Cerita ini dimulai sekitar lima belas tahun yang lalu, atau mungkin lebih. Satria tak bisa menghitungnya dengan pasti. Yang jelas pertama kali Satria melihat anak laki-laki itu adalah di malam hari ketika ia sedang berjongkok di tepi kali, alias sungai kecil yang selain berfungsi sebagai saluran irigasi sawah, juga digunakan untuk kegiatan dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti mandi, mencuci dan keperluan kakus.
Memang saat itu adalah zaman dimana belum tersedia internet dan smartphone. Kedua hal ini bahkan belum menjadi sebuah konsep di kala itu, mungkin hanya ide belaka. Jadi wajar kalau di beberapa desa di banyak tempat, juga di pulau ini di tempat dimana Satria tinggal sekarang, untuk buang air besar pun ia harus melakukannya di kali. Tidak semua orang memiliki toilet atau sekadar jamban di rumahnya. Mungkin hanya pak lurah yang memiliki kemampuan membangunnya di dalam rumahnya yang besar.
Meski bila dipikir-pikir, sebenarnya rumah mbah kakung dan mbah putri Satria termasuk yang terbesar di desa ini. Ada satu buah WC di bagian belakang rumah, tapi kelak akan dijelaskan mengapa Satria enggan buang air di WC itu, selain karena bagaimanapun 'budaya' buang air besar di kali tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat desa.
Jadi di desa ini wajar sekali kalau ada orang malam-malam antre untuk buang air besar. Untuk amannya, malam menjadi pilihan agar tak terlalu sulit menyembunyikan malu. Tapi tetap saja, bila ada orang yang juga akan atau sedang buang hajatnya, warga lain yang juga berniat melakukan kegiatan yang sama juga perlu tahu diri untuk menunggu sebentar atau sekalian saja pergi jauh-jauh ke area lain bila sudah tidak dapat menahan hasrat untuk buang air besar. Untuk hal ini, biasanya ke arah hilir sungai.
Anak laki-laki yang sedang berjongkok di tepi kali itu sebaya dengan Satria, tapi tubuhnya jauh lebih kecil, kurus kering dan berkulit gelap bagai tembaga yang dipoles dan digosok terus sampai berkilauan. Sorotan kedua matanya yang menatap kosong lah yang menyadarkan Sajaya bahwa ada seseorang di tempat gelap itu. Sosok anak laki-laki berkulit berwarna tembaga itu tersentak ketika tiba-tiba melihat Satria.
Tentu saja ini membuat Satria juga ikut tersentak. Tapi kemudian Satria sendiri lah yang merasa bersalah karena telah mengagetkan anak tak dikenal itu, meski padahal harusnya Satria lah yang berhak merasa kaget terlebih dahulu. Bagaimana tidak, anak laki-laki itu bertelanjang dada di pukul sepuluh malam di udara luar yang yang lumayan dingin merangkak merembet merambat di atas lapisan kulit hanya dengan mengenakan celana pangsi hitam sebetis, tanpa alas kaki dan berjongkok di tepi kali di sela-sela rimbunnya pepohonan tebu.
Merasa sebagai warga pendatang di desa ini, Satria memutuskan menyapa anak laki-laki itu dahulu. "Kulonuwon, mas," ujarnya. Satria bingung mau bagaimana menjelaskan kepada anak ini bahwa ia hendak buang hajat dan ingin menggunakan area kali tersebut. Satria berharap anak laki-laki itu paham dengan tujuan Sanjata, karena logikanya, untuk tujuan apa lagi jam sebegini malam ia ke kali, bukan?
Benar saja, anak itu, yang walaupun sebaya dan Satria panggil mas tadi, berdiri dengan tiba-tiba, membuat Satria kembali tersentak. Namun anak laki-laki misterius itu mendadak berbalik dan pergi menghilang ke rerimbunan pohon tebu tanpa satu kata pun, bagai terhisap ke dalam pusaran air.
Hantu mungkin, pikir Satria. Tapi ia tak acuh lagi bila memang sosok itu benar hantu adanya. Ia sudah merasa kebelet, hasrat itu mendorong perutnya dengan paksa sampai kepalanya terasa pusing.
***
Kali kedua Satria bertemu dengan anak laki-laki itu lagi adalah selang dua hari kemudian. Masih di tempat serupa, berjongkok dengan pandangan kosong ke arah kali kecil itu, bertelanjang dada dan bercelana pangsi hitam dengan simpul tali di pinggangnya.
"Kulonuwon mas," sapa Satria lagi dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih permisi. Anak laki-laki itu tidak capek-capek memandang ke arah Satria namun keduanya sama-sama tidak terkejut kali ini.
"Mau berak lagi? Kenapa tidak cari tempat lain?" balasnya juga dalam bahasa Jawa.
Terus terang Satria butuh sepersekian detik untuk memahami bahasa Jawa yang anak laki-laki itu ucapkan dengan suaranya yang serak bagai meraba kulit pohon kering itu. Satria berpikir mungkin karena sebenarnya ia bukan sepenuhnya orang Jawa dan juga bukan orang asli desa ini.
Ayah Satria lah yang dulunya asli warga desa ini yang pernah tinggal bersama orangtua dan adik-beradiknya. Tapi setelah ia menikah dengan ibu Satria yang berdarah suku Dayak di Kalimantan, sang ayah sudah jarang pulang ke Jawa.
Sebenarnya Mbah kakung dan mbah putri Satria yang meminta kepada ayahnya untuk menyekolahkan salah satu anak nya, yaitu Satria, di Jawa agar hubungan anak-beranak tersebut tetap terjaga. Jadi, ini adalah tahun kedua Satria bersekolah di pulau Jawa.
Padahal ayah ibu Satria awalnya menginginkan dirinya untuk melanjutkan studi ke pulau Jawa pada saat ia beranjak ke masa Sekolah Menengah Atas alias SMA nanti. Tapi hasilnya malah Satria snediri yang begitu bersemangat untuk bersekolah di Jawa sedari kelas satu Sekolah Menengah Pertama karena ingin merasakan kehidupan di kota lain. Toh, di rumah nya di Kalimantan masih ada abang, kakak dan adik perempuan Satria yang paling kecil sehingga kedua orangtuanya harus tak akan mudah merindukan dirinya. Begitu pikirnya sederhana.
Hasilnya, selama dua tahun ini Satria sudah terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Tapi tetap saja sedikit banyak ia sering kehilangan kosakata dan terpleset lidah dalam mengucapkan atau menangkap kata. Makanya, setelah kira-kira paham makna kata-kata yang diucapkan, Satria langsung meminta maaf pada anak laki-laki itu dan hendak beranjak pergi. Tapi tiba-tiba anak laki-laki misterius bertubuh kurus itu berdiri, "Sudah-sudah. Aku saja yang pergi. Kamu berak di sini saja," ujarnya.
"Wah, tidak apa-apa, mas? Saya bisa ke tempat lain kok," balas Satria jujur. "Kamu sepertinya sudah biasa di sini," lanjutnya pendek. Sang anak laki-laki itu yang justru kemudian berbalik dan menghilang lagi di balik rimbunan pohon tebu, lenyap bagai tersedot masuk dan menjadi kelam itu sendiri.
Satria tersenyum. Memang hantu sepertinya anak itu, pikirnya. Tapi memang tempat ini adalah tempat yang paling pas untuk buang hajat setelah lama berpindah-pindah dari satu spot ke spot lainnya. Kali ini berbeda jauh dengan sungai yang ada di Kalimantan. Melihat ukuran lebarnya yang hanya bisa diisi oleh dua sampai tiga orang dewasa bila jongkok berjongkok berdampingan – Satria merasa jijik ketika membayangkan gambaran perbandingan ini, kali ini hanya pantas disebut parit, bukannya sungai atau anak sungai yang memang lebar-lebar di Kalimantan.
Tepian kali dibangun dari bebatuan yang disusun dan disemen dengan rapih. Tapi tempat dimana Satria berjongkok untuk buang hajat ini ada cuilan bebatuan yang rompel dari tepian kali yang disemen. Cuilan bebatuan itu jatuh dan sebagain terbenam di tengah arus, sebagian lagi menumpuk menonjol ke atas membelah air. Satria biasanya berjongkok di atas batu-batu itu dan membenamkan sedikit pantat nya ke aliran air sembari merenung dan memainkan gelang kulit kayu bahar yang melingkar di lengannya.
Posisi buang air besar terbaik menurutnya, walau terdengar konyol dan tak nyawan bila menilik cara buang air besar yang umum di tempat lain atau di masa modern ini. Jadi jelas memang Satria suka tempat ini. Sedangkan anak laki-laki misterius bagai hantu itu yang selama kurang lebih setahun Satria tinggal di desa ini belum pernah terlihat. Maka sudah barang tentu, anak itu yang harusnya mengalah dengan Satria. Lagipula Satria tak tahu jelas tujuan utama sang anak laki-laki tersebut nangkring di tempat terbaiknya ini.