" jawabku sambil menghempas pegangan tangannya dari lenganku.
Aku menghapus air mata yang mulai mengembun di pelupuk mata. Air mata yang sedari tadi ku tahan setelah kehadiran dirinya menginjak dirumah kontrakanku ini. Akhirnya tidak bisa kubendung lagi. Bendungannya mungkin sudah rusak, karena terlalu sering menangis.
"Apa kamu masih mau menjadi bagian dari keluarga Anderson?" tanya Zidane.
Terasa muak mendengar nama itu untuk kembali tersemat. Aku langsung kembali berucap. "Tolong jangan sematkan kembali panggilan itu sebagai orang yang pernah menghancurkannya. Seharusnya Anderson memahami perasaanku saat ini"
"Bukannya keluarga itu yang tak menginginkan kehadiran wanita sepertiku?"
Entah karena perasaan ini yang terlalu sensitif, atau bahkan karena terlalu sakit sehingga mendengar nama keluarga Anderson sebagai permintaan maaf padaku. Seakan malah terbalik menjadi sebuah ejekan untukku.