Hati Zeno gelisah, ia mendapatkan sepucuk surat peringatan dari kakaknya. Dalam surat berisi, jika Zeno harus cepat-cepat membawa Sofia lari ke tempat lain.
Pria itu kebingungan, ia bahkan tidak tahu ke mana istrinya itu pergi. Pagi-pagi sekali, Sofia meminta izin padanya untuk pergi bersama dengan kawannya.
Sekarang, Zeno berada di rumah bersama dengan kedua orang tua Sofia. Keduanya tengah sibuk menumbuk obat untuk mereka pakai.
"Ibu, Kira-kira ke mana Sofia pergi?" tanya Zeno panik.
Sang ibu menghentikan pekerjaannya. "Sebentar lagi pasti pulang. Zeno tidak perlu khawatir."
Baru saja Zeno ingin berjalan keluar untuk mencari istrinya. Tiba-tiba saja sekelompok pasukan berkuda, Jenderal Kerajaan dan juga sang kakak sudah berada di depan rumahnya.
Zeno ingin berlari, tapi kediamannya sudah dikepung dari segala arah oleh pasukan Raja. "Saya, harus bagaimana sekarang?"
Kedua orang tua Sofia tampak sangat ketakutan. Terlebih sang ayah, tubuh renta pria itu sangat gemetar.
"Buka! Ada orang di dalam sana!" teriak salah satu orang dari luar.
"Ada apa ini?" tanya sang tuan rumah panik.
Dengan terpaksa, ia membuka pintu. Walaupun sudah berkali-kali Zeno mencoba untuk melarang.
Brak!
Dorongan dari luar menyebabkan pintu tua itu rusak, seluruh pasukan langsung membungkuk hormat ke arah Zeno.
"Pangeran Mahkota, kami diutus Raja untuk menjemput Anda!" ucap sang Jenderal.
Tubuh Zeno menegang, ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. "Tidak! Jangan memaksaku. Saya, masih harus menyelesaikan sesuatu. Saya, tidak bisa pergi begitu saja!"
"Tidak!" seru Zeno.
Jenderal memajukan tubuhnya, "Jika Anda menolak pulang, Tuan Thruv Niramon akan mendapatkan hukuman mati dari Raja. Karena secara tidak langsung, dia sudah menyembunyikan informasi tentang keberadaan Anda."
Ayah Sofia mendekati Zeno, "Nak, maksudnya apa? Zeno kenal mereka?"
Prajurit sudah akan maju, saat melihat lelaki tua yang menyentuh tubuh Pangeran Mahkota. Namun, Thruv atau yang kemarin memperkenalkan diri sebagai Theo, mencegah mereka.
"Dia tidak berbahaya, turunkan senjata kalian!"
Ibu Sofia menatap ke arah Theo meminta penjelasan, "Nak Theo, sebenarnya ada apa ini?"
Pria pucat itu membungkuk hormat, "Maafkan saya Ibu. Kedatangan saya kemari, ingin menjemput Pangeran Mahkota Zen William untuk kami bawa pulang menghadap Raja."
Tubuh kedua orang tua Sofia langsung lemas, kakinya sudah tidak sanggup lagi ia pakai untuk berdiri. Sepasang suami istri itu menangkupkan kedua tangannya.
"Ampuni kami Yang Mulia, kami tidak tahu jika Anda adalah Pangeran Zen William. Maafkan orang rendahan ini yang tidak mengenali Anda."
Zeno ikut berlutut, air mata ketiganya mengalir begitu saja. "Ibu, Ayah. Maafkan Zeno, karena sudah membohongi kalian. Sungguh saya tidak ada maksud apa pun, saya hanya seorang pria yang menyimpan perasaan cinta untuk putri kalian."
"Pangeran Mahkota, sebaiknya kita segera pergi. Di istana, ibu tuan Thruv yang menjadi jaminan untuk kepergian anaknya kemari. Jika telat, maka hidupnya akan berakhir di sana!" peringatan sang Jenderal.
Zeno mengambil sesuatu di sakunya, sebuah syal dengan sulaman bunga Calendula yang ia pesan beberapa hari yang lalu. "Ibu, tolong berikan ini kepada Sofia. Katakan padanya, saya sangat mencintai dirinya. Tunggu saya sebentar lagi, saya akan datang menjemput kalian."
Zeno langsung berdiri, dengan berat hati ia pulang. Raganya kembali ke istana, namun hatinya masih tertinggal di gubuk sederhana tempat sang istri tinggal. Bersama janji, yang entah bisa atau tidak ia tepati nanti.
"Maafkan saya Sofia, saya tidak menyangka akan terjadi secepat ini."
Kini kedua orang tua Sofia hanya terdiam, mereka masih berlutut. Dalam hati merasa gamang, bagaimana caranya memberitahukan hal ini pada Sofia.
"Kenapa, malang sekali nasibmu Nak?"
***
"Ibu! Ibu di mana?" teriak Sofia bahagia.
Wanita itu masuk ke dalam rumah, namun sedikit merasa aneh saat melihat ruang tamunya berantakan.
"Ibu, ada apa ini?" tanya Sofia penasaran.
Sang ibu menggeleng pelan sembari tersenyum, "Tidak Nak, tadi ada hewan masuk."
Sofia mengangguk pelan, "Ibu! Zeno di mana? Saya membawa kabar baik hari ini!" Ibu, Sofia hamil. Tadi, Sofia pergi untuk memastikannya. Zeno di mana? Sofia ingin memberikan kabar baik ini padanya."
"Dia pergi, jangan mencari dia lagi!" seru sang ayah.
Sofia tampak bingung dengan perkataan ayahnya. "Pergi ke mana? Sofia akan menyusulnya, pasti dia sedang mencari tanaman obat!"
"Cukup Sofia! Berhenti, lupakan lelaki itu! Dia pergi meninggalkanmu, dia sudah tidak menginginkanmu!" bentak pria tua itu.
Air mata Sofia mengalir begitu saja, "Ibu, jangan bercanda. Saya sedang hamil, tidak baik jika saya harus berpikir yang tidak-tidak."
Sang ibu mendekap erat tubuh anaknya, "Lupakan dia Sofia. Ada ibu yang akan menemanimu, lupakan dia."
Sofia langsung berlari, memasuki kamar tidurnya. Wanita itu bahkan masih melihat baju sang suami yang masih utuh di tempatnya.
Sofia menarik selimut yang biasa ia pakai berdua dengan sang suami, menghirup wanginya dalam seakan Zeno masih berada di sekitarnya.
"Tidak, Zeno tidak akan mungkin pergi begitu saja. Dia bukan lelaki yang seperti itu!" tangisnya pecah, terdengar pilu hingga kedua orang tuanya mendengar.
"Apa saya membuat kesalahan? Apakah saya mengatakan sesuatu yang menyinggung hatimu?" isak Sofia pilu.
Wanita itu melemparkan baju yang biasa ia tata rapi. "Lalu, bagaimana dengan anak kita. Bagaimana nasibnya kelak? Zeno kenapa?"
Di gubuk kecil nanti sederhana itu menjadi saksi, ketiga pasang mata yang saling menangis pilu. Tiga hati yang sakit, juga raga yang tak mampu untuk sekedar bangkit.
Zeno telah berhasil menghancurkan Sofia hingga wanita itu tidak ingin lagi berdiri kembali. Zeno telah berhasil mematahkan hati Sofia, meninggalkannya begitu saja tanpa pamit.
***
"Sofia, makan dulu. Nanti bayinya sakit, jika Sofia terus menolak untuk makan!" bujuk sang ibu.
Wajah Sofia masih sama datarnya, tidak ada ekspresi apa pun yang wanita itu tunjukkan. Setiap harinya hanya seperti itu.
Terkadang menangis, namun beberapa saat kemudian kembali menatap kosong ke arah depan. Setiap malam sang ibu melihat, Sofia memeluk pakaian Zeno di dalam dekapannya.
Wanita tua itu sama hancurnya, namun tidak ada yang boleh tahu. Karena Sofia masih membutuhkan dirinya untuk bersandar.
"Bagaimana rasa perutnya, Sayang? Apakah masih mual?" tanya sang ibu.
Tak pernah ada jawaban, namun wanita tua itu tetap semangat mengajak anak semata wayangnya terus berbincang.
Sedangkan sang kepala keluarga, pria tua itu lebih banyak diam. Namun, beliau adalah orang yang paling merasa sakit hati. Melihat anak dan istrinya menderita akibat perbuatan Pangeran Mahkota.
Andai saja membunuh Pangeran Mahkota tidak membuat seluruh keluarganya dalam bahaya, ia pasti sudah melakukannya sejak hari pertama lelaki itu meninggalkan anaknya pergi begitu saja.