Gadis cantik itu masih menutup matanya dengan rapat. Bak seorang putri tidur —larut pada mimpi panjang yang ia miliki— tidak ada tanda-tanda sosok yang semula Satria kira adalah hantu penunggu pantai itu untuk dapat sadar kembali.
Ini bukan pertanda bagus.
Seperti bagaimana yang telah diajarkan, untuk menyelamatkan seseorang yang tenggelam, pria itu melakukan segala tahapan proses kegawat daruratan dengan sangat baik. Seolah-olah, memang hal tersebut adalah hal yang sering kali ia lakukan, bukan sekali dua kali dihadapi dengan kepanikan yang sama.
Mula-mula pria itu memeriksa nadi milik gadis berkulit putih pucat tersebut. Bibirnya mulai membiru, tentu saja kondisi tersebut tidak menunjukkan bahwa korban tersebut dikatakan baik-baik saja.
Terhenti. Napasnya terhenti.
Jika tidak ada denyut nadi, maka langkah selanjutnya yang perlu ia lakukan adalah memberikan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation).
CPR merupakan teknik mengompresi dada dan memberi napas buatan untuk seseorang yang detak jantung dan pernapasannya berhenti. Digunakan agar denyut jantung dapat kembali.
Sembari terus memompa jantung gadis tersebut, dengan suara lirih pria itu berujar, "Tolong ...."
"Tolong ...."
"Buka matamu, tolong." Satria mengatakan kalimat itu dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.
Setiap satu kali tekanan yang ia berikan, satu kalimat permohonan dengan sungguh itu meluncur mulus dari sudut bibirnya. Berharap seseorang yang ia selamatian kali ini bisa kembali mendapati kesempatan kedua dari kehidupan.
Hal yang sama terus diulangi hingga beberapa kali.
Sampai pada akhirnya, air yang semula menghalangi jalan napas dari si korban keluar seluruhnya. Barulah gadis tersebut dapat kembali bernafas dan mendapati kesadaran.
Ketika gadis yang semula hilang kesadaran itu terbatuk, barulah Satria dapat kembali bernapas dengan normal. Ia kehilangan kemampuan berpikir karena begitu paniknya. Sejatinya ketegangan antara hidup dan mati tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga mereka yang menyelamatkan.
Sudah sangat lama sejak terakhir kali Satria merasakan bagaimana detak jantungnya seperti berdetak dua kali lebih cepat dari biasa. Bahkan rasanya anggota tubuhnya itu seolah ingin meninggalkannya begitu saja, tidak dapat tergambarkan betapa pria itu sangat ketakutan dan panik.
Bukan karena tidak terlatih dalam menghadapi kondisi yang seperti saat ini, gelar yang Satria peroleh tentu saja menjelaskan segalanya.
Kapten, prajurit terbaik angkatan laut yang dimiliki oleh negara, adalah apa yang selama ini selalu dikaitkan kepada Satria.
Namanya dan beban tugas tersebut bukan ada tanpa sengaja. Tetapi karena dirinya memang tergolong orang-orang yang memiliki keahlian luar biasa untuk dapat menjalankan segala amanah yang diberikan kepadanya.
Seorang ahli.
Hanya saja, bahkan seseorang yang berkali-kali dihadapi oleh situasi yang sama tentu saja tetap akan merasakan rasa takut yang begitu besar bilamana harus bertemu dengan kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk bentuk di masa depan.
"Syukurlah kamu baik-baik saja."
Sepuluh menit yang berisi ketegangan dapat terlewati dengan baik. Setidaknya, apapun yang mungkin saja bisa berubah menjadi resiko yang mengancam jiwa sudah terlewati.
"Saya takut sekali jika sesuatu terjadi padamu." dengan suara serak —lebih terdengar seperti tercekat, Satria merapalkan rasa terima kasihnya.
Untuk beberapa saat, membiarkan keadaan menjadi lebih tenang adalah pilihan yang keduanya ambil. Tidak ada lagi pembicaraan apapun diantara mereka. Baik satria maupun gadis yang ia selamatkan hanya diam, menyelam di antara pikiran masing-masing.
Setelah dirasa cukup tenang, barulah Satria melontarkan kembali apa yang sejak tadi menjadi pertanyaan di benaknya.
"Kalau saya boleh tau, siapa namamu?"
Ini adalah pertemuan pertama mereka. Orang bilang kesan pertama selalu diingat. Dan diantara banyak pertanyaan yang bisa saja pria dengan mata tajam tersebut ajukan, rupaya ia terlalu kaku untuk memberikan pertanyaan yang berkesan. Kecuali melontarkan tanya perihal siapa yang ia temui saat ini.
Tidak ada respon apapun.
Seperti tengah berbicara kepada sebuah batu yang tidak dapat membalas segala pertanyaan yang diberikan, Satria mengerti bahwasanya gadis yang berada di hadapannya saat ini pasti tengah syok sekali.
"Saya tau kamu pasti terkejut."
"Tidak apa-apa, kamu sudah baik-baik saja. Jangan pikirkan apapun lagi karena sekarang kamu aman."
"Hanya saja bila saya boleh tau, kenapa kamu bisa berada di tengah laut? Maksud saya ... Bagaimana kamu bisa tenggelam seperti itu?"
Benar saja, tidak aneh melihat seseorang terseret ombak seperti tadi. Pengalaman itu tentu sering kali dirasakan oleh beberapa orang yang tidak cukup waspada. Namun, kendati demikian, hal tersebut dimaklumi saat korban adalah seorang bocah —dalam kata lain, anak kecil yang tidak tahu apapun— dan gadis tersebut tidak masuk dalam kategori itu.
Untuk saat ini hanya ada dua kemungkinan.
Pertama; gadis itu memang sengaja melakukan percobaan untuk mengakhiri dirinya sendiri dengan menenggelamkan tubuhnya diantara samudra. Kedua; hal tersebut terjadi tanpa sengaja. Mungkin saja ketika ia mencoba untuk berenang dan bersenang-senang, ombak yang sedang besar-besarnya itu membawanya ke tengah lautan. Tambahan, ia tidak dapat berenang.
"Awww!" gadis dengan wajah manis yang membuat siapa saja memandangi betapa mungil dan manisnya ia nampak meringis kesakitan. Tangannya secara refleks memegang kepalanya yang sepertinya barusaja menimbulkan efek setelah tidak sadarkan diri hingga beberapa saat.
"Ada apa? Apa ada yang sakit?" tangan kekar yang terasa dingin itu tiba-tiba langsung menangkap wajah sang gadis, memeriksa barangkali terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, "Sakit sekali? Apa kita perlu ke rumah sakit?" berikut wajahnya yang nampak ketakutan dan panik, ia seperti takut barangkali ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
Padahal mereka bukan siapa-siapa, tapi perasaan cemas itu membuat diantara keduanya menghangat.
Untuk beberapa detik wajah mereka yang saling pandang itu bertemu. Kedua mata itu jatuh satu sama lain. Tenggelam masing-masing di dalam keindahan yang terpancarkan, tegas penuh tanggungjawab dan ketulusan, serta indah nan meneduhkan.
Tetapi hal tersebut hanya terjadi beberapa detik, karena setelah terjadinya hal tanpa sengaja yang membuat suasana berubah canggung itu, baik Satria maupun sang gadis dengan segera membuang pandang ke arah lain.
Merasa tidak ingin terjebak lebih lama dan hanyut dalam suasana seperti hal tersebut.
"M-maaf, " ucapnya menyesal, menarik kembali tangan yang semula dengan lembut memeriksa keadaan gadis cantik yang mirip lebih mirip Tuan putri itu.
"S-saya tidak bermaksud melakukan hal yang membuatmu terganggu. Saya hanya khawatir —"
"Sepatuku ...." belum Satria menyelesaikan apa yang menjadi kalimat penjelas dari tindakan yang dirinya lakukan, gadis asing yang ia selamatkan beberapa saat yang lalu itu dengan cepat memotongnya, berujar lirih penuh tanya.
"Sepatu?" ulang Satria, memastikan. Barangkali ia salah mendengar. Satu kata, terdengar berlawanan arah dengan apa yang terjadi— yang tentu saja membuatnya cukup terkejut, "Sepatu apa?"
Sementara yang ditanya tidak menjawab, hanya saja tangan kecil yang nampak sangat pucat tersebut terarah dengan gerakan sayu, menunjuk ke lautan luas yang berada di sebelah mereka.
"Sepatuku. Sepatu kacaku."
"Ada di sana, aku harus mencarinya." menunjuk ke arah laut, tempat dimana benda berharga yang dengan sukarela ia tukarkan nyawa berada.