Triyadi
Aku adalah triyadi pemuda jawa yang cukup beruntung, kedua orang tua ku termasuk kedalam orang terpandang, sejujurnya, aku sangat beruntung bisa mengenyam pendidikan.
Gaya hidupku cukup mewah dan banyak kawanku yang lahir dari kalangan berada.
Lingkaran kami benar benar berbeda, semua nya berubah tatkala aku melihat seorang gadis desa yang cantik keluar dari rumah mewah milik pengusaha kaya, yang anaknya adalah teman sekelasku bernama Anneke.
Sialanya kawanku alderts melihatnya juga, dia terang terangan mengatakan padaku bahwa ia menyukainya. sedangkan aku pun sama memiliki hasrat pada gadis yang ayu yang berkebaya itu.
Selang beberapa hari lalu, setelah kami menguntit rumah ibu penjual jamu, Sengaja aku tunggu ibu penjual jamu di pinggir trotoar jalan, biasanya ia lewat sini untuk berkeliling menjajakan daganganya.
Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri bertanya padanya.
Mataku berbinar bahagia setelah melihatnya dari kejauhan, usai menunggu cukup lama usaha ku tak sia sia, dari kejauhan akhirnya terlihat ibu penjual jamu sedang berjalan hendak ke arahku.
Setelah dekat ia menjajakan jamu.
"Den, jamunya?" (Ibu penjual jamu menawarkan daganganya dengan ramah)
"Saya mau wedang jahe dan beras kencur, bu." (Ucapku)
"Monggo, saya bikinin." (Jawabnya)
Setelah aku membayar dan meminum jamu, aku mulai bertanya tentang jati diri wanita itu.
"Bu, boleh aku tanya?"
"Tentang apa ya..?" (Jawab ibu penjual jamu penuh kepenasaran)
"Kemarin beberapa hari lalu, saya melihat ibu pulang bersama seorang gadis, yang berkebaya itu, siapa ya.. gadis itu?" (Ucapku sedikit malu)
"Maaf, saya hanya ingin berkenalan." (Sambungku)
Ibu penjual jamu pun terdiam sesaat.
"Oh, dia adalah anak saya, biasa nya di sore hari kami pulang bersama, putri saya juga bekerja di rumah besar di simpang jalan sini."
"Pasti itu rumah anneke." (Gumam ku dalam hati)
"Bu.. apa nanti sore saya bisa main kerumah?" (Ujarku)
"Wah.. , gak apa apa, cuma sayang rumah ibu jelek." (Jawabnya dengan senyum)
Aku yang sedikit canggung kemudian melanjutkan pembicaraan.
"Gak apa apa bu, biasa aja.. maaf yoo.. bu! waktu kemarin saya menguntit ibu dari belakang, saya sudah tau rumahnya." (Ujarku)
Ibu penjual jamu hanya membalas dengan senyum, dia kemudian mempersilahkan aku untuk bertamu kerumahnya.
"Monggo, kalau mau bermain kerumah, ya.. den." (ucapnya)
Tak berapa lama kemudian si ibu penjual jamu berpamitan, melanjutkan menjual jamu.
Di rumahku, bapak sedang menghitung hitung pendapatan bulanan, banyak kebun yang bapak kelola, banyak bisnis yang bapak pegang, dari perikanan sampai peternakan.
Di siang hari ini bapak ku yang bernama darmo memanggil dua centeng nya untuk mencariku.
Mereka berdua bernama misdi dan uyen, keduanya adalah tangan kanan bapak, mereka juga jago bela diri dan kepala keamanan rumah kami.
Ketika kedua centeng itu berangkat, tuan missler datang ke rumah bapak, tuan messler adalah salah satu guru dia yang berencana memberi akses sekolah ke netherland, supaya aku bisa mudah melanjutkan ke perguruan tinggi di belanda.
Tuan missler lah yang akan mengurus semuanya. Dia memasuki halaman rumah, disambut oleh beberapa pekerja yang kebetulan berpapasan denganya.
"Silahkan tuan." (ucap salah satu centeng)
Dari kejauhan dibalik jendela bapak melihat tuan missler.
Tuan missler mengetuk pintu, dia kemudian dipersilahkan masuk dan menyapa dengan hangat pada pak darmo (bapaku).
"Wah, apaka kabar pak darmo? semakin besar badanya ya.." (ujar tuan missler)
Bapaku terkekeh kecil, mereka sangat akrab, dulu ketika aku kecil bapak selalu berkumpul membicarakan bisnis kelapa denganya.
Suasana bertambah kompak jika keduanya membahas bisnis bersama babah ong.
Iya, mereka bertiga akrab dan terkenal sebagai trio pasar utara, karena memiliki pengaruh perdagangan yang kuat di pasar utara.
Tuan missler mempunyai beberapa tempat dagang dan penginapan di dekat area pasar. Babah ong mempunyai beberapa toko dan bapak mempunyai satu pabrik beras yang lumayan maju disana.
Kedua centeng itu menemukanku, mereka menyuruhku pulang, perlakuan mereka masih sama padaku seperti saat aku masih kecil, mereka melotot menatapku seolah menakut nakuti ku, padahal aku tak takut pada mereka.
Agar tak jadi masalah, aku memilih bergegas pulang menaiki sepeda ontel, daripada memberontak.
Ketika di pertengahan jalan aku menemukan batu kristal berwarna biru berbentuk persegi panjang dan transparan. Aku sengaja berhenti, karena di jalanan sepi, aku tak melihat orang lain disini.
"Benda punya siapa ini?" (Gumamku dalam hati)
"Tak ada siapapun?" (sambungku bergumam dalam hati)
Aku kemudian memungutnya dan memasukanya ke saku. Kemudian aku berlalu pulang dan mengayuh sepedah lebih cepat.
Ketika aku tiba dirumah, bapak tengah asik berbicara dengan pak guru missler, malam kemarin bapak pernah bercerita tentang keinginanya untuk melanjutkan sekolah ku di perguruan tinggi di netherland. Mungkin mereka sedang berdiskusi.
Aku masuk dan berjalan ke kamar, aku tak memperdulikan obrolan mereka, kemudian ketika sampai di kamarku, aku melihat kembali batu kristal persegi panjang.
Batu ini sungguh indah, dan transparan, aku belum pernah melihat batu seperti ini sebelumnya. Hal aneh terjadi ketika batu ini dibawa ke dalam kegelapan, batu ini bercahaya biru dan menyinari seisi kamarku.
Setelah aku melihat batu itu bercahaya, beberapa menit kemudian aku masukan batu itu kedalam tas lama yang sudah usang.
Aku kemudian membuka buku catatanku dan menulis tentang batu kristal biru yang transparan.
Ibuku datang dia menanyakan prihal sekolah ku yang sebentar lagi lulus, dia juga berbicara tentang persiapan ku. Ujarnya aku harus lebih serius agar diterima di perguruan tinggi di netherland.
"Iya, bu.. aku akan berusaha keras." (Jawabku singkat)
Aku merapihkan kembali beberap buku, melihat beberapa catatanku dan perlahan mengamati beberapa tugas akhir sekolah.
Terselip beberapa gambar universitas tujuanku, ada beberapa gambar pemberian alderts, dia memberikan beberapa photo saat liburan di pegunungan alpen,swiss.
Aku mengamati setiap detail gambar yang tercetak di photo itu, pemandangam yang khas pada pertengahan tahun 1930an begitu terasa kental.
Aku melihat photo alderts dan ayahnya, disana ia terlihat riang. Aku menjadi karib nya sejak dia pertama masuk sekolah dua tahun lalu.
Kami adalah sahabat tulen, hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama. Kami mengenal akrab satu sama lain.
Ucapan pamit terlontar dari tuan missler, nampaknya obrolan bapak di ruang tamu sudah selesai, pak missler berpamitan dan meyakinkan pada bapak bahwa aku bisa pergi ke eropa dan menempuh pendidikan disana.
Bapak sangat senang mendengar hal itu, dia pun memutuskan untuk menyiapkan segala macam perbekalan mulai dari sekarang.
Aku dikamar bergumam dalam hati sambil menatap lembar demi lembar photo hitam putih di meja.
"Seperti apa benua eropa itu? Apakah semua itu persis seperti yang mereka katakan? Apakah tempat itu indah dengan ornamen yang megah?" (Gumamku dalam hati)
Wajahku menoleh ke arah jendela, beberapa awan mendung teerlihat dari kejauhan, sepertinya beberapa saat lagi hujan akan datang.
Di rumahku suasan sepi, rumah besar seperti ini hanya di isi oleh keluarga kecil, walau beberapa centeng penjaga selalu siap siaga, mereka tak pernah menyentuh area rumah, sesekali atasan mereka menghampiri bapak di ruang tamu, melaporkan situasi rumah.
Halaman depan penuh dengan bunga, pekarangan yang luas dan air mancur khas eropa mematenkan sang pemilik sebagai orang terpandang dan nigrat.
Dari kejauhan pun sudah nampak rumah keluarga ku yang mewah, tak sembarangan orang bisa mudah masuk kesini, karena centeng centeng rumah menjaga ketat rumah kami.
Para penjaga ini sudah lama mengabdi untuk keluarga kami, bahkan sejak kakek masih hidup mereka sudah ada.
Jika paman datang, biasanya paman mengajak anaknya yang seumuranku. kami biasanya bertukar pikiran dan saling share ilmu.
paman menikahi wanita belanda dan sekarang dia sudah kembali ke negeri kincir angin memilih tinggal bersama mertuanya.