"Mas, kamu marah sama aku?" tanyaku dengan suara yang pelan. Kutatap mata Mas Zaki dalam-dalam. Meskipun ada cemas yang meliputi batin, tetapi kuberanikan diri buat bertanya padanya. Marah adalah tindakan tak biasa bagi suamiku, apalagi kepada istrinya. Selama menjadi istri bahkan saat berpacaran dulu, mana pernah Mas Zaki memarahi, terlebih sampai memelototi segalak itu.
"Astaga! Tentu aku marah! Kenapa kamu lancang membalas pesan Ibun?" Mas Zaki terus membentak. Membuatku semakin tak habis pikir pada lelaki itu. Lancang, dia bilang? Bukankah jawabanku hanya berisi hal yang wajar?
"Maafkan kesalahanku, Mas. T-tapi … bukankah kita sudah tidak punya uang lagi? Maksudku uang lebih—"