"Di mana Malik?" Anna bertanya.
Setelah pernikahan selesai, Anna tidak melihat Malik sama sekali.
"Sepertinya Tuan sedang di ruang kerjanya, Nona. Apa perlu saya panggilkan?"
Anna menggeleng cepat, "Tidak usah."
Pelayan yang ditugaskan untuk melayani Anna itu berdiri di samping kiri pintu. Sesekali tatapan keduanya saling beradu. Anna mengerucutkan bibir, tak nyaman dengan situasi yang ada. Ya, dia berasal dari kalangan rendah, dan tidak terbiasa dengan adanya pelayan.
"Aku ingin minum wine," lontar Anna memecahkan keheningan.
Pelayan itu membungkuk, "Baik, Nona."
Lalu keluar dari ruangan gadis itu. Melihat kepergian pelayan itu, akhirnya Anna bisa bernapas lega. Merebahkan tubuh dan menikmati waktu sendirinya.
"Kenapa pria itu masih bekerja di hari pernikahannya?" monolog Anna seraya menatap langit kamar.
"Bukankah hal itu nggak wajar?" Dahi Anna mengernyit.
Setiap pria pasti tidak akan melewatkan malam pertama dengan istrinya. Tetapi, mungkin suaminya berbeda dari pria pada umumnya.
"Heh, apa yang kau pikirkan, Anna?!" Gadis itu terbangun, menepuk pipinya dengan keras.
"Untuk apa aku mengharapkan malam pertama?!" Suara Anna melengking. Menggema di dalam ruangan tersebut.
"Aku ... aku pasti sudah gila!" Wajahnya menghangat, akibat pemikiran yang tidak waras tersebut.
Impian gadis seperti Anna adalah pernikahan yang didasarkan atas cinta. Bukan pernikahan kilat yang bahkan tanpa perkenalan lebih dulu. Sampai sekarang pun, Anna tidak tahu siapa Malik, apa pekerjaannya, dan kenapa mereka menikah?
Untuk pertanyaan terakhir. Itu adalah pertanyaan yang sangat penting, dari point-point sebelumnya.
"Nona," pelayan datang, membawa sebotol wine yang diinginkan juga gelas kecil. Wanita muda itu lalu meletakkannya ke atas nakas kecil di samping ranjang.
Anna mengamati tiap gerakan pelayan tersebut.
"Bisakah kau meninggalkanku? Hmmm, maksudnya, ini sudah malam, dan aku perlu waktu untuk sendiri," pintanya, sedikit terbata-bata.
Wanita itu menatap Anna, lalu mengangguk. "Baik, Nona."
Setelah pelayan itu meninggalkannya, Anna menyambar botol wine dan langsung meneguknya dari botol tersebut. Tetesan wine tumpah dari mulut ke dagunya, Anna seperti orang yang sangat kehausan.
Rasa hangat seakan meluncur di tenggorokannya, Anna terus meneguk wine tanpa peduli konsekuensi yang terjadi.
"Aku tidak kecewa karena malam ini, pria sialan itu meninggalkanku! Ya, ya, aku tidak kecewa!" pekiknya lantang. Menyatakan dirinya baik-baik saja, tetapi nyatanya tidaklah seperti itu.
Siapa pun wanitanya, bukankah akan merasa hancur jika mengalami apa yang menimpa Anna?
Pernikahan yang tak diinginkan, parahnya pria yang menjadi suaminya tidak menjelaskan apa pun, dan malah entah berada di mana, di malam pertamanya itu.
Glek-glek-glek.
Anna mereguk cepat, menyeka bibir yang basah karena wine yang belepotan. Wajahnya mulai memerah, pikirannya pun mulai tak terarah. Hanya ada emosi dan tuntutan kejelasan atas hubungannya tersebut.
Pernikahan bukan hal yang mudah. Pernikahan menyangkut kehidupan dan masa depan seseorang. Apa jadinya jika dia menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal. Apa dia akan menjalani hidup tanpa cinta sampai akhir hayatnya?
Tidak-tidak! Anna tidak ingin itu. Dia menginginkan kehidupan pernikahan seperti ayah dan ibunya, yang romantis dan harmonis hingga sang ayah meninggal.
"Aku harus mencarinya!" Anna berdiri, dia telah kehilangan akal sehatnya.
Gadis itu berjalan sempoyongan, wine yang dia pegang tersisa seperempat atau mungkin sedikit lebih kecil lagi.
Menyusuri koridor yang panjang, banyak pintu dan ruang yang tidak Anna tahu sama sekali. Rumah Malik sangat asing baginya, tetapi kini dia harus terbiasa dengan hal itu. Mungkin Malik akan memaksanya untuk menghapal satu per satu ruangan yang ada di rumahnya.
"Fuck!" umpat Anna di tengah perjalanan.
Beberapa menit berjalan, dia sudah merasa satu atau dua jam terlewati. Gadis itu memegangi dinding untuk mempertahankan langkahnya.
Glek!
Anna meneguk, dan berpikir. Bola matanya mengedar, mengamati celah pintu yang gelap. Kemarin dia masuk ke ruang di mana celah pintunya terang, dan dia berhasil menemukan Malik. Sekarang, berdasarkan hal itu, Anna mencoba peruntungannya kembali.
Anna berjalan lagi, mengamati dengan teliti.
"Ah, itu pasti ruangan kemarin!" serunya.
Tanpa menunggu waktu lama, Anna langsung masuk ke ruangan tersebut. Dan ternyata benarr, Malik ada di situ. Pria dingin, aneh, yang duduk dengan dokumen-dokumennya, yang duduk seakan dia sangat berkuasa dan mampu bertindak semena-mena pada kehidupan orang lain.
Mata Malik tertuju pada botol yang dipegang Anna. Pria itu menghembuskan napas besar, dilihat dari wajahnya dan tingkahnya, gadis yang baru dia nikahi sudah jelas sedang mabuk. Dan dari pada, Anna bertindak yang tidak-tidak, lalu merusak dokumennya, Malik memilih mendekati gadis tersebut.
"Di hari pertama, kau sudah merepotkanku. Apalagi di hari-hari selanjutnya," lontar Malik, menatap dingin.
Anna menatap Malik dengan mata melotot, seperti lomba kedip. Lalu dia memukulkan botol wine ke dada Malik dengan pelan.
"Dengarkan aku Tuan Malik yang terhormat, kenapa orang seperti Anda sangat egois? Kenap anda tidak peduli terhadap perasaan saya? Kenapa anda tidak meminta pendapat saya lebih dulu sebelum menikahi saya?" celoteh Anna.
Malik merebut botol wine, sebelum istrinya melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya.
"Mi-minumanku! Kembalikan minumanku!" teriak Anna.
Malik menyugar rambutnya, sungguh menyusahkan!
Tanpa pikir panjang, Maik lantas menggendong Anna ala bridal style.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" Anna berontak, Malik berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Meski rasanya sangat sulit. Karena Anna terus melawan, memukulinya, dan bahkan menampar wajahnya.
"Bisakah kau tenang sedikit?" Malik emosi. "Asal kau tahu, kesabaranku sangat tipis. Dan jangan mengujiku!"
Mendengar suara bentakan itu langsung menciutkan nyali Anna. Dia tidak pernah dibentak oleh keluarganya, tidak oleh ayah atau ibunya.
'Ah, apa aku sudah kelewatan?' batin Malik.
Namun jika dia tidak menggunakan cara itu, Anna tidak akan berhenti.
"Hmmmm!" Anna mual.
Malik yang menggendong gadis itu mempercepat langkahnya.
"Tahan Anna, sebentar lagi kita sampai di kamarku!" pekik Malik, panik.
"Huee!!!" Anna tak tahan, golakan di perutnya begitu besar.
"Huekkkkk!" Dan akhirnya tak lama setelahnya, gadis itu memuntahkan isi perutnya.
Malik hanya bisa menggeram, memarahi Anna hanyalah perbuatan sia-sia. Pria itu membisu, sementara Anna langsung memejamkan mata.
"Punya istri, benar-benar merepotkan! Hal itu tidak seperti yang dikatakan Erick, pria itu hanya membual pasal pernikahan," monolog kesal Malik.
*
Sinar mentari pagi menerobos masuk ke kamar Malik melalui berbagai celah. Namun ruangan yang biasanya dipenuhi sinar mentari itu, kini tampak redup. Tak banyak sinar yang masuk, dan tak ada satu pun pelayan yang masuk ke kamar Malik atau berani membangunkan pria tersebut, setelah Erick mendapati tuannya tidur dengan istrinya.
Meski apa yang terjadi semalam tak seperti yang dipikirkan oleh para pelayan, tapi mereka benar-benar mengetahui hal tersebut. Mereka bahkan langsung memimpikan kehadiran pewaris kecil yang akan mewarnai rumah yang tampak hening.
Anna mengusap matanya yang lengket, kepalanya sangat pening, seperti ada konser dalam kepalanya, yang menabuh otaknya dengan keras. Tak tahan dengan rasa yang ada, gadis itu mengerang kecil. Tangan kanannya menepuk sesuatu yang padat dan bersensasi menyenangkan.
Anna membuka matanya, "Aarrrrrghhhhh! Kau-kau kenapa ada di sini?!" pekiknya.