Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Rena Dreams

Fifilani
--
chs / week
--
NOT RATINGS
28.3k
Views
Synopsis
Renata Zhafirah, seorang gadis remaja sederhana yang mempunyai sejuta impian. Salah satu impian terwujudnya adalah diterima disalah satu sekolah unggulan menengah atas. Rena sama seperti remaja pada umumnya. Baginya, fokus dimasa muda agar kelak masa depan akan cerah. Namun, bagaimana bila ternyata sebuah impian tidak selamanya bisa terwujud dengan diri sendiri? Bagaimana bila meraih sebuah impian juga membutuhkan bantuan orang lain? Sementara saat Rena baru memulai berkenalan dengan orang lain saja langsung menelan pil pahit. "Semoga kita bisa satu kelas nanti. Lumayan, punya teman cerdas adalah impianku," ucap Adit malah berlalu pergi. "Baru saja mau punya teman malah diacuhkan seperti ini," gumam Rena.
VIEW MORE

Chapter 1 - Diacuhkan

Jantung Rena terus berdegup kencang. Ia berdiri di depan papan mading. Sedari tadi mencari nama-nama yang resmi diterima sebagai siswa disalah satu sekolah menengah atas unggulan di kota Jakarta.

Rena belum juga menemukan namanya. Sengaja ia melihat list nama dari urutan terbawah karena dirinya tak berharap lebih jika namanya berada diurutan awal-awal. Lagipula, alasan klasik bagi Rena karena ia tak mengenakan kacamata.

'Masa aku harus gagal lagi diterima sekolah unggulan?' batinnya sambil terus menggeser jarinya kearah atas.

Rena terus menoba lebih teliti lagi mencari namanya sendiri, Renata Zhafirah. Dari urutan seratus, sekarang matanya beralih disekitar urutan dua puluhan disana.

"Wah, ini siapa yang punya nama Renata? Nilainya tinggi banget! Diurutan pertama lagi. Adit ada yang mengalahkan otak lu, Dek," decak salah seorang lelaki di samping kanan Renata.

"Bukan masalah, Kak! Lagian aku sudah bosan selalu menjadi yang pertama," jawab laki-laki yang bernama Adit dengan terkekeh.

Mereka yang sedang sibuk bersendau gurau, Rena malah sibuk dengan jalan pikirannya.

'Itu aku atau Rena yang lain?' batin Rena dalam hatinya.

Buru-buru Rena mencoba menengadahkan kepalanya, melihat lebih detail identitas urutan pertama tersebut. Sayangnya tubuhnya yang tidak terlalu tinggi ditambah lupa memakai kacamata, cukup menyusahkannya menelisik kebenaran perkataan mereka berdua disana.

"Em... maaf, aku boleh minta tolong sama kalian berdua?" tanya Rena pada mereka sambil tersenyum ramah.

Jujur, sebenarnya Rena orangnya pemalu. Ia begitu malu memulai sapaan pada mereka. Tapi apa boleh buat, rasa penasaran Rena lebih besar saat ini dibanding rasa malunya. Lagipula Rena belum juga menemukan namanya.

"Iya, ada apa?" tanya lelaki yang pertama kali berdecak kagum tadi.

Rena perhatikan ia sepertinya sudah lebih dewasa karena telah berkumis juga.

"Maaf, Kak. Itu yang paling atas nama lengkapnya Rena siapa, ya? Terus alumni sekolah dari mana?" pinta Rena dengan lirih sambil menujuk kertas pengumuman diatas sana.

Lelaki itu pun memberitahu pada Rena. Mendengar penuturannya, Rena pastikan itu adalah dirinya. Raut wajah terlihat begitu bahagia.

Ia tak menyangka jika dirinya yang hanya lulusan anak SMP di kampungnya, bisa bersaing dengan anak-anak kota di Jakarta. Bahkan sampai menduduki urutan pertama. Prestasi membanggakan bagi Rena sendiri.

"Kamu kenal orangnya, ya?" tanya lelaki tadi.

"Em, itu—"

Belum sempat Rena menjawabnya dengan lugas, laki-laki itu malah langsung berbalik badan.

"Pasti dia anak kaya dan terkenal di sekolahnya dulu. Benar gak, Dek?"

Rena pun hanya bisa menghela nafas pelan. Bagaimana mungkin pertanyaannya lelaki itu seakan tak berpikiran bahwa Rena yang dimaksud adalah Rena yang tengah berada didekatnya saat ini.

'Hei! Aku orangnya!' gerutu Rena dalam hati. Rasanya ia ingin menjerit saja dan bersikap sombong di depan orang itu.

"Kak Fadli! Kakak ini sedang berbicara pada orang lain. Sopanlah sedikit, Kak!"

Lelaki yang sedari tadi hanya memperhatikan kakaknya berceloteh dengan Rena, langsung menegur. Lelaki itu bernama Adit.

Ia mendorong pelan bahu kakaknya yang bernama Fadli. Mungkin Adit sengaja mendorong pelan kakaknya agar ia bisa saling berhadap-hadapan dengan Rena.

"Hei perkenalkan aku Adit. By the way, selamat kamu diterima di sekolah ini dengan nilai yang sangat tinggi. Semoga kita bisa satu kelas nanti. Lumayan punya teman cerdas adalah impianku," salam Adit dengan ramah.

Uluran tangannya pun langsung berada di depan Rena. Jujur itu membuat Rena sedikit gugup bertemu dengan orang baru lalu tiba-tiba mengakrabkan diri.

"Ma-maaf! Kamu kenapa bisa tau aku yang bernama Rena? Sedangkan kakakmu sendiri—"

"Itu," sela Adit sambil menujuk kalung yang berkalut dileher Rena.

Rena langsung menunduk melihat ke lehernya. Ya, Rena lupa. Ternyata Adit mengenali namanya dari tanda kalung huruf yang terkalut dilehernya.

"Astaga! Aku baru sadar ternyata dia orangnya!" timpal kakaknya sambil memukul bahunya Adit.

"Sorry-sorry. Aku tidak kepikiran kalau Rena di pengumuman itu adalah kamu," ujar kakak Adit sambil melihat Rena dengan tatapan kikuknya.

"Sudah yuk, Dek. Kita sudah ditunggu momma di depan!" lanjutnya terburu-buru dan langsung menarik tangan Adit.

'Baru mau punya teman malah diacuhkan seperti ini' gumam Rena memejamkan matanya sendirian.

***

Rena menyiapkan diri berangkat ke sekolah. Tidak ada yang istimewa baginya di hari pertama beralih status menjadi siswa SMA. Entahlah, pertemuan kemarin sore ternyata cukup membuat dirinya merasa kurang percaya diri bertemu dengan orang-orang baru.

"Renaaa! Jangan lupa pitanya di meja," teriak mama Rena begitu ia melangkah keluar.

Astaga! Hampir saja Rena melupakan salah satu perlengkapan atribut sebagai siswa baru. Ia bergegas mengambilnya lalu pamitan dengan mamanya.

"Doakan aku, Ma. Semoga hariku selalu indah berada di lingkungan yang baru." ujar Rena sambil menyalim telapak punggung mamanya bernama Mama Ika.

"Pasti, Nak. Jangan pernah berbelok arah. Ingat belajar yang giat biar jadi anak yang sukses. Mama percaya kamu anak yang kuat. Jangan minder," titah Mama Ika menatap anaknya dengan lekat.

Rena mengangguk pelan dan melemparkan senyum termanisnya.

"Pasti, Ma!"

Lepas setelah berpamitan dengan mamanya, Rena pun menyelusuri langkah demi langkah menuju ke sekolah. Beruntunglah tempat bernanungnya yang baru itu tidak jauh dari sekolah.

Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk berjalan kaki. Mungkin bagi orang sepertinya cukup jauh, tapi bagi Rena hal itu sudah biasa.

Rena akui sudah kuat akan keadaan yang terhimpit. Jangankan berjalan kaki, bekerja dibawah terik matahari yang menyengat pun Rena tidak gentar. Ekonomi keluarganya memang jauh dari kata berkecukupan. Mamanya hanyalah seorang asisten rumah tangga.

Rena tidak mau menyusahkan mamanya. Ia pun nyambi bekerja mencari botol-botol bekas untuk ia jual dan menghasilkan pundi-pundi rupiah nantinya. Setidaknya keperluan untuk dirinya bisa ia tanggungi sendiri tanpa menyusahkan mamanya.

'Ada, tidak, ada, tidak' guman Rena dalam hati.

Berulang kali Rena ucapkan itu dalam hatinya sepanjang perjalanan ke sekolah. Pikirannya tertuju, apakah ada orang-orang yang mau berteman dengannya nanti?

Tidak terasa, akhirnya ia pun sampai di depan gerbang sekolah barunya.

***

Kegiatan pertama selepas upacara penerimaan siswa baru adalah pembagian tim, dimana ini adalah tugas bagi siswa baru untuk mengikuti rangkaian kegiatan sebagai siswa baru.

Pembagian tim ini adalah moment yang mendebarkan bagi siswa baru saat itu, termasuk Rena. Pandangan matanya hanya tertuju pada objek-objek benda mati. Tak berani ia berkontak mata disana dengan orang-orang.

"Baik adik-adik sekalian sekarang waktunya pembagian tim. Semuanya diharapkan berbaris sesuai warna pita,"

Arahan suara bulat kakak kelas itu semakin mendebarkan para siswa. Rena pun memperhatikan sekelilingnya untuk memastikan barisan. Ternyata sedari tadi ia salah masuk barisan.

"Kamu pitanya warna merah, ya?" tanya kakak kelas yang lain. Sepertinya ia adalah salah satu panitia kegiatan juga.

Rena tersentak kaget. Ia melihat pitanya di saku baju seragam sekolahnya. Ia langsung menepuk jidat sendiri.

"Saya baru sadar, Kak," ucap Rena terkaget.

"Warna merah di sebelah kanan dekat parkiran motor sana, kesana, Dek."

Rena langsung mengangguk cepat dan buru-buru berjalan ke barisan pita merah yang diarahkan kakak panitia tadi. Entahlah, beberapa teman yang menjadi peserta MOS terdengar berbisik-bisik dan sampai ke telinga Rena.

Mungkin karena Rena menjadi bahan perhatian sebab ia tiba-tiba berjalan sendirian ke tengah lapangan untuk sekedar pindah barisan.

TO BE CONTINUED