Setelah pembicaraan serius dengan Eiireen di desa Aqua. Aarav dan Eiireen berbalik untuk meninggalkan tempat tersebut. Kemarahan karena pembantaian seluruh desa, membuat Aarav bertekad untuk membalaskan dendam. Dengan bantuan dari Eiireen, Aarav akan berusaha untuk dapat mewujudkan ambisinya tersebut.
"Jadi, kapan kau akan melatihku agar bisa membunuh mereka semua." Aarav menundukkan kepala, tangan kecilnya mengepal begitu kuat. Membuat urat yang ada di pergelangan tangannya terlihat begitu jelas.
Eiireen yang ada di depan Aarav, menghela napas panjang. Langkah kakinya tidak berhenti setelah mendengar ucapan Aarav, justru semakin kencang dalam bergerak.
Mengikuti pergerakan Eiireen yang sedikit cepat, Aarav harus berlari kecil agar bisa bersanding di sampingnya. Napasnya tersengal, apalagi dengan langkah kecil yang tidak bisa diselaraskan.
"Tidak perlu terburu-buru seperti itu. Perjalananmu masih panjang untuk menemukan jati diri yang sebenarnya," jawab Eiireen sembari mengusap kepala Aarav begitu lembut.
Tatapan mata Eiireen pada Aarav begitu dalam. Terlihat dari bola matanya, Eiireen begitu terpukul setiap kali menatap wajah Aarav. Seakan terdapat bekas luka yang dalam dari setiap tatapannya tersebut.
Eiireen mendongakkan kepala, menatap langit biru tanpa awan. Terpaan angin secara perlahan menerpa wajah, membuat kulit yang sebelumnya gerah, terasa begitu menyejukkan. Suara burung berkicau memenuhi seluruh tempat tersebut. Serta dataran rumput hijau terbentang luas, membuat pemandangan indah yang memanjakan mata.
Melihat dan merasakan seluruh pemandangan tersebut, membuat ingatan Eiireen beberapa tahun lalu terngiang di dalam kepala.
"Apapun yang terjadi, kau harus melindungi dua orang itu. Mereka yang akan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran." Pria tua dengan kulit keriput, bermandikan cairan merah yang menutupi wajah. Tangan yang hanya terdapat kulit dan tulang, menyentuh pipi Eiireen dengan lembut.
"Aku berjanji, guru. Akan kulindungi mereka berdua. Bahkan jika harus mengorbankan nyawa."
"Apa yang kau lakukan!" seru Aarav yang sejak tadi diperlakukan bagaikan anak kecil. "Berhenti mengusap kepalaku seperti itu!" Aarav menyingkirkan tangan Eiireen yang sejak tadi mengusap kepalanya.
Walaupun merasakaan nyaman ketika mendapatkan perlakuan tersebut, tetap saja membuat Aarav kesal dan jengkel dalam waktu bersamaan.
Eiireen yang sejak tadi melamun, segera tersadar begitu tangannya dilempar Aarav ke sembarang arah. Senyumana tipis tersungging pada wajah, mengisyaratkan jika tidak ada sesuatu yang terjadi.
Namun, senyumana tersebut terlihat sedikit dipaksakan. Tanda bahwa Eiireen tidak melakukannya dengan serius. Menyadari sesuatu seperti itu sangatlah mudah untuk Aarav, karena sedari kecil dia sudah memiliki pengetahuan tersebut.
"Apa yang terjadi?" tanya Aarav sembari menyentuh kepalanya. Bersikap seolah kepala tersebut dapat lepas jika Eiireen terus mengelusnya.
"Tidak ada yang perlu kamu pikirkan." Eiireen kembali mengusap kepala Aarav, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Rambut Aarav yang memang sudah berantakan, semakin berantakan ketika disentuh Eiireen.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, melewati berbagai hutan dan sungai yang cukup dalam. Aarav akhirnya sampai pada ujung hutan, di mana terdapat sebuah desa kecil di depannya.
Suasana ramai terasa bahkan sebelum Aarav menginjakkan kaki ke sana. Meskipun begitu, perasaan Aarav masih belum kembali sepenuhnya. Mengingat desanya yang hancur, tentu saja membawa hal yang sangat mengerikan di dalam kepala.
"Inilah desa Li Bi." Eiireen merentangkan kedua tangan di depan Aarav, tersenyum lebar dengan segala keindahan yang ada.
Senyumana yang diperlihatkan Eiireen, membuat lesung pipi terlihat begitu menawan. Rambut berantakan yang tergerai bagaikan orang gila, terkena terpaan angin.
Eiireen yang tidak melihat senyuman dari wajah Aarav, menarik napas begitu panjang. "Ternyata hal ini lebih sulit dari yang kubayangkan."
Tanpa menunggu waktu lama, Eiireen segera menarik lengan Aarav. Membawanya menuju desa yang sudah ada di depan mata. Tatapan mata Aarav terlihat begitu lemas, sudah seperti ikan yang keluar dari air beberapa hari.
Sesampainya di desa, suasana yang sebelumnya sepi berganti seratus delapan puluh derajat. Aarav yang sejak tadi termenung, segera mendongakkan kepala. Menatap seluruh tempat yang sudah dipenuhi banyak orang berkeliaran.
"Di mana ini? Walaupun masih pagi buta seperti ini, sudah banyak orang yang beraktivitas." Aarav terus saja mengedarkan bola mata, seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang.
"Tempat ini dinamakan pasar. Mereka semua menjual berbagai kebutuhan sehari-hari warga desa. Karena itulah, banyak orang yang datang ke sini untuk mencari sesuatu." Eiireen menjelaskan dengan begitu tenang, sangat berbeda dengan sikap sebelumnya.
Melihat Aarav yang begitu terpesona, membuat Eiireen memikirkan sesuatu. "Apa kau baru pertama kali melihat pasar?" tanyanya sambil memegang buah apel.
Bola mata Eiireen terus bergetar, melihat buah yang ada pada telapak tangan. Beberapa saat kemudian, Eiireen memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Mengeluarkan satu keping emas yang tergeletak di dalam.
"Tidak perlu, ketua." Penjual buah menolak kepingan emas yang diberikan Eiireen kepada dirinya. "Dapat berjualan di sini saja sudah cukup." Penjual buah menarik bibirnya ke atas, memperlihatkan senyuman tipis menggemaskan.
"Tidak!" Eiireen menarik tangan penjual buah, mengarahkan telapak tangan ke atas. Kemudian menaruh satu keping emas yang sejak tadi dia genggam di atas telapak tangan penjual buah.
Semakin menolak, Eiireen justru semakin keras memberikan keping emas tersebut. Hingga akhirnya, dia melakukannya dengan sangat keras. Hingga membuat telapak tangan penjual buah merah lebam.
Masih tidak ingin menerimanya, penjual emas itu mencoba mengembalikan keping emas kepada Eiireen kembali. Namun, hal itu diurungkan ketika merasakan aura mengerikan yang keluar dari Eiireen.
"Jika kau tidak menerimanya, aku akan mengusirmu dari tempat ini." Eiireen mengeluarkan perasaan membunuh yang begitu besar, membuat penjual buah di hadapannya merasa sangat ketakutan.
Dengan wajah dipenuhi keringat bercucuran, akhirnya penjual buah tersebut menerima kepingan emas milik Eiireen dengan sedikit terpaksa.
Eiireen kembali menatap Aarav begitu tajam. "Maaf karena kejadian tadi. Mereka semua memang suka seperti ini. Padahal mereka sedang berjualan di sini, kenapa tidak ingin menerima bayaran sama sekali? Apa mereka ingin segera gulung tikar?"
Eiireen memberikan satu buah apel kepada Aarav. "Kau pasti lapar. Sekarang makanlah buat ini untuk mengganjal perutmu."
"Ada apa dengan orang ini?" tanya Aarav di dalam hati, ketika melihat tingkah Eiireen yang cukup aneh.
Setelah menggigit apel yang diberikan Eiireen kepadanya. Aarav kembali melanjutkan perjalanan menuju ke tempat yang tidak diketahui. Sejak tadi, Eiireen tidak mengatakan apapun tentang tujuan mereka.
Karena terlalu asik menghabiskan apel yang ada dalam genggaman tangan. Aarav tidak menyadari sudah berapa lama dia berjalan mengikuti Eiireen. Hingga akhirnya mereka berhenti di depan pintu sebuah bangunan tua.
"Karena kau akan menjadi putraku, sekarang kau harus tinggal di rumah ini." Eiireen memegang gagang pintu yang ada di depan mata, kemudian mendorongnya secara perlahan.
Baru saja beberapa tekanan yang diterima pintu tersebut, sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi pada saat itu juga.