Brenda's Point Of View
Sebagai anak yang berbakti, aku langsung menelpon mama dengan niat pamit (walaupun telat) sekaligus mengkonfirmasi kalau aku sudah sampai di Sekolah. Mama selalu mengingatkan aku, Kak Brandon, bahkan Papa untuk selalu mengkonfirmasi jika telah sampai tujuan ketika keluar rumah.
"Ya?"
"Ma, aku udah sampai di sekolah."
"Jam?"
"Sampai disekolah jam tujuh kurang empat menit, Ma."
"Terbang, kamu?"
"Nggak, Ma. Naik ojek online tadi."
Aku baru teringat kalau Mama juga nggak tahu terkait jalan pintas. Mengingat tentang hal itu. Aku merasa benar-benar diistimewakan oleh Papa.
"Yaudah, nanti pulangnya sama Brandon."
"Oke, Ma."
"Lain kali, mau seburu-buru apapun, pamit sama orang tua."
"Iya iya maaf."
"Untung Papa kamu nggak tahu."
Ah, iya. Ada hal yang harus aku syukuri pagi ini terlepas dari drama telat bangun. Aku nggak melihat Papa sejak bangun tidur. Mungkin ada hal yang mendesak dan mengharuskannya berangkat lebih awal. Dan itu, justru membuat aku senang sebab Papa nggak melihat betapa amburadulnya aku pagi ini. Setelah menutup telepon, aku segera menaiki tangga menuju kelasku. Kelasku berada di lantai tiga dan itu pasti sangat menguras tenagaku. Tapi it's ok, itung-itung olahraga buat diet. Sebelum benar-benar menginjakkan kaki ke tangga pertama, aku mengintip ke jendela kelas samping tangga sambil memasang wajah mengejek. Hal itu kulakukan untuk menunjukkan ke Kak Brandon, yang duduk dibangkunya sambil membaca buku, kalau aku nggak telat.
"Brenda, ke kantin yuk! Gue belum sarapan, nih. Mumpung guru belum masuk kelas," ajak Chelsea, teman sebangkuku tepat setelah aku meletakkan tas dibangku kami.
Mengingat aku juga belum sarapan, aku langsung menyetujui ajakannya. Tapi, saat aku membuka tas…
Hah, dompetku mana?
"Kenapa?" tanya Chelsea.
"Dompet gue ketinggalan," jawabku sambil memasang wajah melas.
Chelsea hendak menjawab pernyataanku tapi ia urungkan karena melihat guru mata pelajaran pertama sudah memasuki kelas. Aku dan Chelsea menghela napas bersamaan mengingat kami tipikal murid yang lebih menyukai jam kosong. Selama jam pelajaran berlangsung, aku nggak fokus karena lapar. Mungkin di waktu istirahat nanti, aku meminta uang ke Kak Brandon saja.
Bel tanda istirahat berbunyi. Dan itu malah membuat aku semakin sedih karena harus membuang waktu berhargaku untuk menemui Kak Brandon. Ya, walaupun dengan tujuan untuk meminta uang, tapi waktu tersebut bisa saja aku gunakan untuk makan sepuasnya. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengirimkan pesan bertubi-tubi ke Kak Brandon.
"Lo mau ikut ke kantin nggak? Gue traktir deh kali ini," kata Chelsea sebelum beranjak dari kelas.
"Duluan aja nanti gue nyusul," jawabku yang langsung disetujui olehnya.
Setelah mendapatkan balasan dari Kak Brandon, aku langsung menuju ke TKP. Aku harus sampai TKP lebih dulu sebagai rasa hormat karena posisiku disini lebih diuntungkan. Setelah satu menit aku disana, Kak Brandon mendekatiku.
"Kak Brandon yang gantengg, aku-"
"Dompetnya ketinggalan ya?" Potong Kak Brandon.
"Kok tahu?" Tanyaku dengan heran.
"Mau berapa?" Tanya Kak Brandon sambil membuka dompet.
"50k aja," jawabku dengan cepat.
Kulihat Kak Brandon menghela napas. Akan tetapi, dia tetap memberikan uang yang aku inginkan. Aku menerimanya dengan senang.
"Tapi ada syaratnya, ya! Nanti pulang sekolah, ikut gue ke suatu tempat. Nanti gue beliin makan siang sekalian," tawar Kak Brandon.
"Oke Deh," jawabku tanpa memikirkan ucapannya lebih jauh.
***
Brandon's Point Of View
Semua mata tertuju padaku saat aku melewati koridor menuju kelas. Lebih tepatnya lautan anak-anak perempuan yang terus ingin mencuri perhatianku dengan menyapaku. Karena lebih dominan adik kelas, aku sedikit heran mereka begitu berani kepada seniornya yang bahkan belum mengenalnya.
"Hai kak, Brandon!"
"Hai kak!"
"Kak nanti makan bareng yaa?"
Sebenarnya aku nggak suka dengan kondisi seperti ini. Menjadi pusat perhatian banyak orang. Menurutku orang yang berada dibalik layar itu lebih mengagumkan. Kelasku terletak di lantai pertama tepat di samping tangga. Nggak sesusah si badut yang harus mendaki sampai lantai tiga untuk menuju kelasnya. Fyi, Si badut adalah adik kecilku, kenapa kupanggil demikian karena nggak ada satupun orang di sekolah yang mengetahui kami kakak adik. Anehnya, hal itu malah membuat kami nyaman setidaknya sampai sekarang.
Setelah banyak drama melalui koridor yang menyeramkan tadi, aku pun tiba di kelasku. Aku anak IPA (Ikatan Pelajar Apatis) sebutku, tapi aku bukan termasuk di dalamnya. Mayoritas anak-anak di kelas IPA nggak peduli dengan yang terjadi disekitarnya, mereka hanya mementingkan urusan mereka sendiri.
WAHHH, Brandon pengamat yang cukup baik. Mengapa cukup baik? Karena brandon rendah hati.
Secuil informasi dariku jangan dimasukin hati, masukin hidung aja karena kamu separuh nafasku, hia… hiaaa...
Memasuki kelas, aku menemukan teman sebangkuku yang melambai. Ketahuilah, dia cuma teman sebangku. Nggak lebih dari itu. Namanya Shasa, kepribadiannya bertolak belakang denganku. Dia dikenal seluruh teman sekelas bersikap ramah, sementara aku tak ubahnya makhluk tak kasat mata yang jarang berbicara.
Sebentar pasti kalian pembaca pada tanya gini,
"Introvert?"
"Gagu?"
Nooo…Biar terlihat cool aja sih. Tokoh novel yang disukai cewek kan kaya gini. But in my mind, Aku orang yang paling ceria. Mungkin saking dalamnya susah untuk memunculkannya.
Kesibukan ku di kelas sebelum pelajaran dimulai adalah membaca materi. Aku terlalu fokus sampai terlupa perihal Si Badut sudah tiba atau belum. Akan tetapi, beberapa menit kemudian, aku melihat Si Badut melirik dengan senyuman kuda nya ke arahku dari jendela sebelum berjalan menuju tangga. Aku merasa, wajah sombongnya itu sekedar menunjukkan bahwa dia nggak terlambat.
Pasti ni anak nggak mandi. Dugaanku itu, 100% bisa dinyatakan benar.
Ada satu pertanyaanku yang masih jadi misteri sampai sekarang. Bahkan Neil Amstrong aja nggak kepikiran. "Kenapa cewek wangi, padahal nggak mandi?" Brenda lah bukti hidupnya.
Jam istirahat pun tiba. Terlihat notif pesan dari Brenda bertumpuk di layar utamaku. Isinya ajakan bertemu di gedung belakang sekolah, sewaktu istirahat. Firasatku sudah buruk jika berhubungan dengan Badut satu ini. Namun aku juga nggak bisa mengacuhkan adik kecilku. Toh saya bukan golongan ikatan pelajar apatis.
"Y, cpt. 5 mnt lau g ad ku blk kls."
Butuh translate? Bentarr.
"Iyaaa, cepet adikku tercantik, lima menit kalau nggak ada akuu balik ke kelass," jadi begitu.
Setibanya di belakang gedung, ternyata si Badut udah tiba lebih dahulu.
"Mau apa? Cepet to the poin," ucapku.
"Kak Brandon yang gantenggg, aku-"
"Dompetnya ketinggalan ya?" dugaan 100% benar sih.
"Kok tahu?" herannya.
"Mau berapa?"
"50k aja," ucapnya sambil senyum-senyum.
Tau aja ni anak, kakaknya dapet uang jajan lebih dari mama kemarin, batinku.
"Nihh, tapi ada syaratnya, ya! Nanti pulang sekolah, ikut gue kesuatu tempat. Nanti gue beliin makan siang sekalian."
"Oke deh," jawabnya kelewat ceria sambil menunjukkan jempolnya ke wajahku.
Melihatnya bertingkah seperti itu, aku menjentikkan jari ke dahinya dan pergi Kembali ke kelas. Brenda termasuk cewek yang cuek. Jadi aneh aja kalau dia bertingkah seperti itu.
Jam pulang sekolah, situasi aman nggak ada anak perempuan di koridor. Hoki setahun sekali yang bisa kurasakan saat berjalan menuju parkiran. Akan tetapi, Brenda belum menunjukkan batang hidungnya.
Dia nggak mungkin kabur, kan? Semoga dia nggak lupa sama janjinya, batinku sambil menuju motorku di parkiran.
***