"Terima kasih. Anda tidak perlu memaksakan senyuman Anda. Saya masih melihat kepalsuan di dalamnya." Mina menatap wajah Reani yang tiba-tiba berubah menjadi canggung. "Aku tahu, Anda menyukainya kan?!"
***
Tama dan Reani langsung saling bertukar pandang dalam beberapa saat sebelum akhirnya menatap Mina dengan tatapan melotot.
"Apa yang sedang kamu bi– ah, tidak ... tidak. Lupakan itu. Kamu sebaiknya pergi Reani. Terima kasih makanannya," ucap Tama, menatap wajah Reani yang terlihat sedikit kecewa karena Tama membela istrinya.
Dari sana Tama bisa melihat dengan jelas arti makna yang dilontarkan oleh Mina untuk gadis itu.
"Baiklah kalau begitu." Reani berjalan pergi dan meninggalkan tempat tersebut setelah merasa kecewa kepada Tama.
Tama menatap manik mata gelap yang berkilau karena cahaya senja. Ia menatap lekat wajah Mina dalam diam.
"Kenapa kamu sangat pemarah hari ini?" tanya Tama, membuat gadis itu menatapnya.
"Jangan merasa seperti telah mengenalku sangat lama. Aku tidak senang dengan respons seperti itu," jelas Mina, sambil mengaduk-aduk minumannya.
Tama menghela napasnya kasar dan menatap ke arah jalanan. "Aku kira kamu gadis yang mudah ditangani. Tapi ternyata kamu cukup sulit."
Mina menatap wajah Tama dengan sebelah alis terangkat. Ia menatap wajah Tama dengan gelagat aneh dan tidak menyenangkan.
"Di awal kamu terlihat seperti gadis baik dan ceria. Bahkan beberapa saat yang lalu kamu masih terlihat ramah pada orang-orang. Tapi lihatlah ini! Sekarang kamu sangat angkuh dan dingin. Ada awalnya kamu hanya sedang melakukan pencitraan?" tanya Tama, tiba-tiba menatapnya tajam.
Mina hanya diam dan memandang wajah lelaki itu dengan tatapan lekat. "Tidak senang?"
Tama terdiam beberapa saat. Ia sedikit terkejut mendengar jawaban culas dari gadis berambut lurus tersebut.
"Tidak. Aku hanya belum terbiasa."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Tama segera meninggalkan tempatnya dan berjalan keluar restoran tersebut dengan membawa sebatang rokoknya.
Ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk merokok. Tapi ia lupa jika tempat ini adalah lingkungan tempat anak-anak tinggal.
Menghela napasnya kasar, Tama berjalan masuk kembali ke dalam. Namun ia tidak menemukan keberadaan Mina di tempatnya.
"Di mana anak itu?" tanya Tama, pada Reani, sambil menunjuk tempat duduknya tadi.
Reani menunjuk ke arah luar. "Nyonya Anda langsung berlari keluar saat melihatnya dan membantunya menyeberang jalan."
Tama menatap wajah Mina yang tengah tersenyum cantik kepada seorang lelaki tua yang berusaha menghentikan gadis cantik itu mendorongkan gerobak sampahnya yang bermuatan penuh sampai menggunung.
Tama terdiam beberapa saat sebelum akhirnya keluar dan menatap kelakuan Mina yang sangat ceroboh.
"Gaunmu akan kotor jika seperti itu," gumam Tama, bukannya marah tapi malah tersenyum kecil.
"Kamu bahkan bisa tersenyum saat tahu dia akan membuat mobilmu bau sampah? Sepertinya kamu memang niat menjadikan istri kecilmu, haha," tawa Dirga, tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan menatap sosok Mina yang baik hati.
"Iya ya, entah kenapa aku jadi bermurah hati seperti ini. Padahal aku tahu ia pandai menggunakan poker face."
Dirga diam dan menyodorkan sebuah permen kepadanya. "Makan itu. Kamu tidak bisa merokok di sini kan? Makanan kalian juga sudah siap. Kalian bisa makan sekarang."
"Baiklah. Terima kasih."
Tama kembali menatap Mina yang sudah hilang dari tempatnya tadi dan ia menjadi cukup panik karena tidak melihat keberadaan gadis itu di mana pun.
Drt ... drt ...
Ponsel Tama berdering. Itu panggilan dari Mina dan ia langsung mengangkatnya tanpa pikir panjang.
"Apa yang kamu cari? Cepat masuk dan makan."
Tama menatap layar ponselnya dengan tatapan aneh sebelum akhirnya ia memandang wajah Mina yang sudah ada di dalam restoran itu kembali.
"Sejak kapan kamu di sana? Bisa-bisanya aku tidak tahu kapan kamu masuk dan keluar padahal pintunya ada di belakangku. Kamu hantu?!" omel Tama, melalui teleponnya.
Mina hanya memutar bola matanya malas dan mematikan sambungan telepon itu saat Tama sudah berada di dekatnya.
"Kamu saja yang tidak peka. Sudahlah, cepat makan dan kita pergi ke rumah. Aku ingin tidur!" omel Mina, kembali pada mode bad moodnya.
Tidak ada balasan dari Tama. Tama hanya diam dengan menghela napasnya kasar sambil menyantap makanannya yang mulai dingin.
*****
Clek ...
Mina masuk ke dalam sebuah kamar yang ternyata sudah disediakan lelaki bertubuh jangkung alias suaminya.
Dengan langkah malas Mina mendekati ranjang dan merebahkan dirinya di atas bantalan empuk tersebut.
"Jangan berbaring seperti itu. Kamu baru saja makan 2 piring nasi goreng dengan satu mangkuk es krim. Perutmu bisa sakit keesokan harinya," ucap Tama, berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan membuka simpul dasinya.
Mina yang menyadari keberadaan lelaki itu langsung bangkit dari tempat tidurnya dan menatap wajah Tama dengan pandangan bertanya-tanya.
"Kenapa kamu di sini? Di mana kamarmu?" tanya Mina, dengan nada tidak percaya.
"Tidak ada kamarmu dan kamarku. Adanya kamar kita. Mengerti?!"
Mina menelan ludahnya susah dan menatap wajah lelaki itu dengan tatapan ragu.
"Kita akan tidur satu ranjang? Serius? Bukannya ini hanya pernikahan di atas kertas untuk kedua perusahaan kita? Lalu kenapa kamu repot-repot mendekat seperti ini?" sembur Mina, dengan segudang pertanyaan.
Tama yang mendengar itu hanya mendenguskan napasnya kasar dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara Mina sibuk dengan berbagai macam pemikiran tidak baik dan banyak sekali prasangka buruk kepada Tama.
Bahkan sampai Tama selesai membersihkan diri, Mina masih diam dengan wajah tidak enak dipandang di atas ranjang Queen size itu.
"Sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang pernikahan ini?" tanya Tama, memandang wajah Mina dengan gelagat tenang.
Mina langsung menatapnya dengan tatapan serius dan menuntut. "Bukankah seharusnya kita melakukan perjanjian mengenai ini itu sekarang? Bahkan membagi kamar untuk kita berdua. Tapi kenapa kamu sangat tenang dengan pakaian terbuka seperti itu?!" protesnya, dengan mode keras.
Tama mengedikkan bahunya acuh. "Ini bukan baju. Ini hanya handuk yang dililitkan di pinggang dan lagi, kenapa aku harus membuat perjanjian dengan istri sahku? Jika kamu mau marah, ya marah saja. Jika kamu tidak bisa melakukan tugasmu sebagai istri, ya sudah. Aku akan mengerti karena kamu masih muda. Semuanya butuh proses. Aku tidak masalah. Asal kita tidak pisah ranjang saja."
Mina langsung mengerutkan keningnya dalam saat mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut lelaki itu dengan ringannya.
"Kenapa?"
Tama mengulas senyuman culas dan berkata, "Karena aku tetap ingin memeluk istri kecilku walaupun dia marah dan benci kepadaku, hehe."
Mina langsung menatapnya horor dan bangkit dari posisi duduknya.
"Dasar gila. Aku tidak sudi tidur seranjang denganmu!" marah Mina, segera membawa bantal dan selimut keluar dari ruangan itu.
"Oh-ho. Jangan keluar dengan membawa itu. Semua yang ada di rumah ini adalah benda-benda milikku dan kamu tidak boleh menggunakannya tanpa seizinku. Tapi jika kamu tidur di sana denganku, itu akan lain ceritanya."
Mina menatap kesal wajah Tama yang mengulas senyuman iblis sambil melipat tangannya di depan dada.
"Lebih baik aku tidur di pos ronda dari pada harus tidur denganmu!" sembur Mina, berjalan keluar rumah setelah membuang bantal dan selimutnya.
'DASAR LELAKI MENYEBALKAN.'