"Hujan."
"Ayo masuk ke dalam," ajak Alanna saat ia sendiri pun merasakan tetesan demi tetesan air dari langit.
Namun Raka tetap diam, ia justru menengadahkan kepalanya seolah menantang langit untuk menghujamkan tetesan air nya lebih banyak.
"Raka! Jangan hujan-hujanan! Buruan masuk ke dalam, lo bisa sakit!"
Raka tersentak dari diamnya, tiba-tiba ingatan itu lagi, ingatan yang sudah Raka kubur dalam hatinya, ingatan lama dimana saat ia masih mendapat perhatian dan kasih sayang dari seorang perempuan yang berstatus sebagai Ibu nya.
Kepala cowok itu menoleh meskipun ia masih di tempatnya. Mau tidak mau Alanna harus ikut mengorbankan dirinya terkena tetesan air hujan yang semakin deras. Bagaimanapun caranya Alanna harus bisa membawa Raka masuk ke dalam rumah.
"Lo apa-apaan sih?! Udah gue bilang lo bisa sakit! Atau itu yang lo mau?"
Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Raka, namun ia hanya menatap Alanna dengan lekat.
"Ra-Raka, lo gak kerasukan kan?"
Seolah tersadar dengan apa yang ia lakukan, Raka langsung bangkit dari duduknya dan melengos pergi begitu saja meninggalkan Alanna yang semakin terheran dibuatnya.
Ia mengikuti kemana Raka pergi, dan setelah berada di dalam lift yang akan mengantar keduanya ke lantai dasar, Alanna melihat dengan matanya sendiri jika Raka menangis dalam diam, raut wajahnya memang datar dan pandangannya lurus ke depan, tapi air mata yang menuruni rahang tegasnya sangat tampak jelas.
'Rasanya kalo gue tanya dia 'kenapa', Raka pasti gak bakalan jawab gue deh.'
Akhirnya Alanna membiarkan keheningan menemani mereka hingga keduanya sudah sampai di lantai dasar.
Alanna langsung pergi menuju kamar tamu dan mengambil handuk baru yang sengaja disimpan di dalam lemari untuk digunakan oleh siapa saja tamu yang kemungkinan dibawa oleh orang tuanya.
"Lo duduk disini," Alanna memposisikan Raka untuk duduk tepat di depannya. Di atas ranjang kamar tamu ini.
Tanpa meminta ijin, tangannya tergerak untuk mengeringkan wajah Raka dari tetesan hujan, lalu setelah itu menyimpan handuk yang ia pegang tepat ke atas puncak kepala Raka.
"Lo terusin, gue mau kering in rambut gue sendiri."
Grep.
Raka menahan Alanna untuk pergi dengan cara memegang pergelangan tangan cewek itu hingga si empunya menoleh dan menatap Raka bingung.
"Kena -"
"Makasih."
"Makasih?"
"Makasih udah ngasih gue perhatian kayak gini. Gue, udah lama gak dapat perhatian yang hangat dari seseorang," ujar Raka menuntaskan ucapannya dengan tersenyum manis, senyuman yang Alanna bersumpah tidak ada siapapun yang pernah melihatnya di versi Raka yang sekarang. Bahkan saat Raka sekarat sekalipun senyuman ini terasa lebih tulus.
"O-oh, oke.."
Hening.
"Kayaknya gue lapar lagi, lo mau makan malam juga?"
Raka melepaskan genggaman tangannya dan mengangguk pelan, "Boleh," jawabnya dengan suara yang tidak ketus.
"Gue minta Bi Ida buat masakin menu makan malamnya, kalo lo mau, nginep aja disini, jadi nanti pas jam makan malem lo udah mandi dan ganti baju."
"Ada baju cowok?"
"Ada tiga kamar tamu dan setiap kamar disimpan baju untuk perempuan dan laki-laki, Mama Papah gue yang punya ide gitu. Makanya gue bilang, kalo emang lo pengen nginep, tinggal pake aja baju sama celana dalam atau apapun yang lo butuhin di lemari."
Raka mengangguk mengerti. Entah karena sikap Alanna di rooftop tadi, cowok ini jadi sedikit melunak dan penurut.
Alanna pergi meninggalkan Raka seorang diri di kamar tamu rumahnya, setelah gadis itu menghilang di balik pintu yang ditutup. Raka sudah tidak bisa lagi untuk menahan diri, ia kerap kali menjadi orang yang lemah saat ia mengingat tentang mendiang Mama nya yang wafat karena kecelakaan saat kembali dari perjalanan bisnis menuju rumahnya.
Mendiang Ibu nya Raka adalah seorang wanita pebisnis yang sangat mandiri, menikah dengan seorang pria yang juga menjadi rekan bisnisnya karena permintaan kedua orang tua mereka, membuat harta kekayaan yang diwariskan pada Raka menjadi berlimpah.
Setelah Raka lahir, kehangatan keluarga kecil tersebut semakin terasa, kenyaman dan perhatian yang selalu diberikan Mama dan Papah nya yang membuat Raka menjadi pribadi yang pandai, cerdas, dan periang.
Sampai satu waktu yang tiba tepat ketika Raka berusia 7 tahun, dimana isu kecelakaan itu terjadi dan Mama nya yang hanya mampu bertahan selama 2 hari sebelum menghembuskan nafas terakhir, barulah perubahan sehari setelah pemakaman sangat terasa.
Ayah nya yang menjadi sangat dingin dan tidak peduli lagi, dan mulai sering membawa seorang perempuan baru ke dalam rumah mereka.
Bahkan ia mengenalkan perempuan tersebut pada Raka sebagai "Mama" nya yang baru.
Namun bagi Raka, sosok seorang Ibu tetap tidak akan pernah mampu tergantikan oleh wanita manapun.
"Sial, kepala gue pusing. Kayaknya gue harus mandi sekarang," gumam Raka, ia menyudahi acara merenungnya dan lekas bergegas masuk ke dalam kamar mandi dalam kamar tamu ini.
Hanya beberapa menit dan Raka sudah menyelesaikan acara mandinya, ia menatap pantulan dirinya sendiri pada kaca wastafel.
'Geng motor ya, dia gak bergabung ke komplotan seperti itu kecuali ada bantuan dari orang lain. Tapi alasan apa dia bunuh gue?'
"Astaga Raka, lo bodoh apa gimana sekarang? Masa iya gue percaya omong kosong si Alanna?" Raka menggeleng-gelengkan kepalanya. 'Tapi gimana kalo apa yang dia omongin itu kenyataan?' keluhnya.
Kriet.
"Raka, gue udah -" Alanna menganga melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
Blush.
"Aaaa! Lo kenapa gak pake baju?!" tanyanya setengah berteriak dengan menutup kedua matanya.
"Gue baru beres mandi gila, lo aja yang nyelonong masuk. Jangan-jangan lo doyan ya liat cowok topless?"
"Mana ada! Gue kesini mau kasih tau lo kalo makan malemnya udah siap! Lagian lo udah gue suruh mandi daritadi, kenapa bisa baru beres sekarang? Lama banget gila, lo mandi atau berendam?"
Raka tidak menjawab, ia hanya berjalan melewati Alanna dan menuju ke arah lemari baju.
"Pintu sebelah kanan," ujar Alanna memberitahu, ia masih menutup kedua matanya menggunakan kedua tangan, tapi Alanna bisa menebak apa yang sedang dilakukan Raka sekarang.
"Lo, mau lihat gue pake baju?"
"A-ah, gila aja lo! Lo kata gue omes? Ya udah gue tunggu lo di ruang makan. Bye!"
Raka terkekeh geli melihat Alanna yang tampak salah tingkah dan pergi meninggalkannya dengan wajah yang merona merah.
~¤~
"Eh, ada Nak Raka disini?" tanya Bi Ida, asisten rumah tangga di rumah keluarga Alanna.
"Iya Bi, saya mungkin nginap disini satu malam."
"Beberapa malam, atau bisa sampai satu bulan," ralat Alanna.
"Menginap? Bukannya rumah Nak Raka di sebrang rumah ini ya?" Bi Ida menautkan kedua alisnya heran.
"Bi Ida, Raka disini karena permintaan aku, lagian di rumah ini kan cuman ada kita berdua, jadi aku pikir kita butuh sosok cowok selama Mama dan Papah belum pulang."
Bi Ida baru manggut-manggut memahami penjelasan Alanna yang masuk akal.
"Baiklah kalau begitu, Bibi ijin pergi ke ke belakang dulu ya, makan yang banyak, supaya kuat," Bi Ida tersenyum dengan mengangkat sebelah tangannya seolah menunjukkan otot tangan yang tidak seberapa.
Setelah Bi Ida meninggalkan kedua anak muda itu di ruang makan, Alanna dan Raka merasa sedikit canggung satu sama lain.
Bahkan sampai acara makan malam mereka selesai, tidak ada satupun di antara keduanya yang membuka obrolan.
Sampai Raka berinisiatif untuk mengambil piring, sendok, dan garpu yang sudah Alanna dan dirinya gunakan, untuk kemudian ia masukkan ke dalam mesin cuci piring otomatis.
"Ada yang mau gue omongin," ujar Raka setelah ia kembali duduk berhadapan dengan puteri si pemilik rumah.
"Apa?"
"Gue punya misi buat bikin lo tunjukkin ke gue siapa orang yang bunuh kita."
"Caranya?"
"Lo ikut ke setiap perkumpulan gue dan kasih tau gue siapa orangnya."
"Oke, misi yang bagus."
●●●