"Ada urusan apa sih sama anak pembantu ini?"
Rena tertegun mendengar ejekan Ica. Ya, Ica tanpa bersalah melakukan itu pada Ica. Dengan terang-terangan ia sengaja membesarkan suaranya. Para siswa yang masih berada disana melihat sikap Ica. Mereka semua sedang berbisik-bisik.
Adit langsung menghadang Ica. Bila tadi sebelumnya saling berdampingan berdiri, Adit melihat Ica dari arah depan dengan tatapan jengkel.
"Apa maksudmu telah mengejek Rena dengan sebutan anak pembantu? Kau tidak pantas mengejek teman seperti itu, Ica!" ujar Adit dengan lantang.
Adit memang belum paham. Ia sendiri belum tau jika Rena seperti yang dikatakan oleh Ica. Tapi walaupun bagaimana, Adit sama sekali tidak membenarkan perbuatan Ica yang sangat terlihat kurang ajar. Ica lalu memundurkan sedikit beberapa langkahnya dan langsung mendengkus pelan.
"Dia memang anak pembantu," kata Ica masih dengan ekspresi meledek Rena di sampingnya.
Saat itu juga Rena ingin menangis seketika. Walaupun orang-orang disana tinggal mereka bertiga, sebab Adit sebelumnya langsung mengusir orang-rang yang melihat Ica disana, tetap saja Rena merasa malu. Rena tak berbicara, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Adit dan Ica.
"Mau kemana, Adit? Kamu harus menemaniku membeli gitar sekarang," ujar Ica menarik tangan Adit yang sepertinya ingin mengejar Rena.
Adit menarik nafas panjang. Ia masih kebingungan. Pikiran Adit sekarng, ia tidak percaya dengan perkataan Ica. Hal pertama saat Adit mengantar Rena pulang, ia melihat dan menilai Rena adalah anak orang kaya. Lupakan tentang pemikirannya, Adit akan menanyakan langsung pada Rena dibanding mencari tau dengan Ica.
"Ais, kenapa diam? Ayo!" bujuk Ica dengan paksa.
"Iya!" ketus Adit terpaksa menemani Ica.
***
Sesampainya Adit di rumah, ia tidak langsung masuk. Disana pembantunya—Bi Imo menyapa anak majikannya dengan lembut. Bi Imo juga sekaligus pengasuh Adit sewaktu kecil. Keduanya sangat akrab.
"Nak, kenapa tidak masuk?" tanya Bi Imo mengusap kepala Adit.
"Bi, hari ini makan apa?" tanya Adit mengalihkan pembicaraan.
"Ayo, Nak. Bibi masak makanan kesukaan kamu. Tumis udang dan ayam bakar. Yuk,"
Adit langsung mengangguk senang. Tadi ia sengaja mengalihkan pembicaraan karena Adit tak menjawab pertanyaan Bi Imo sebelumnya. Ia sebenarnya masih memikirkan perihal Rena yang sempat diejek oleh Ica.
Di meja makan, Adit terlihat begitu senang makan bersama dengan Bi Imo, hingga sampai mamanya Adit datang, terpaksa Bi Imo terburu-buru menghentikan makan siangnya dan langsung bergegas ke dapur. Bi Imo tidak enak jika Adit terlalu akrab padanya.
"Bibi masuk ke dapur, Nak. Kalau sudah makan langsung istirahat," kata Bi Imo dengan lembut.
"Iya, bi," jawab Adit dengan makanan yang penuh dimulutnya.
Wanita cantik dengan gaya pakaian yang fashionable menghampiri anaknya yang sedang makan di meja makan.
"Adit," sambut mommynya Adit—Keny langsung mengusap ubun kepala anaknya sebentar.
"Mommy," ujar Adit bersegera memeluk mommy-nya. Tapi ponsel mommy-nya Adit langsung berdering. Wanita itu memilih melepaskan pelukan anaknya dan langsung menelfon dengan seseorang.
'SeLalu saja begini' gerutu Adit dalam hatinya.
Adit hanya bisa menghela nafas. Sudah seminggu mamanya itu tak berada di rumah. Adit berharap mommy-nya Adit bisa memeluknya dengan penuh kerinduan, tapi wanita itu hanya seperti terlihat basa-basi lalu kembali sibuk dengan segala urusannya.
Ini yang membuat Adit merasa tidak mempunyai ibu. Ia tak pernah mendapatkan kasih sayang seutuhnya. Untunglah ada Bi Imo yang setidaknya seperti ibu kandung.
Selepas Keny menelfon, wanita itu langsung menarik mini kopernya dan berjalan ke kamar tanpa lagi menyapa anaknya yang berdiri di sampingnya. Adit langsung terduduk dengan jengkel.
Makanan di depannya sudah tak ingin dihabiskan. Ia meminum sekali tegukan lalu memilih masuk ke kamar. Tapi belum sampai Adit menaiki anak tangga, ayahnya—Reno langsung masuk ke rumah dalam keadaan marah-marah.
"Dimana mommy-mu, Adit?"
Adit terhenyak melihat ayahnya yang langsung datang marah-marah. Jam masih siang, tapi lelaki berpakaian jas itu langsung datang di rumah.
Adit menarik nafas panjang. Hubungan orangtuanya memang tidak baik-baik sealama beberapa tahun belakangan ini. Adit jengkel. Ia sangat tida suka perkelahian orangtuanya.
"Ayah, jangan marah-marah," kata Adit.
Sebagai anak, Adit hanya bisa menahan amarahnya. Padahal dalam hatinya ia ingin berteriak emosi.
"Keny!" teriak ayahnya Adit tanpa memperdulikan anaknya.
Suami istri itu kini saling berhadapan. Permasalahan rumah tangga membuat mereka setiap bertemu selalu berbicara dengan nada yang tinggi. Mereka bahkan tidak memerdulikan anaknya yang masih berada disana dan melihat mereka bertengkar.
"Kau ke Bali bukan urusan pekerjaan 'kan?" bentak ayahnya Adit.
"Apa sih, Mas? Kamu ini selalu saja curiga! Kalau kau tidak percaya ya sudah, terserah kamu!"
"Mommy-ayah, sudah!" kata Adit mencoba melerai kedua orang tuanya.
"Masuk, Adit! Jangan ganggu urusan orangtua," kata ayahnya Adit dengan tegas.
"Bi Imo yang sengaja mengintip di balik pintu dapur, dilihat oleh Keny.
Bawa Adit masuk ke kamar Bi imo! Kamu Adit, istirahat! Belajar yang benar saja!" kata mommy-nya. Ia emosi pada suaminya, tapi amarahnya juga terkena ke anaknya.
Adit bukan anak cengeng. Di depan orangtuanya ia sama sekali bersikap tegar. Wajahnya begitu datar. Tidak marah dan juga tidak sedih. Di dalam kamar, Bi Imo hanya bisa menasehati anak majikannya.
"Yang sabar, Nak. Do'akan orangtuamu biar segera akur,"
"Sampai kapan, Bi? Sampai kapan orangtua Adit seperti itu? Adit lelah harus berada di rumah dalam keadaan seperti ini. Adit mau seperti kak Fadli yang pisah rumah," lirih Adit menerawang jauh ke jendelanya.
Ya, Adit merasa stress. Bisa dibilang Adit dan kakaknya adalah korban broken home. Ayahnya bukanlah ayah kandung. Lelaki tadi adalah ayah tiri dari dari Adit. Bukannya mendapatkan ayah sambung, tapi sepertinya, Adit hanya merasakan kehidupan keluarga semakin memburuk.
Kehidupan harmonis antara Keny dan Reno hanya bsetahun. Lalu setelah itu, pertengkaran demi pertengkaran terus saja menghiasa kehidupan keluargnya adit. persisi seperti Keny saat bersama ayah kandung adit yang juga Adit tak pernah merasakan kehidupan keluarga yang bahagia.
Gara-gara pikirannya yang berat, Adit bahkan tidak mengerjakan tugas sekolahnya. Biasanya, Adit sangat rajin. Ia adalah anak yang cerdas. Tapi ktika ada masalah, Adit lebih memilih tidur sepanjang waktu.
Keesokan harinya…
Saat Adit akan bersiap-siap ke sekolah, Ait baru tersadar jika dirinya tak mengerjakan tugas sekolah.Matanya menatap buku pelajaran sejarah yang berada di depannya. Sebenarnya bisa saja Adit langsung mengerjakan saat itu juga sebelum ia pergi ke sekolah, tapi Adit memilih pasrah. Ia tidak badmood untuk melakukan apapun.
Tok! Tok! Tok!
Gagang pintu terdorong. Bi Imo mengingatkan Ait untuk segera berangkat. Hari ini mommy-nya sendiri yang akan mengantar Adit ke sekolah.
"Sudah, Nak Adit? Mommy-mu sudah menunggu di bawah,"
Adit sedikit ternganga. Sebuah moment yang sangat jarang dalam hidup Adit bisa diantar ke sekolah langsung oleh mommy-nya.
"Mommy mau antar Adit ya, Bi?"
TO BE CONTINUED