"Nantilah Dek, kalau uang kita sudah cukup untuk bangun rumah, baru kita pindah. Sayang kalau hanya untuk bayar kontrakan."
Aku menepis tangannya yang mulai menggerayangi tubuhku.
"Aku nggak enak Mas. Mbak Resti setiap hari nyindir-nyindir terus. Mana dari pagi nggak ada nasi. Aku dan Ica sampai kelaparan. Untung aja kamu pulang tadi bawa nasi bungkus."
"Ya cuekin aja. Anggap aja kamu nggak dengar. Bayangin Dek kalau kita ngontrak lima ratus ribu sebulan, dikalikan dua belas sudah enam juta dek. Duh, bisa beli semen dan pasir itu Dek." Mas Bimo membujukku dengan lembut. Tangannya beraksi lagi, membuatku menggelinjang karena geli.
"Tapi sampai kapan Mas?" Rengekku sambil menahan nafas karena tangannya mulai menyelinap masuk ke dalam daster.
"Ya sampai uang kita cukup untuk bangun rumah. Kan tanah sudah dikasih Ibumu."
"Kalau keburu diusir lagi gimana?"